Sultan Agung: Antara Ambisi dan Islamisasi

Sultan Agung: Antara Ambisi dan Islamisasi

Ahda Abid al-Ghiffari

Sultan Agung Hanyokrokusumo al-Matrami sesungguhnya merupakan tokoh kontroversial dalam sejarah Jawa. Dalam dirinya terhimpun kekuatan dan kesejatian bijak penguasa dalam memerintah Jawa pedalaman di era transisi Islamisasi. Ia adalah sosok ambisi untuk mempersatukan Jawa di bawah kuasa Mataram. Selain pula, seorang pelopor Islam-Jawa yang menjadi tonggak pertemuan dari semakin hijaunya benteng budaya pedalaman tersebab Islamisasi. Sultan Agung kini dianggap sebagai pahlawan nasional. Ia adalah salah satu sosok besar, yang dimiliki oleh sejarah umat-bangsa Indonesia.

 

Membangun Lanskap: Mataram Islam

Sultan Agung merupakan raja ke-3 di Kerajaan Mataram. Sedangkan Mataram sendiri di bawah kekuasaan raja-raja itu menjadi pewaris sah atas pusat ibukota di pedalaman Jawa. Proses pembukaan kembali wilayah pedalaman sebagai pusat kekuasaan ini sering-kali memunculkan kemelut. Dalam perjalanan itu pula, Mataram Islam muncul melanjutkan asa ‘politik Islam’ yang semakin merangsek ke dalam benteng-benteng pedalaman Jawa.

Panembahan Senopati berhasil merebut kekuasaan dari Kerajaan Pajang. Senopati adalah seorang keturunan dari Kyai Gedhe Pamanahan yang diminta Raden Hadiwijaya a.k.a Jaka Tingkir untuk membuka kawasan Mataram dan menaklukkannya. Atas jasanya itu keturunan Pamanahan mendapat tempat selayak lemah pepenah yang pernah diberikan Raja Majapahit kepada para penda’wah dan ulama Islam terawal di Jawa.

Panembahan Senopati berhasil menaklukkan Pajang dan memutuskan untuk memisahkan diri dari Pajang, kerajaan induknya yang terdahulu itu pada tahun 1587 (MC Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, Hampshire: Palgrave, 2001, hlm. 48). Asa ekspansi telah dijalankan semenjak pemerintahan Senopati. Bahkan Senopati tak peduli siapa yang hendak ia taklukkan. Karena asa ekspansionisme itu, Senopati tak mempedulikan kuasa hormat yang berlaku pada saat itu; sejak Mataram berdiri, sultan-sultannya tidak mau menghormati Giri sebagai penguasa ruhani di atas Mataram (Ahmad Adaby Darban, “Kyai dan Politik pada Zaman Kerajaan Islam Jawa”, Pesantren, No 2, Vol V, 1988).

Ini yang akan ditampakkan oleh penerus-penerus Senopati; Sultan Agung merupakan tokoh yang mengafirmasinya. Permasalahannya, watak ekspansionisme sejak awal masa Mataram Islam ini bukan didasari oleh sentimen anti-Islam. Kita dapat memahami perbedaan watak politik yang sangat kentara antara pesisir dan pedalaman di sini. Kekuasaan yang semakin bergeser ke pedalaman rupanya memunculkan permasalahan otoritas. Pedalaman memunculkan satu versi baru mengenai siapa itu itu penguasa spiritual dan politik yang lebih patut memerintah seluruh kekuasaan Jawa.

Tahun 1601 Senopati mangkat. Ia meninggalkan warisan berupa tugas ekspansi Mataram dan juga fantasi untuk mengobrak-abrik koalisi negara-negara pesisir termasuk Surabaya. Penerusnya, Panembahan Seda ing Krapyak mewarisi beban itu. Dalam pemerintahannya, ia tak hanya mewarisi ambisi ayahnya; tapi juga memadamkan pemberontakkan yang terjadi, bahkan oleh saudaranya sendiri, Pangeran Puger, yang diangkat sebagai Adipati Demak.

