Kebangkitan Peradaban Islam dan Kegagapan Ideologi Islam
Ahda Abid al-Ghiffari*
“Penyusunan ulang sebuah peradaban tidak akan menjadi urusan yang mudah dan singkat. Prediksi yang mudah dan sederhana yang menggantungkan diri pada analogi sejarah atau penyerahan diri pada kekuatan-kekuatan teknologi dan daya ekonomi, pada akhirnya akan terbukti salah. … [Sementara itu] Dalam dunia multipolar ini, Islam sekali lagi menjadi orang luar.”-Ali A. Allawi
Diskursus peradaban menjadi satu maksud terpenting dalam menafsirkan kembali Islam. Kehilangan penghayatan pemeluknya dan kesadaran yang telah runtuh terhadap Islam sebagai peradaban itu sendiri mengakibatkan komunitas ummah tidak menyadari maksud substansial pesan Islam pada ‘Dunia Islamnya’. Ummah kini terkotak dengan interpolasi-interpolasi sempit dan bermakna terbatas seperti kampanye-kampanye sunnah yang selalu dikontraskan dengan ‘bidengah’. Sementara kesadaran itu ambruk, jargon-jargon politik kebangkitan Umat mengemuka dengan sangat genitnya.
Dalam kesadaran setengah semacam itu, dan juga fanatisme dan loyalitas komunitas spiritual yang terbatas—tidak universal, kesadaran politik sebagai satu-satunya jalan kebangkitan menjadi jualan yang laku keras. Keprihatinan kini menemui solusinya melalui titah-titah ideologi pemanis yang menawarkan kawasan khayalan ideal zaman keemasan yang selalu dibangga-banggakan. Kelompok-kelompok yang tidak menyadari dirinya dalam kesadaran peradaban, masing-masing membayangkan dirinya berada dalam khayalan ideal zaman kejayaan dan generasi terbaik melalui penafsiran yang sungguh cingkrang.
Dalam keadaan kehilangan kewarasan dan kesadaran semacam itulah, dunia poros tengah Islam memainkan pengaruh penting. Kejayaan peradaban Islam yang selalu dikaitkan dengan generasi-generasi imperium masa kekhalifahan dan daulah itu menjadi domain dominan. Di segala sudut Dunia Islam, domain inilah yang berlaku; sebuah domain yang menghadirkan sejarah politik dan elite Islam yang patut diteladani. Mata umat terbelalak pada ‘historiografi’ penakluk-penakluk dunia. Dalam fase inilah, seorang ilmuwan sains selalu menggerutu bahwa pembelajaran sejarah umat Islam hanya berhenti pada kebanggaan semata. Untuk meneliti lebih rinci mengenai perkembangan sains dan ilmu-ilmunya sekaligus, umat belum mampu tampil menjulangkan otoritas semacam itu.
Beberapa tahun yang lalu, saya masih ingat seorang motivator yang dipanggil ‘Ustadz’ menawarkan sebuah model ‘manusia sempurna’ yang menaklukkan sebuah negeri yang didambakan sejak era Rasulullah. Dengan analogi dan pembacaan sejarah praktis ala kaum literalis, dengan cepat motivator semacam itu memperlihatkan sebuah ‘negara’ dan ‘sosok’ ideal yang mampu menjadi ‘penepat janji Rasulullah’. Di antara negeri-negeri yang ditaklukkan itu, terdapat satu kegagalan, dan oleh karenanya, motivator Islami itu mengajak audiennya untuk meneruskan menjadi penakluk negeri yang gagal ditaklukkan itu.
Belum lama booming pembacaan-pembacaan narasi sejarah literalis semacam itu, muncul sebuah status kontroversial dari kalangan jihadis yang berfantasi mengenai penaklukkan negeri yang dulu gagal ditaklukkan oleh sang manusia penakluk penepat janji Rasulullah. Dalam fantasinya yang ditulis di status facebooknya itu, ia membayangkan pejuang-pejuang Taliban yang jenggotnya panjang, bertopi dan berdandan ala Pushtun itu, memanggul AK-47 memasuki negeri dambaan. Dalam fantasi tersebut, siapa yang bisa menyalahkan kalau jihadis-jihadis semacam ini juga mendambakan gadis-gadis negeri—yang sejatinya bagian dari Eropah itu—jadi ghonimah para mujahidin yang segera ingin merasakan kemenangan di dunia seperti ini.
Gambaran sang motivator nyatanya telah ditangkap dengan baik oleh berbagai pecahan-pecahan kalangan Islamis, seradikal apapun itu, dan memasukannya ke dalam impian ideologisnya. Sang motivator Islami ini telah berhasil mematangkan pemujaan terhadap masa jaya peradaban Islam di masa lalu dan mengembalikannya ke jalur ideologis kalangan-kalangan semacam jihadis seperti di atas. Fantasi politik dan betapa ni’matnya mendapatkan kemenangan penaklukkan tersebut telah diinstal dan menjadi doktrin alam bawah sadar, ‘yang menimbulkan kesadaran’ bahwa kemenangan politik merupakan kemenangan peradaban.
Bukan permasalahan ingin merendahkan para penakluk dalam sejarah Islam. Tapi terkadang, kita sering memilih sendiri pahlawan berdasarkan kebanggaan yang kita anut. Sejarawan Taufik Abdullah pernah sekonyong-konyong berkata, “Pengakuan akan kepahlawanan seseorang bukanlah terutama masalah sejarah, tetapi pantulan kesadaran sejarah. Pahlawan hadir dalam sejarah setelah masyarakat yang mengalami peristiwa historis mengadakan renungan. Dalam perenungannya ini terjadilah suatu penggabungan antara hari lampau yang telah dilalui dan hari kini yang sedang dijalani serta hari nanti yang harus ditempuh.”
