Penemuan Islam Sebagai Sebuah Ideologi: Konteks Peradaban
Ahda Abid al-Ghiffari*
Jika sejarawan Taufik Abdullah menamai pluralitas untuk menjelaskan perubahan struktur negara kolonial yang membuat arti penting kemodernan teraplikasi secara nyata di dunia bumiputera Hindia Belanda, maka sejatinya terdapat makna yang patut diperbincangkan. Kesediaan atas perangkat-perangkat kemodernan telah mempercepat pembandingan realitas tanah jajahan dalam kerangka ‘tradisionalis’ vs ‘modern’. Berbagai kasus dalam dunia Islam telah membuktikan terjadinya gejala kemerosotan peradaban, kalau juga dapat diistilahkan dengan kehancuran moral kualitas peradaban dalam dunia Islam. Bagaimana tidak jika kepercayaan diri yang hilang kemudian tergantikan dengan moral baru dalam perangkat-perangkat kemodernan itu. Kemodernan telah membawa pula satu pandangan baru yang mempertentangkan antara dunia lama dan dunia baru.
Inilah mengapa ‘colonial encounter’ menjadi satu hal penting dalam diskursus ‘post-colonial’. Salah satunya, diskursus ini, penemuan ini lebih jauh, memberikan ruang pada tumbuhnya suatu gagasan baru yang lebih ‘enlighten’; satu hal yang dikontraskan dalam moral tradisional, di mana jimat dan tarekat menjadi hal yang nyaris diandaikan sebagai ‘dark age’-nya Eropa. Perangkat-perangkat ‘agama tradisional’ yang diberikan label kacau dan tak beraturan; bertentangan dengan moral baru yang ditanamkan melalui ‘etische’, sebagaimana ‘pemberadaban’ menjadi fase baru setelah apa yang terjadi pada ‘pemberadaban-pemberadaban’ yang terjadi pada masa Islam.
Politik pendidikan Barat Belanda yang sebenarnya telah tumbuh sejak abad ke-19 merupakan satu obat penting untuk menetralkan hubungan peradaban dalam frame pertemuan Barat-Islam di dunia kolonial. Setelah situasi netral itulah, kolonialisme menghapuskan kabut yang kemudian memperlihatkan julangan peradaban baru, di atas klaim bahwa peradaban Islam di tanah jajahan telah runtuh. Di atas keruntuhan itulah, tradisionalisme dianggap terpuruk. Tidak salah lagi, politik pendidikan inilah yang dimaksud sebagai politik peradaban, di mana terdapat upaya sistematis untuk memberikan suatu pengaruh kepada penganut unsur peradaban lain untuk menjadikan peradaban Barat sebagai ‘rahmatan lil alamin’. Singkatnya peradaban adalah soal bagaimana komponennya bisa bermanfaat bagi penganut peradaban lain. Di saat politik pendidikan dan pengamalannya digulirkan, bukan persoalan politik yang sejatinya tengah bergulir; tapi nalar peradaban yang lebih kompleks.
Sebagaimana juga terjadi dalam berbagai peristiwa di dunia Islam. Perlawanan Emir Abdul Qodir di Aljazair misalnya. Seorang pemikir Iraq telah mengkerangka perlawanan heroik sang Emir dalam frame peradaban. Di mana, perjuangannya bukan soal perebutan wilayah kekuasaan politik; namun apabila kerajaannya dipasifikasi, direbut, pada saat itulah terjadi penggusuran peradaban. Sama halnya ketika Pangeran Diponegoro memutuskan untuk memisahkan diri dari keraton, dan oleh karenanya meresmikan Belanda sebagai peradabannya. Mengapa begitu? Peter Carey, sejarawan Diponegoro itu, pernah mengatakan bahwa Diponegoro adalah seorang pangeran yang berada di ambang masa lalunya yang mempertahankan etika kejawaannya—dan oleh karenanya di situlah Ricklefs menyebutnya seorang sintesis-mistik—serta sebagai sebagai seorang bangsawan Jawa yang memandang hari depan bangsanya yang penuh dengan modernitas kolonial.
Dalam renungannya mengenai diskusi ini pula, Taufik Abdullah menemukan Islam sebagai ‘identitas’ perlawanan, kebangsaan—sekalipun dalam arti lokal—dalam bahasanya. Islam menjadi satu penggerak yang mampu mempertahankan bangunan peradaban terakhir sebelum ‘digusur’ oleh peradaban lain. Yang perlu diingat, ini terjadi di Nusantara, bukan yang selalu dikisahkan soal peradaban yang aktornya selalu sultan Umayah atau bahkan sang penakluk Constantinia yang di-frame dengan begitu hiperbolistik untuk kepentingan politik suatu kaum masa kini.
