Penggelapan Kebudayaan dan Sejarah: Jejak Raffles Sang Nativis

Penggelapan Kebudayaan dan Sejarah: Jejak Raffles Sang Nativis

Ahda Abid al-Ghiffari*

 

Mohammad Natsir, seorang begawan pergerakan dan bapak guru bangsa Indonesia, telah lama menilai bahwa perbedaan penafsiran sejarah itu merupakan hal yang lumrah, jika dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis. Dengan perbedaan penafsiran tersebut tetaplah dapat ditentukan mana yang benar. Akan tetapi dalam Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Allahuyarham tetap menghimbau agar jangan ada upaya yang disebutnya sebagai ‘penggelapan sejarah’. Ia memaksudkan penggelapan sejarah ini dengan istilah penghapusan fakta-fakta sejarah.[M. Natsir, Pesan Perjuangan Seorang Bapak: Percakapan antar Generasi (disunting oleh A.W Pratiknya), Jakarta: DDII Pusat dan Labda, 1989, hlm. 38.]

Dalam Pesan Perjuangan Seorang Bapak itu pula M. Natsir mengemukakan sebuah istilah yang disebut sebagai ‘nativisme’. M. Natsir menempatkan nativisme sebagai satu dari ‘tesis’ tantangan da’wahnya di antara dua lainnya yang disebutnya kristenisasi dan sekularisme. Nativisme, kata M. Natsir, berbeda dengan sekularisme, karena nativisme ini adalah barang lama yang memiliki ‘pembenaran’ atau akar tradisionalnya. Nativisme tentu saja selalu dikaitkan dengan kebudayaan. Oleh karenanya nativisme sendiri suatu paham yang dapat ditelusuri jejak kebudayaannya dan usaha untuk—dalam bahasa M. Natsir—“… menghidup-hidupkan kebudayaan lama” tersebut.[ Ibid., hlm. 92-94.]

Bagi M. Natsir, kaum nativis yang berusaha menghidup-hidupkan kebudayaan lama yang telah terkubur dan mati dalam masyarakat memiliki dua kecenderungan; yang alamiah dan yang terorganisir. Kaum nativis yang terorganisir ini tentunya lebih serius karena kecenderungan kelompok ini melakukan nativisasi untuk tujuan hukum dan politik dengan jalur kerja yang sama pula. Akhirnya, dalam tujuan politik-politik tertentu kaum nativis-terorganisir, berbagi rencana dan program-program kebudayaan dengan kaum ‘pemurtad’ dan sekularis dalam usaha menghidup-hidupkan kebudayaan lama.

Pesan Perjuangan M. Natsir mengenai ‘penggelapan sejarah’ dan ‘nativisasi’ merupakan dua hal yang relevan. Dalam nativisasi terdapat penggelapan sejarah, dan dalam penggelapan sejarah selalu ada usaha nativistik untuk mendominankan narasi sejarah tertentu dan menyamarkan yang lainnya. Susiyanto akhirnya memperjelas ‘teori’ M. Natsir tentang natrivisasi. Bagi Susiyanto, nativisasi memanglah sebuah kerja kebudayaan yang ditujukan untuk menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya. Dalam usaha ini, kebudayaan lokal yang mengalami proses rancang ulang dan rekayasa diangkat dan ditempatkan sebagai ‘agama dan kebudayaan asli’, yang selalu bersebrangan dengan ‘agama asing’ yang disebut ‘Islam’.[ Susiyanto, “Islam dan Peradaban Candi di Jawa”, Islamia, volume VII, No. 2, April 2012, hlm. 82.]

Dalam nativisasi akhirnya selalu terdapat agenda marjinalisasi dan alienisasi Islam yang menempatkan agama ini selalu berhadap-hadapan dengan kebudayaan lokal. Bahkan agama Islam yang ‘diasingkan’ dilabeli membahayakan bagi kelangsungan hidup budaya dan agama asli pribumi. Akan tetapi dalam nativisasi tidak terdapat ‘keikhlasan’ tertentu yang semata-mata ditujukan untuk membela-bela kebudayaan lokal yang asli pribumi untuk sebuah identitas yang didambakan oleh kelompok tertentu. Nativisasi terorganisir selalu menempatkan peran-peran kaum tertentu untuk kepentingan hegemonik, pelanggengan kekuasaan, termasuk agenda-agenda penginjilan.[ Ibid.]