Beban warisan ekspansionisme itu nampaknya tak sanggup benar ditanggung benar oleh Krapyak. Surabaya adalah musuh terberat Krapyak, dan wilayah ini pula yang akan menjadi fokus utama bagi Sultan Agung kelak. Oleh karenanya, sejatinya sudah semasa Krapyak itulah, Ricklefs meriwayatkan mengenai permintaan bantuan Krapyak kepada VOC pada masa akhir pemerintahan Krapyak sebagai raja Mataram. Ini adalah permintaan bantuan pertama Mataram kepada VOC yang nanti juga akan diteruskan oleh keturunan Mataram selepas pemerintahan Sultan Agung (Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, Hampshire: Palgrave, 2001, hlm. 49).

Untungnya, kerja sama dengan VOC dapat ditunda dan diperlama selama 33 tahun. Di akhir asa pemerintahan Krapyak itu, selayaknya telah muncul bintang baru yang akan menggantikan politik ekspansinya. Sultan Agung yang naik pada tahun 1613 menjadi raja Mataram tidak hanya mewarisi ambisi ayah dan kakeknya; tapi ia hadir menjadi penghalang bagi rencana ayahnya untuk bekerja sama dengan kompeni. Sebaliknya, Sultan Agung menjadi satu bukti ketokohan dalam sejarah Indonesia, di mana era perlawanan terawal pernah dipimpin oleh kelas-kelas eksekutif seperti para sultan dan raja.

Kota Gede, Yogyakarta,

Tahbis dan ‘Pembangkangan Otoritas’

Sejak berkuasa di dalam benteng-benteng pedalaman Jawa, Sultan Agung Hanyokrokusumo telah lama mengklaim dirinya sebagai seorang Raja Pedalaman yang vis-à-vis, berbeda, dengan ulama cum-raja di pesisir Jawa, yang terlibat aktifitas perdagangan jarak jauh di Nusantara. Sejak awal itu pula, Sultan Agung menumbuhkan kembali satu pandangan kultural Jawa pedalaman. Namun satu afirmasi penting yang perlu diingat: ia juga menumbuhkan suatu corak evakuasi kultural sekaligus keagamaan sebagai bentuk persaingan politik dengan pesisir yang selalu dipandangnya sebagai rival kekuasaan.

Oleh karenanya, Sultan Agung memiliki satu kode etik penting yang berproses dalam masa pemerintahannya itu: suatu ketika ia memiliki andil besar dalam Islamisasi pedalaman yang telah dirintis oleh para penda’wah-penda’wah keliling yang disebut dalam historiografi tradisional seperti Sunan Kalijaga atau Seh Amongrogo. Kenyataan ini tentu saja akan bertolak belakang jika dipandang dari politik agresi-ekspansinya, apalagi jika diturut sejak awal. Yakni, ketika ia melalui pentahbisannya sebagai raja dengan penuh dramatis.

Panembahan Seda ing Krapyak meninggalkan dua orang putera yang paling berhak menggantikannya sebagai raja-panembahan. Putra yang utama, Raden Mas Martapura, berasal dari istri utama (garwa padmi). Kedua, Raden Mas Rangsang yang kelak diberi gelar Panembahan Agung. Sayang putera utama ini masih begitu muda (8 tahun) dan menderita sakit ingatan. Untuk meringkas bagaimana Raden Mas Rangsang menggantikan kedudukan pengganti utama raja itu, Hamka melukiskan dengan baik proses itu: “… Mas Rangsang sudah nyata lebih cerdik dan mempunyai bakat-bakat yang besar untuk menjadi raja.” (Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura, 2005, hlm. 851).