Pluralitas yang berkembang, serta-merta menginjak abad ke-20, yang menyebabkan kemodernan begitu nyata itu, justru menimbulkan gelombang baru dari reruntuhan peradaban di tanah kelahirannya sendiri. Dalam kejenuhan moral disubordinat bangsa yang tak lahir dari tanahnya itu, muncul suatu keprihatinan. Dalam itulah ideologi Islam terbentuk, mula-mula sebagai sebuah rumusan praktis berpolitik ala Islam di abad modern, abad ke-20, tatkala pluralitas juga menemui respons nasionalistis dan antikolonialnya. Sebagaimana dapat kita pahami dari uraian Taufik Abdullah di bawah ini:
“… sikap dan perilaku politik yang memakai kata sifat Islam bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam. Tanpa adanya keprihatinan terhadap keberlakuan dan kelanjutan nilai-nilai spiritual yang merupakan dasar dari suatu “komunitas” ini, maka tak dapat dipikirkan “adanya” sikap politik Islam. Dari keprihatinan demi kepentingan komunitas spiritual ini, sikap ditentukan; atau, seperti terjadi di zaman modern, ideologi Islam di rumuskan …. Dari pengalaman sejarah, bahkan dapat dikatakan keprihatinan moral dan doctrinal yang telah dirumuskan ini sering berfungsi sebagai pemberi batas-batas duri komunitas-spiritual yang sebenarnya bercorak universal itu.”
Kelahiran nasionalisme yang universal adalah bagian dari narasi dan nalar penting dalam mewujudkan sikap politik Islam itu. Pada berbagai kesempatan dan kasus per pergerakan, nasionalisme Islam membentuk satu penemuan yang hybrid, dari perkembangan pluralitas dan modernitas kolonial, serta kantong-kantong perlawanan yang pernah hadir di abad lalu. Nasionalisme Islam politik, awalnya menangkap gejala Islam lokal dalam identitas perlawanan kedaerahan. Dalam posisi itu, masing-masing lokal mengidentifikasi dirinya masing-masing, lalu ditopang oleh seorang ideolog di masa depan yang tumbuh dewasa di abad ke-20, yang mengemban, semacam, nubuwah pada zamannya, untuk mempersatukan elemen-elemen lokal ini. Di dalam elemen-elemen lokal inilah terintegrasi kepribadian, tradisi, dan memori perlawanan yang heroik. Sosok ideolog yang mampu menggali pribadi, tradisi, dan memori inilah, dengan segala interpolisirnya, menjadi penopang dan mengolah rasa nasionalisme Islam—dalam konteks politis sekalipun. Di sinilah muncul generasi-generasi seperti HOS Tjokroaminoto ataupun Soekarno, dan tokoh-tokoh PKI yang bertaruh pula atas nama Pangeran Diponegoro atau pahlawan sezamannya.
Dalam ketergusuran dan reruntuhan peradaban itulah, satu rancangan baru tentang masa depan bangsa, yang pada masa kini harus dipahami sebagai peradaban, dirumuskan. Bagaimana bisa dipandang seperti ini? Inspirasi, kalau bukan disebut historitas yang terpilih dari perlawanan yang pernah terjadi melawan kapitalisme dan kolonialisme—kafir sekalipun, merupakan nasab otentik dari penemuan Islam sebagai ideologi. Dalam tumbuhnya integrasi konsep Islam-lokal menjadi Islam-nasional tersebutlah, terdapat kompleksitas. Meski, dalam konteks peradaban dan kompleksitasnya, terma bangsa akan nampak lebih kerdil. Tetapi mengapa dalam konteks Islam lokal itu saja bisa kita sebut sebagai pertaruhan peradaban sedangkan dalam konteks nasionalnya menjadi tidak?
Di lain hal, ketika politik pendidikan kolonial itu kembali lagi kita pikirkan sebagai satu gejala peradaban, mengapa tumbuhnya para elite dan ideolog baru ini harus digagalkan kalau disebut sebagai fenomena lain dari peradaban? Di sinilah mengapa, sekalipun ideolog ini tumbuh dalam ruang bangsa dan nasionalistik antikolonial, tetapi merekalah yang membangkitkan kesadaran perlawanan peradaban yang telah dilaksanakan oleh Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan para tengku Aceh. Di sinilah kesadaran Islam bila memang mesti dipertahankan, juga perlu mempertimbangkan kesadaran tinggi di atas ideologi. Dalam artian, ideologi tetap mampu hidup sebagai asas perjuangan, tapi memang letaknya subordinat dalam peradaban.
Ituah mengapa konteks penemuan Islam sebagai ideologi juga tak bisa dipisahkan jauh-jauh dari gejala peradaban itu sendiri. Tokoh-tokohnya merupakan satu elemen penting dalam peradaban dalam episode ideologisasi Islam sekaligus pemikir intelektual kebangsaan-keIslaman yang hidup di tanah jajahan. Wallahu a’lam.
01.30, Depok, 3 Maret 2018, Malam Sabtu
*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan Alumni Ma’had ‘Aly Imam Al-Ghazaly Karanganyat dan kini menjadi seorang Guru Sejarah dan pengasuh di Pondok Pesantren At-Taqwa, Depok.
[Red : Tori Nuariza]