Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) dan Usaha Peningkatan Kesejahteran Buruh

Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) dan Usaha Peningkatan Kesejahteran Buruh

Agfa Adityo S. K

Kelompok buruh telah ada di Indonesia sejak awal abad 19. Dalam buku Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia karya Iskandar Tedjasukmana salah seorang mantan menteri perburuhan Indonesia disebutkan :

Kerja upahan muncul ketika politik pintu terbuka diterapkan oleh pemerintah kolonial menggantikan cultuurstelsel 1870 sehingga mendatangkan perusahaan-perusahaan swasta asing untuk berinvestasi di Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan, pertambangan-pertambangan, dan proyek-proyek kereta api mulai beroperasi dan mempekerjakan ratusan ribu tenaga pribumi.1

Pada tahun 1908 muncul sebuah serikat buruh baru yang bernama Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (VSTP) didirikan di Semarang oleh wakil-wakil kaum buruh yang bekerja di perkeretaapian Negara maupun perusahaan kereta api dan tram swasta. Serikat baru ini bertekad untuk mengorganisasi semua buruh kereta api tanpa perbedaan ras, jenis pekerjaan, dan kedudukan di dalam dinas Negara atau perusahaaan. Akan tetapi organisasi ini lebih memusatkan perhatiannya pada pekerja-pekerja yang sifatnya operatif, atau pekerja tangan dibanding pekerja kerah putih. Organisasi ini menjadi semakin militan ketika kaum sosialis banyak yang duduk di tampuk kepemimpinan. Dalam perkembangannya perserikatan ini kemudian banyak diduduki oleh kaum sosialis dan komunis seperti Douwes Dekker, Sneevliet, Semaoen dan lain-lain.2

Dalam jangka waktu 40 tahun sebelum Jepang menduduki Hindia Belanda puluhan serikat pekerja dan serikat profesi bermunculan bagai jamur di musim hujan. Serikat-serikat ini dibentuk atas ikatan lingkup perusahaan, lingkup wilayah, jenis perusahaan, jenis profesi, ideologi dan kepercayaan serta ras. Tujuan umum dari adanya serikat-serikat ini pada dasarnya adalah memperjuangkan peningkatan kesejahteraan perkerja terutama buruh dan pemenuhan hajat keperluan yang dibutuhkan buruh baik dalam bekerja maupun diluar lingkungan kerja dalam hidup sebagai manusia dan bagian dari masyarakat. Jadi tuntutan buruh atau pekerja bukan hanya sekedar upah namun juga perlakuan manusiawi, kesempatan untuk mendapatkan liburan dalam rangka momen tertentu, tunjangan, jaminan, dan masih banyak lagi.

Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 membawa angin baru bagi gerakan buruh Indonesia. Banyak organiasasi buruh berusaha berdiri kembali dan organisasi gabungan serikat buruh dibentuk kembali. Akan tetapi semua belum menunjukkan hasil yang signifikan. Gerakan yang baru bangkit kembali ini masih bersifat sporadis di samping memang perang mempertahankan kemerdekaan masih berecamuk juga perusahaan atau industri belum berjalan dengan baik. Namun paling tidak masih terdapat tiga kekuatan gerakan buruh yang bertahan hingga masa-masa setelah kedaulatan Indonesia diperoleh. Tiga kekuatan gerakan buruh tersebut antara lain Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) yang berdiri tahun 1945 kemudian bubar dan didirikan kembali tahun 1949 setelah dituduh terlibat “peristiwa Madiun” tahun 1948, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) yang berdiri tahun 1949 terdiri dari orang-orang sosialis dan nasionalis yang anti komunis dan anti SOBSI, yang terakhir Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) berdiri tahun 1948 atas prakarsa tokoh Masjumi yaitu Soekiman Wirjosandjojo dan serikat ini menjadi anggota istimewa dari partai tersebut.

Setelah diakuinya kedaulatan bangsa Indonesia pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar, Republik Indonesia Serikat resmi berdiri dan memerintah sampai tanggal 17 Agustus 1950. Setelah delapan bulan memerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, UUDS 1950 kemudian disahkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.3 Pada tahun inilah kemudian Indonesia memasuki era Demokrasi Liberal. Hal ini menjadi babak baru dalam kehidupan politik di Indonesia.

Pada masa era demokrasi liberal ini terjadi dinamika politik yang luar biasa. Di era ini banyak terdapat berbagai macam partai politik, organisasi, perkumpulan, dan gerakan dengan aneka ragam aliran, faham dan ideologinya. Diantaranya adalah kelompok-kelompok yang berfaham sosialis dan nasionalis sekuler, kelompok yang berazazkan agama, maupun kelompok-kelompok lain yang membawa prinsip adat dan budaya tradisional. Dari semua kelompok tersebut, mayoritas dari mereka kental dengan pengaruh semangat revolusi kemerdekaan, anti kolonial dan menghendaki terwujudnya kemajuan dan kesejahteraan rakyat dalam suasana Indonesia yang merdeka.