Pelukisan Hamka itu sejatinya lebih kompleks. Sultan Agung jelas menaiki tahtanya dengan cara yang begitu ‘cerdik’ seperti ungkapan Hamka. Selain ia sendiri layak menjadi raja. Legitimasi-legitimasi, kalau tidak dikatakan mitos, seperti yang ia bangun untuk menunjukkan Sultan Agung sebagai raja, adalah sekian banyak bukti penting. Yakni, untuk menunjukkan bahwa sebagai pengganti yang bukan utama, ia harus memunculkan pembuktian genealogis, bahkan yang imajinatif sekalipun, bahwa ia berhak menggeser pengganti Krapyak yang masih muda dan sakit-sakitan itu, sekaligus sebagai calon penguasa dan pemersatu Jawa.

Dari pengangkatannya sebagai raja baru Jawa tersebut, Raden Mas Rangsang mendapat gelar Panembahan Agung Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ing Tanah Jawa. Sejarawan Ahmad Adaby Darban (rahimahullah) memaknai gelar Panembahan Agung ini sebagai berikut: “Hal ini tampak Raja Mataram pertama mengambil gelar Panembahan yang [telah] dipakai anak turun Sunan Giri. Dengan demikian gelar Panembahan Mas Giri sebagai penghormatan spiritual/ruhaniah diambil langsung di tangan Senopati, berarti Senopati telah menyejajarkan dirinya sebagai pemimpin spiritual/ruhaniah. Demikian halnya pada waktu Mataram diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, dengan dalih mempersatukan Jawa menganeksasi daerah timur termasuk Gresik, Giri, dan Surabaya. Penguasan daerah itu, termasuk Sunan Giri dijadikan bawahan dari Mataram.” (Ahmad Adaby Darban, Kyai dan Politik …., hlm. 35-36).

Awalnya penaklukkan itu berupa imajinasi yang semenjak kakek Sultan Agung telah dibangun, lalu direalisasikan melalui simbol gelar; dan pada waktunya memaklumkan otoritas negeri-negeri pesisir di bawah kuasa Mataram terwujud juga, bersamaan waktu dengan jatuhnya Surabaya.

Raja yang baru dilantik itu merealisasikan fantasinya untuk menjadi satu-satunya penguasa Jawa terkuat setelah Majapahit 13 tahun kemudian setelah penahbisannya. 1636 adalah tahun keruntuhan kekuatan politik ulama pesisir (Jajat Burhanuddin, Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Bandung: Mizan, 2012, hlm. 62).

Semenjak Mataram menjadi benteng ‘Islam pedalaman’ sejatinya Giri telah meneguhkan kedudukannya sebagai benteng Islam yang lain; yakni wajah Islam yang otentik dan ortodoks sebagai penyiar Islam (Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994, hlm. 20). Jaringan Giri meluas merembesi pesisir Jawa sekaligus mengikuti perhubungan dagang laut yang telah tercipta lama di Nusantara. Tetapi gagasan Sultan Agung jelas, bahwa ini adalah soal ambisi penaklukkan Jawa dan persatuannya; sebuah fantasi yang telah hadir sejak Tan Amukti Palapa yang dimitoskan itu.

Penaklukkan Giri diawali dengan takluknya benteng terdepannya, yakni Surabaya. Menurut Hamka, Surabaya merupakan benteng sekaligus pintu masuk dalam menguasai Giri. Ekspansionisme tentu membutuhkan kecerdikan, sebagaimana telah diperlihatkan Sultan Agung dalam penahbisannya. Seketika Surabaya yang sulit ditumbangkan itu akhirnya menyerah, politik perkawinan adalah satu kebutuhan penting yang memang harus dilakukan. Hamka menceritakan peristiwa itu:

Setelah penaklukkan Surabaya, di hadapan pemimpinnya, Pangeran Faqih, Sultan Agung membawa dirinya. “Yang dibicarakan tidak lagi urusan penyerahan kekuasaan, tetapi Sultan “meminang” Pangeran Faqih mengawini puteri baginda yang dikasihi, Ratu Wandan Sari! Satu siasat yang amat tinggi dan sulit ditolak. … Ratu Wandan Sari meneruskan siasat ayahnya! Dia berhasil menundukkan hati adipati Surabaya supaya menyerang Giri. Itulah suatu ujian yang amat besar bagi adipati Surabaya, bujuk cumbu istrinya menyebabkan beliau sudi melawan gurunya [Sunan Giri].” (Hamka, Dari Perbendaharaan…, hlm. 22-23).