Singkat kata, ‘historiografi penakluk dan penaklukkannya’ merupakan sebuah kisah. Ia mungkin memang sebuah fakta heroik. Tetapi jika kalangan motivator Islami promotor tegaknya sebuah negara ideal menurut ideologinya, atau pejuang berenjata atas nama Islam yang membayangkan harem-harem di negeri yang telah ditaklukkannya, kisah sang penakluk (al-Faatih) dan negeri taklukkannya itu akan menjadi lebih berarti. Ia dimaknai dengan kesadaran politik setengah untuk mewujudkan bahwa gagasan kejayaan politik adalah gagasan peradaban Islam itu sendiri. Setidaknya batasan-batasan dan finalitas konsepsi peradaban semacam itulah yang lahir dalam ideologi sang motivator dan sosok pejuang pemanggul AK-47.
Apa yang disebut sebagai Ali A. Allawi sebagai ‘godaan’ dan ‘hasrat’ mengenai visi ‘zaman keemasan’ ini memang sebetulnya mengganggu. Realitas ini sebenarnya timbul sebagai konsekuensi dari fenomena kegagapan Umat Islam dalam menyadari keroposnya kesadaran dan keteraturan jalan berfikirnya. Ideologi-ideologi yang menawarkan gejolak dan tawaran-tawaran zaman ideal ini telah memetakan kondisi kecerdasan umat Islam menghadapi dunia yang tengah dilaluinya. Sebelum ia mampu memberikan pandangan yang luas mengenai kegagalannya di semua bidang, beberapa kelompok segera terburu-buru memilih jalan cepat ‘Islamisasi’ yang dipandangnya akan segera pula menyelesaikan semua permasalahan umat. Di sinilah, antara menjadikan negara ideal super Islami atau pribadi yang tereksklusi dan terkonservasi dengan busana sangat Islami dan selalu dipandang syar’i, menjadi satu pilihan untuk menuntaskan dengan cepat ‘visi peradaban’ dalam interpolasi ideologisnya itu.
Dengan cara seperti itu, dan dalam kesadaran yang terbatas seperti itulah, dorongan untuk berpolitik selalu kian besar, aksi dan demo untuk ‘menentang penistaan’ akan semakin laris, ‘program alumni-alumnian’ menjadi sebuah jualan yang ramai untuk tendensi persatuan Islam, perjuangan Syariat Islam mulai dikebumikan, atau mencetak penghafal-penghafal al-Qur’an seakan dianggap menjadi pemecahan kebuntuan stagnasi perjalanan umat Islam. Di jalan-jalan perjuangan seperti inilah, penghayatan menjadi pejuang yang akan melanjutkan politik penaklukkan negeri-negeri Eropah yang gagal ditaklukkan oleh sang penakluk menjadi semakin mengeras. Bisa Anda renungkan, jika berpuluh-puluh kali agenda aksi umat Islam dalam setahun dan juga memperbanyak penghafal al-Qur’an yang minim intelektualitas menjadi agenda yang dianggap paling mendesak, bisakah akan lahir generasi dari Umat Islam yang menaklukkan Eropah dan peradaban Barat
Dari sekian banyak ‘perjuangan’ seperti itu, bahkan untuk usaha menaklukkan peradaban Barat, tidak banyak yang mampu mengupayakan pembentukan otoritas Umat Islam dalam berbagai bidang. Di sinilah kegagapan itu dimaksud. Sebab, bagaimana narasinya, jika generasi protes dan anti penistaan itu hendak menaklukkan Kota Roma? Bagaimana generasi hafal 30 juz itu berhadapan dengan sistem kekuasaan ilmu pengetahuan Barat jika kejenuhan sekedar ‘menghafal kalamullah’ menjadi rutinitas tanpa henti yang meniadakan jalan sepi intelektualisme?
Letak kepentingan agenda peradaban, dalam kesadaran minimalnya sekalipun, nyatanya tidak hanya sekedar mampu diraih dengan agenda politik semata. Dari jalan Islam yang diideologikan ini, ternyata hanya mampu menghasilkan satu kulit pemanis mengenai tampilan Islami serta syar’i dan wajah-wajah penghafal al-Qur’an yang tidak mampu bagaimana menjadikan al-Qur’an sebagai sumber peradaban. Kemiskinan kesadaran wawasan menjadi kelangkaan tersendiri dalam tubuh umat Islam. Sementara subyektifisme Umat dalam Islam menjalar sampai zaman ini, obyektifisme pesaing peradabannya menjadi satu hal tak pernah dimengerti. Pemilihan sosok pahlawan penakluk menjadi problematis di sini. Kapankah Dunia Islam, khususnya di Indonesia, benar-benar mengungkit kembali tradisi keilmuan dan intelektualitasnya dari akar kebudayaannya sendiri (misalnya di Nusantara), yang dulu menjadi sebuah model peradaban? Rupanya saya lupa, kalangan semacam ini tidak hanya a-historis (memutuskan rantai sejarah intelektual tempatan), tapi juga a-kultural (tidak [mau] berhabitat). Lantas pantaslah kalau kesadaran yang minim, terlalu politis, justru membuat komunitas umat ini memiliki permasalahan dalam level kecerdasannya. Wallahu a’lam.
Depok, 20 Maret 2018, 01.21 WIB
*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan guru sejarah di Pondok Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok; pernah belajar dan menempuh studi singkat di Ma’had ‘Aly Imam al-Ghazaly, Karanganyar, Surakarta.
[Red : Tori Nuariza]