Memisalkan suatu contoh kepentingan hegemonik dalam kebudayaan, Edward Wadie Said menunjukkan bahwa kolonialisme dan orientalisme adalah hidung-hidung tertunjuk dalam kepeloporan kasus-kasus penggelapan sejarah dan nativisasi. Dalam Orientalism, Said mengisahkan seorang orientalis bernama Renan yang pada abad ke-18 menemukan usia bahasa Timur (Sansekerta) ternyata jauh lebih daripada usia bahasa Ibrani. Penemuan yang fenomenal itu menggerakkan cendekiawan-cendekiawan Eropa yang lain untuk melestarikan penemuan Renan. Penemuan Renan berdampak luas bagi Eropa untuk menetapkan dasar identitas kebudayaan dan peradaban dari segi usianya yang paling tua.[Edward W. Said, “Orientalisme”, a.b. Achmad Fawaid, Orientalisme: Menguggat Hegemoni Barat dan Menempatkan Timur sebagai Subjek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 33.]

Dengan demikian, “cendekiawan Eropa [melalui kolonialisme],” kata Said, “… mulai merancang kembali struktur dunia Timur dengan seni mereka dan menjadikan warna, cahaya, dan manusia-manusia Timur hadir melalui imaji, irama, dan corak yang mereka ciptakan.” Dengan demikian, “… orientalisme meminjam dan sering kali diperkukuh oleh beragam gagasan, doktrin, dan kecenderungan yang ‘kuat’ dari suatu kebudayaan tertentu untuk menguasai kebudayaan yang lain.”[ Ibid.] Penjelasan Said, sepertinya memang pernah terjadi di Kepulauan Melayu Nusantara, termasuk Jawa. Di Jawa, pengaruh India dan wujud-wujud arsitekturalnya yang elitis merupakan gagasan, doktrin, dan kecenderungan ‘yang kuat’ untuk menguasai, menaklukkan, mengelminasi kebudayaan lain yang menjadi musuh langgengnya kolonialisme.

 

Jejak Raffles dalam Nativisasi Kebudayaan Jawa

Historitas kebudayaan Jawa setidaknya mengenal dua proses kebudayaan; yang pertama Indianisasi, kemudian disusul dengan Islamisasi. Yang pertama bukanlah proses-proses kebudayaan yang pertama kali mempengaruhi jiwa tradisi populer masyarakat. Sebelum kedatangan pengaruh Indianisasi, masyarakat di Kepulauan Melayu Nusantara dan Jawa telah mengembangkan kebudayaan teknologi yang maju. Tatiana A. Denisova bahkan menunjukkan bahwa pertanian dan beras telah menjadi kebudayaan dominan dan melambangkan kemajuan pengembangan teknologi pangan di zaman “pra-sejarah”.[ Tatiana A. Denisova, Sumber Historiografi di Alam Melayu: Koleksi Pribadi John Bastin, Selangor (Malaysia): Perpustakaan Negara Malaysia, 2011, hlm. 25-31.] Pembagian antara zaman pra-sejarah dan zaman sejarah dengan demikian agakanya menyesatkan.[ Diskursus problematika istilah “pra-sejarah” dan “sejarah” dapat dilihat dalam Bambang Purwanto, “Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik”, M. Nursam (penyunting), Menggugat Historiografi Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2013, hlm. 25. Bambang Purwanto mengusulkan untuk menggunakan istilah zaman “pra-aksara” untuk mengganti istilah “pra-sejarah”.] Kedatangan pengaruh India di Indonesia seringkali dianggap sebagai ‘zaman sejarah’ sekaligus ‘zaman pengadaban’ melalui pengembangan budaya tulisnya. Sementara yang dianggap sebagai zaman pra sejarah dievakuasi sebagai zaman keprimitifan, hanya karena belum terdapat bukti ditemukannya tulisan pada zaman itu.

Cara pandang ‘zaman pengadaban’, ‘zaman keemasan’, atau ‘zaman kejayaan’ pengaruh Indianisasi inilah yang selalu mendasari cara berfikir kaum kolonial, tak terkecuali oleh Thomas Stamford Raffles. Dengan cara pandang yang sama, Raffles kemudian membawa imaji kemegahan masa lalunya untuk menetapkan batas-batas watak anti-Islamnya. Letnan Gubernur Jenderal yang ditugaskan Lord Minto untuk merebut Jawa dan memerintahnya pada tahun 1811-1816 bukanlah sosok akademis, apalagi arkeolog. Akan tetapi di tangannya telah lahir sebuah magnum opus mengenai sejarah Jawa yang berpengaruh besar bagi kajian-kajian mengenai Jawa dan juga bagi para Rafflesian. The History of Java lahir dari ketekunan administrasi dan kecakapan tulisan Raffles tatkala ia bekerja melayani negaranya. Dalam History of Java itulah terdapat marjinalisasi Islam—sebuah agama yang disebutnya ‘ajaran Mahometanisme’—yang ditunjuk sebagai agama reaksioner dan fanatisme yang penuh kekerasan.[Hairus Salim HS, “Konstruksi Islam Jawa dan “Suara Yang Lain””, dalam Mark R. Woodward, “Islam in Java: Normative Piety and Misticism”, a.b. Hairus Salim H.S., Islam Jawa: Kersalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm. vii-viii.]