Suatu ketika, perlawanan pembangkang itu kalah, dan anak perempuan Agung sendirilah yang mengambil alih komando untuk menyerang Giri sendiri. Giri takluk pada akhirnya. Kedudukan Sunan Giri tak lagi menjadi ‘Sunan’. Ia bukan lagi pandito-ratu, ulama-raja yang berhak mengangkat raja. Sekarang Giri diberi kebebasan menyiarkan Islam, namun gelarnya menjadi panembahan, diturunkan. Dengan kekalahan itu pula, Sultan Agung maklum dengan Islam Pesisir di wilayah kekuasaannya. Untuk pertama kali, ulama menuruni tangga otoritasnya, memimpin spiritualitas di bawah kekuasaan politik Jawa.

Penyerbuan di Batavia 1628

Membendung VOC: Visi Sultan Agung

Memperebutkan otoritas keagamaan dan politik hanyalah satu faktor di balik ambisi Sultan Agung yang nampak begitu besar itu. Faktor lain yang tak kalah penting adalah kedaulatan Jawa sendiri. Oleh karenanya, penyerangan Sultan Agung, sampai pada tahun 1636 itu lebih tepat dipahami sebagai tindakan defensif melihat ancaman yang lebih serius daripada hanya sekedar ambisi menaklukkan otoritas pandito-ratu di pesisir utara Jawa Timur. Munculnya kekuatan baru dari sebuah perkembangan kelahiran baru di Eropa pada akhirnya sampai di Nusantara. VOC menjadi salah satu pengawal dari sejarah perkembangan ini, selain sejak 1511, Portugis menjadi ancaman tak terduga.

Meskipun motif keagamaan tidak selalu kentara dari semangat Sultan Agung dalam mempertahankan pesisir, namun era baru dalam jalur pelayaran Asia Tenggara oleh bangsa Eropa ini betul-betul dipahami Sultan Agung. Malaka telah dihancurkan Portugis pada tahun 1511. Kehancuran Malaka tidak hanya mengakibatkan porak-porandanya pusat perdagangan terbesar se-Asia pada masa itu, tetapi juga membuka pintu besar bagi semangat ‘missie’. Malaka adalah satu batu loncatan penting bagi bangsa Eropa.

Portugis adalah satu kasus lalu, sementara VOC bukan hanya berhasil menumbangkan satu wilayah kedaulatan di Nusantara; ia menjelma menjadi satu kekuatan militer, teknologi, dan ekonomi perdagangan baru di Asia Tenggara. VOC bahkan telah mendapatkan kedudukan permanen di Jayakarta, yang kemudian diubahnya menjadi Batavia. Batavia, seperti Malaka, menjadi batu pijakan untuk ekspansi ekonomi perdagangan, politik, bahkan agama ke seluruh Nusantara. Letaknya yang begitu strategis membuat benteng kokoh perusahaan Belanda itu menjelma menjadi pengontrol bagi perdagangan di Nusantara (Jajat Burhanuddin, Ulama & Kekuasaan …., hlm. 62-63).

Dapat dipahami, kehadiran VOC menjadi tantangan serius bagi seluruh visi Sultan Agung. Sebaliknya, Sultan Agung menjadi penghalang bagi petualangan ekonomi VOC. Ia membutuhkan pedalaman Jawa yang dikuasai Sultan Agung untuk kebutuhan beras dan kayu. Di sinilah dapat dipahami visi lain dari ekspansionisme Sultan Agung dalam menguasai pesisir. Visi ini direalisir pada tahun 1628 dan 1629. Dengan berpayah dengan usaha penyerangan ke Batavia, Sultan Agung dan mitolog-mitolog Jawa lainnya akhirnya harus mengakui kekuatan VOC. Kekuasaan Belanda, sebagai orang asing, membuat wilayah kekuasaannya di Batavia dan sebagian Jawa Barat, dipandang orang Jawa sebagai negeri yang asing, yang berbeda dari dunia Jawa (Peter Carey, a.b. Th Bambang Murtianto dan PM Laksono, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta: Kompas, 2014, hlm. 87).