Situasi politik pada masa demokrasi liberal yang dimulai pada tahun 1950 begitu panas. Banyak partai bermunculan saling memperebutkan kursi. Kabinet tidak pernah berlangsung lama karena mosi tidak percaya. Dalam kondisi politik yang demikian itu organisasi buruh tidak lepas dari pengaruh dan rebutan partai politik. Partai politik berkepentingan pada buruh untuk menjadikannya basis suara pemilih, massa penekan pemerintah dan pengusaha melalui demonstrasi juga pemogokan serta sarana untuk mengkoordinir anggotanya dalam lingkungan profesinya dalam rangka menampung aspirasi dan memenuhi kebutuhan kaum buruh tersebut. Sedangkan buruh memerlukan partai politik sebagai penyalur aspirasi dan akses politik untuk mempengaruhi penyusunan kebijakan yang memberi jaminan atas kehidupan buruh. Oleh karenanya organisasi buruh tidak pernah lepas dari ideologi partai afiliasinya yang kemudian mempengaruhi wacana gerakan, sikap dan tuntutannya.

Di samping tiga serikat buruh yang telah disebutkan di atas, sebenarnya masih terdapat berbagai macam organisasi buruh yang tidak terlalu besar, masing-masing memiliki filosofi, strategi perjuangan yang berbeda. Namun pada umumnya serikat buruh ini dapat dibagi menjadi dua karakter yakni yang berhaluan sosialis demokrat dan komunis radikal. Yang satu menekankan kepada saling pengertian antara pekerja dan majikan untuk memperoleh keuntungan bersama melalui perjanjian-perjanjian dan yang lain bersikap lebih ekstrim dan menganut teori pertentangan kelas yang dalam strategi praktisnya banyak dilakukan sabotase-sabotase terhadap perusahakan, pemogokan yang melumpuhkan jalannya produksi dan penggulingan bahkan terror terhadap majikan. Dari dua kelompok tersebut terdapat satu alternatif yang memiliki identitas dan afiliasi politik yang berbeda dari keduannya yakni Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII). Disebut unik karena merupakan serikat buruh pertama yang berazaskan agama dalam hal ini Islam mengingat umumnya diskursus mengenai kelas pekerja dan gerakannya umumnya muncul dari ideologi Sosialisme dan Komunisme yang merupakan produk sejarah industri yang tumbuh dari Eropa. Padahal di Eropa agama menjadi salah faktor penting atas tumbuh suburnya kapitalisme yang menjadi musuh dari ideologi Sosialis dan Komunis.

 

Munculnya SBII sebagai Alternatif

Serikat Buruh Islam Indonesia atau yang disingkat dengan SBII  didirikan pada 27 Nopember 1947 di Solo4 yang dipelopori oleh Dr. Soekiman Wirdjosandjojo seorang tokoh senior partai Masyumi yang pada masa pra-perang sudah berpengalaman memimpin Serikat Buruh Pegadaian.  Tokoh utama lainnya ialah Harun al-Rashid atau Firdaus, seorang yang pernah dua kali dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Boven Digul, pemimpin surat kabar Adil di Solo, kemudian surat kabar al-Djihad dan Guntur dan juga Mr. Mohammad Dalyono. Dalam sejarah SBII nama Harun al-Rashid bahkan pernah dicatat sebagai pendirinya dan tampillah ia sebagai Ketua Umum yang pertama (1947) sedangkan dalam tahun 1948 kedudukannya diganti oleh Mr. Mohammad Dalyono.5 SBII yang eksis selama 13 tahun dipimpin oleh Jusuf Wibisono yang juga anggota istimewa Masyumi sebagai wakil SBII dari tahun 1953 ketika Mohammad Dalyono meletakkan jabatannya hingga tahun 1960 ketika serikat buruh Islam yang ada berfusi dan membentuk organ baru yang bernama Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO).

Berdirinya SBII dilatarbelakangi dengan kuatnya PKI sebagai lawan politik dari Masyumi yang membangun basis massa dari kalangan buruh dan tani. Mereka kemudian membentuk Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Karena hanya sedikit saja jumlah tokoh Masyumi yang sanggup memimpin perjuangan kaum buruh dan tani, akibatnya ialah kaum buruh dan tani Islam terpaksa masuk menjadi anggota SOBSI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang juga menjadi mantel organisasi PKI. Mereka menganggap bahwa parpol Islam kurang atau tidak mampu melindungi atau memperjuangkan nasib mereka.6

Pada tahun 1955, yakni menjelang pemilihan umum I, baru sementara pemimpin Masyumi mengetahui betapa kurang lengkapnya politik Masyumi dengan menelantarkan organisasi buruh dan tani. Buruh yang bekerja pada majikan Islam tetapi menjadi anggota SOBSI aan lebih taat pada komando PKI daripada kepada komando Masjumi. Perkembangan massa anggota organisasi pun SBII mengklaim memiliki anggota sebanyak 275.000 pada tahun 19567 dalam pernyataan lain menurut pernyataan PB SBII jumlah anggotanya sempat mencapai 800.000 namun ketika diregistrasi kembali pada tahun 1959 hanya tinggal 54.139 saja seiring dengan munculnya Saburmusi yang berafiliasi dengan Partai NU, Gobsi-Ind yang berafiliasi dengan PSII, dan KBIM yang bersifat independen.8 Berjarak cukup jauh dengan SOBSI yang memiliki anggota berjumlah 2.732.909 pada tahun 1960.9