Charles Wilkins yang pernah ditemui Raffles diduga Thomas Jefferson—salah satu penulis biografi Raffles—sebagai orang yang paling berpengaruh bagi Raffles dalam pembentukkan watak keterpesonaannya terhadap Hinduisme dan kemegahan artistiknya. Wilkins pernah menerbitkan sebuah terjemahan pertama lagu Bhagavad, sebuah lagu pujian, bahasa klasik Sanskrit di mana metafisika Hinduisme memiliki ekspresi yang tepat. Karena ditugaskan di sebuah gedung yang sama selama empat tahun, kemungkinan besar Raffles banyak mendengarkan obrolan-obrolan Wilkins mengenai betapa memukaunya Hinduisme dan semangat artistiknya. Tumbuhnya ketertarikan Raffles dengan Hinduisme mendapat jalannya tatkala ia ditugaskan di Jawa dalam sebuah ekspedisi pengusiran aneksasi Perancis di tanah kolonial Belanda.[Thomas Jefferson, [Judul Bahasa Inggris tidak dicantumkan dalam identitas buku], Raffles Sang Pejuang: Hidup, Cinta, dan Tragedi, Jakarta: Taramedia, 2011, hlm. 30 dan 32.] Lamanya penugasan di Jawa itulah ia menemukan reruntuhan-reruntuhan dan sisa-sisa Hindu-Budha yang terkubur (yang oleh karenanya Raffles mengkambing-hitamkan Islam atas sebab runtuhnya itu), yang saat ini kita sebut sebagai candi.

Raffles mendapatkan bantuan memadahi dalam penelitiannya mengenai Jawa. Ia memiliki beberapa asisten yang ditugaskannya untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai Jawa dan sejarahnya. Laporan terpenting yang dihasilkan oleh para asistennya itu mengabarkan tentang penemuan sebuah candi besar yang ditemukan tersembunyi di hutan rimba dekat Yogyakarta. Candi ini sama sekali tak diketahui Belanda, dan penemuan itu sungguh-sungguh membuat Raffles begitu gembira sehingga ia segera menuju lokasi ditemukannya candi tersebut. Candi itu kini dikenal dengan nama Borobudur.

Raffles terpesona melihat Borobudur dan menyebutnya sebagai hasil karya seni. Ukiran-ukiran yang terdapat dalam Borobudur diimajikan dengan gambaran atsmosfer zaman keemasan, ketika manusia dan hewan pergi bersama-sama dengan gembira. Sayangnya Raffles menemukan simbol imaji ‘zaman keemasan’ tersebut dalam kondisi yang menyedihkan, tertimbun tanah, ditumbuhi semak-belukan, dan dan dilupakan orang-orang Jawa yang tak peduli dengan ‘monumen elitis’ tersebut.

Andrik Purwasito semacam memuji temuan Raffles dan para asistennya tersebut. Sebagai The English [who] came to Java as friends, Raffles telah disanjungnya sebagai orang yang telah membangun kembali Dunia Nusantara Megah. Sanjungan ini berdasar pada sumbangan Raffles yang teramat besarnya dalam mengentaskan candi-candi kuno semacam Borobudur dari kuburannya. Raffles dianggap telah berjasa besar dalam mengangkat Borobudur menjadi salah satu keajaiban dunia,[Thomas Stamford Raffles, “The History of Java”, a.b. Eko Prasetyaningrum, et.al., The History of Java, Yogyakarta: Narasi, 2008, hlm. xiv dan xvi; lihat pula dalam Andrik Purwasito, “L’Image de l’Indie dans le Iscours des Nationalistes Indonesiens”, Kundharu Sadhono (ed.), Imajeri India: Studi Tanda dalam Wacana, Surakarta: Pustaka Cakra, 2002, hlm. 18-20 dan 23-25.] dan sekali lagi, ini—dikatakan dengan agak lucu memang—berkat Tuan Raffles yang datang ke Jawa sebagai seorang teman! Raffles dianggap sebagai seorang teman yang menafsirkan India sebagai bangsa pengadab di Jawa. Raffles membayangkan bahwa sebelum pengaruh India datang, masyarakat Jawa masih belum beradab. India adalah ‘bangsa kolonial’ yang memperadabkan Jawa, dan oleh karenanya kolonialisme Barat akan berlaku sebagaimana kolonialisme India di masa kuno yang membuat Jawa menemukan ‘zaman keemasannya’.