Kegagalan inilah yang menjadi tapal batas dan bergulirnya generasi baru. Satu persatu penguasa besar seperti Sultan Agung mangkat. Setelah era perlawanan Salatin mempertahankan kedaulatan fragmen-fragmen Nusantara, tibalah era para pangeran dan bangsawan. Lahirnya generasi ini justru ditunjukkan dengan gagalnya anak keturunan Sultan Agung sendiri dalam melihat situasi dan keberadaan orang Eropa di Nusantara.

 

Sultan Agung dan Islamisasi ‘Tahap Kedua’

Meskipun dipahami pula sebagai penakluk otoritas ke-Islaman Jawa di Pesisir, sosok Sultan Agung tak bisa dilepaskan dari visi Islamnya. Hamka-lah salah satu penulis yang menunjukkan satu sisi keagamaan Sultan Agung. Dalam dua karyanya, ulama ini menunjukkan sisi ‘sinkretis’ dari Sultan Agung. Sultan Agung bagi Hamka tak bisa melepaskan watak mencari segala ‘kedamaian’, persatuan dan kesatuan antar agama yang berasal dari sifat dasar Majapahit dalam hal agama.

Tetapi selayaknya kita patut memahami, watak raja besar semacam ini, apalagi setelah penaklukkannya terhadap Giri, memberikan kebebasan ke-Islaman yang tinggi di bawah kekuasaannya. Segala percobaan ‘Agama Kesatuan’—demikian sebut Hamka—seperti ini memiliki sisi lain; ia begitu peka terhadap warisan kebudayaan Jawa dan lebih jauh, posisi kebudayaan yang lebih rendah struktur alamiahnya dari agama menjadikan budaya Jawa memiliki corak ke-Islaman tersendiri sejak masa Sultan Agung. Proses-proses semacam ini di zaman Sultan Agung mengkristal dalam simbol dan produk kebudayaan. Di zaman Sultan Agunglah, dimulai sebuah sistem penanggalan yang begitu unik; perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriah, lalu menjadi Tahun Jawa (Hamka, Sejarah Umat Islam …, hlm. 861-862).

Menurut Zamakhsyari Dhofier, sejak akhir abad ke-15, Islam telah menggantikan Hinduisme. Dengan mengutip Raffles, Dhofier memperjelas bahwa sejak abad ke-15 itulah, pijakan-pijakan politik telah digunakan untuk semakin mengintensifkan penyebaran Islam. Menurut Dhofier, meski belum betul-betul mengamalkan ajaran Islam, pada abad ke-17, Islam telah menancapkan tombaknya di seluruh pulau Jawa (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2015, hlm. 16).

Penjelasan Dhofier inlah yang ditangkap oleh Arif Wibowo. Ia selanjutnya menjelaskan bahwa Sultan Agung adalah pengawal dari pemantapan Islam bagi masyarakat untuk betul-betul menjadi orang Islam yang taat dan secara perlahan menggantikan kehidupan keagamaan yang lama. Mengutip pakar sejarah pendidikan, Mahmud Yunus, Arif menjelaskan bahwa di tangan Sultan Agunglah, pendidikan Islam menjadi bidang alternatif dalam melaksanakan Islamisasi secara massal kepada masyarakat Jawa. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Al-Qur’an, tata cara beribadah, dan tentang ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam (Arif Wibowo. “Islamisasi dan De-Islamisasi Kebudayaan Jawa”, Islamia, Vol VII, No 2, April 2012, hlm. 27-40).