Dalam History of Java, reruntuhan candi-candi di Jawa Tengah dan Timur mendapat sorotan serius dari Raffles. Raffles menekankan sisi Hindu dalam masyarakatr Jawa. Ia bersikeras menggambarkan bahwa masyarakat Jawa sedang kembali pada kepercayaan Hindu. Akan tetapi ia sendiri semacam tak jujur bahwa kaum kolonialis sendirilah yang sebenarnya menggali, ‘.. mensketsakan …’, merekonstruksi ulang, dan menjelaskan kembali reruntuhan-reruntuhan pra-Islam yang Raffles anggap sebagai kemegahan dan zaman keemasan Jawa.

Raffles menulis bahwa Candi Prambanan dan Borobudur “… merupakan benda-benda yang mengagumkan sebagai karya yang agung. Beberapa luas bangunan tertutup tanaman yang begitu indah. Namun kehancuran  pun telah terjadi secara perlahan di beberapa tempat.” Dalam karyanya itu pula ia melukiskan, setidaknya, sembilan-belas reruntuhan dan lokasi-lokasi percandian di Jawa Barat, Tengah, dan Timur. Semua candi-candi yang disebutkan Raffles dalam karyanya itu—sekali lagi—ditemukannya dalam keadaan yang mengenaskan, berupa reruntuhan, ditumbuhi tanaman liar, hampir tak dikenalinya sebagai candi, dan ditinggalkan oleh orang-orang Jawa yang telah lupa terhadap candi-candi yang pernah menjadi simbol kerja-paksa dari hirokrasi India di Jawa.[ Raffles, The History of Java, hlm. 355.]

 

Warisan Sang Nativis

Usaha Raffles dalam membangkitkan kembali candi-candi terkubur pra-Islam telah mempelopori restrukturisasi kebudayaan Jawa. Ia menghadirkan kembali—dalam bahasa Edward Said—imaji, irama, dan corak yang kembali direkayasanya. Semua itu dilakukannya untuk memproduksi kembali gagasan, doktrin, dan kecenderungan yang kuat dari kebudayaan pra-Islam untuk menguasai dan menaklukkan kebudayaan populer Islam yang tengah berkembang di masanya—yang pula disebutnya sebagai agama reaksioner dan mudah memicu terjadinya pemberontakan terhadap orang Eropa.

‘Jasa Raffles’ merupakan modal berharga bagi kolonialisme kebudayaan yang telah dimulai pada abad ke-19. Belanda yang mewarisi hasil kerja Raffles berhasil memanfaatkannya untuk misi kolonialisme dan ocehan sumbangnya tentang ‘pengadaban’. Kelak, warisan-warisan intelektual Raffles menjadi dasar yang berharga bagi para pengikutnya untuk menetapkan kebijakan deradikalisasi Islam dan asosiasi kebudayaan. Kepeloporan ini menjadi jembatan penting untuk menjadikan generasi pribumi yang tak lagi identik dengan ke-Islaman dan lebih dekat dengan kejawaan yang hampir nihil Islamisasi. Melalui jejak Raffleslah, nativisasi terorganisir, penggelapan peran-peran sejarah dimulai, dan kebudayaan Islam dieliminasi.

Oleh karenanya, agak lucu memang ketika ada broadcast di WhatsApp saya yang nampaknya ditulis oleh seorang dosen berkebangsaan Indonesia yang mengajar di Inggris. Ia menulis artikel, dan dalam artikelnya itu ia menceritakan bahwa ada seorang bule Jerman Muslim bertanya kepadanya: “Negaramu ini betulan negara Muslim? Kenapa ada patung-patung dewa … di embassy kamu?” Kalau saya dosen itu dan yang bertanya itu adalah orang London—bukan Muslim Jerman tadi, saya akan jawab—dengan agak guyon: “Yeah. For the second question, why don’t you ask your Grandpa Raffles about this, and ask him to bring that old God statues to his own grave. So your Grandpa Raffles can build his own Glorious Nusantara World in his afterlife, Mate?” Wallahu’alam.[]

 

*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan guru sejarah di Pondok Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok; pernah belajar dan menempuh studi singkat di Ma’had ‘Aly Imam al-Ghazaly, Karanganyar, Surakarta.

 

[Red : Tori Nuariza]