 

Merajut Ambisi dan Islamisasi: Suatu Penutup

Kehidupan Sultan Agung sebagai raja besar di Tanah Jawa memberikan satu gambaran kompleks mengenai kekuatan dan kesalehan. Pertentangan dan penaklukkannya terhadap Giri rupanya tidak bisa dipahami sebagai bagian konflik antara ulama versus raja, atau santri versus satria. Justru di zaman inilah Sultan Agung menjadi satu simbol sejarah penting di mana terdapat masih kokoh dan terintegrasinya kelas-kelas dalam struktur masyarakat Islam di Jawa.

Di zaman Sultan Agunglah, basis pembentukkan institusi ke-ulama-an terbentuk dan terafirmasi. Sultan Agung tetap menghormati para ulama. Ia meletakkan ulama pada jabatan terhormat. Sebagaimana terdapat jabatan-jabatan keulamaan seperti Kadi Malikul Adil dan Syaikhul Islam, sebagaimana terdapat di Aceh. Di Mataram, jabatan-jabatan seperti itu disebut seperti Dewan Parampara (penasehat tinggi kerajaan). Di samping mendirikan Mahkamah Islam, sebuah komunitas Islam kerajaan terbentuk untuk keperluan mengurus masalah keagamaan. Inilah yang kemudian disebut sebagai abdi dalem dan kauman.

Sultan Agung memetakan posisi keagamaan ini merata di seluruh struktur masyarakat. Meski kedudukan ulama di Giri terdahulu telah berada di bawah kendali Sultan Agung, namun posisi ulama masih memberikan peran utama dalam pembentuk watak dan ciri khas kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Peran ini ditopang oleh kebijakan Sultan Agung sendiri dalam memberikan tanah-tanah bebas pajak (perdikan) kepada para kyai untuk dipakai mendirikan pesantren. Pesantren inilah yang menjadi basis penting yang membentuk kekuatan keagamaan masyarakat pedesaan. Pesantren di desa-desa perdikan juga sebagai alternatif dan poros kekuatan yang selalu siap menggantikan apabila keraton mengalami fragmentasi atau disintegrasi.

Akhirnya, hubungan Sultan Agung dan para ulama ini sejatinya telah terbentuk sejak awal. Di bawah pemerintahan Sultan Agunglah, terletak peran penting ulama dalam membantu perjuangan Sultan Agung melawan rival politik Eropanya di Pulau Jawa. Menurut Ahmad Adaby Darban, pesantren-pesantren selain menjadi lembaga pendidikan dan Islamisasi, justru juga menjadi kaderisasi dan pembentukan poros kedaulatan Mataram. Sejak tahun 1624, Sultan Agung mengerahkan 30.000 tentara yang terdiri prajurit kraton dan Wiratani dengan 7.000 pendekar yang kebal. Pasukan Wiratani inilah yang merupakan binaan kaum ulama pedesaan perdikan (Ahmad Adabi Darban, “Kyai dan Politik ….”, hlm. 36).

Demikianlah Sultan Agung dan era Islamisasi Jawa pada masanya. Era ini sejatinya memang tersohor dari bentuk dukungan ulama dalam kesejatian penguasa. Ini dikerangka dengan istilah ‘Islam berorientasi raja’. Para ulama memberikan satu tafsiran tersendiri bagi penguasa, dengan satu bentuk ideal ‘Insan Kamil’. Sultan Agung, pada akhirnya, memiliki kesejatian perjuangan ini. Di eranya, dengan gagasan ideal sufistik itu, membuat perjuangan dan masanya betul-betul tegas termaknai dengan simbol-simbol integritas antara ke-Islaman dan kekuasaan politik.

Depok, 19 Januari 2018

 

*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis sempat menempuh studi sebagai mahasantri di Ma’had ‘Aly Imam Al-Ghazali Surakarta dan kini menjadi seorang guru dan pengasuh di pondok pesantren At-Taqwa Depok.

 

[Red : Tori Nuariza]