Meski belum sampai menandingi SOBSI, tetapi eksistensi SBII sudah cukup kuat dan solid. Hal ini karena kepengurusan SBII telah diisi oleh orang-orang yang terampil dan militan. Mereka juga telah berhasil menyusun narasi tersendiri mengenai permasalahan dan perjuangan buruh. Hal ini setidaknya dapat kita lihat melalui tulisan berseri yang dimuat dalam majalah HIKMAH sebuah media yang berafiliasi dengan Masyumi. Sepanjang tahun 1952 Muhammad Dalyono (ketua umum kedua SBII) menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai permasalahan buruh dan strategi dalam menghadapinya pada rubrik tanah air dalam majalah tersebut. Pada sepanjang tahun 1953 rubrik ini banyak diisi oleh tulisan dari S. Narto (Sekretaris Jenderal SBII) yang juga menulis seri ilmu perburuhan di Suara Partai Masyumi hingga 7 jilid. Selain hal tersebut, eksistensi SBII juga dapat dilihat dari berdirinya poliklinik SBII serta pemberian fasilitas ibadah, pendidikan, dan kesehatan lainnya di berbagai daerah.

Pada tahun 1957, SBII menjadi berafiliasi dengan International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU). ICFTU merupakan organisasi persatuan serikat-serikat buruh “non-komunis” internasional. Organisasi ini merupakan tandingan dari World Federation of Trade Unions (WFTU) yang berhaluan komunis. SBII juga aktif mengadakan hubungan-hubungan dengan gerakan-gerakan serikat buruh di negeri-negeri muslim lainnya.

 

Ideologi dan Strategi Perjuangan SBII

Dalam suatu konferensi yang diselenggarakan Masyumi dengan dihadiri oleh tokoh-tokoh Ulama dan tokoh-tokoh serikat buruh pada tahun 1948 di sekitar sebelum pendirian SBII, dibahas perlu tidaknya berdiri serikat buruh Islam. Lantas jika memang perlu adanya serikat buruh Islam dicari, apakah terdapat landasan agama bagi gerakan tersebut. Hasil konferensi itu menyebutkan:

a. Tidak ada masalah perburuhan khusus dalam Islam, setiap masalah yang berhubungan dengan perburuhan oleh karenanya mesti diselesaikan sebagai suatu masalah yang bersifat manusiawi.

b. Menurut Islam terdapat beberapa masalah yang sangat erat mempengaruhi buruh, dan terdapat tanda-tanda di dalam ajaran dan tradisi Nabi Muhammad yang menunjukkan bagaimana persoalan perburuhan mesti diselesaikan.

c. Pada umumnya, Islam tidak berbicara tentang kepentingan-kepentingan istimewa dari kelompok-kelompok rakyat khusus tetapi Islam melihat lebih jauh pada perkembangan sosial rakyat dalam suatu periode waktu khusus, dan dalam kasus-kasus seperti itu bagi Islam tersedia sekumpulan petunjuk yang dapat diterapkan. Demikianlah tidak akan merupakan suatu kesalahan jika sebuah serikat buruh khusus didirikan berdasarkan Islam.10

Dengan melihat poin-poin di atas jelaslah bahwa tidak terdapat tuntunan praktis atau fiqh mengenai perburuhan. Oleh karenanya SBII banyak meminjam konsep-konsep sosialisme yang selaras dengan jiwa dan nilai Islam. Dalam manifes SBII memang dijelaskan bahwa “Siasat SBII tidak berbeda dengan siasat serikat buruh yang ada, dan oleh karenanya SBII bersedia bekerja sama dengan serikat-serikat buruh manapun dan tidak memperkosa dasar-dasar keIslaman.” Selain itu juga dalam manifest tersebut banyak menukil ayat-ayat Al Qur’an sebagai landasan, seperti surat At Takatsur 1-2 “Djangan kamu berlomba2 menimbun benda, karena menimbun2 benda itu perbuatan yang menyesatkan sampai ke liang kubur” yang menjelaskan tentang kapitalisme. Selain itu juga potongan surat Al Baqarah ayat 193 “…tidak ada permusuhan ketjuali terhadap kedloliman” yang menjelaskan asas solidaritas.

SBII memiliki nilai dan strategi perjuangan yang bertolak belakang dengan nilai dan strategi dari Serikat-Serikat Buruh yang berhaluan komunis radikal termasuk SOBSI. “SBII menolak teori perjuangan kelas dan berpihak pada kerjasama dengan manajemen dalam mencari jalan-jalan untuk memperbaiki upah dan kondisi kerja,” tulis Iskandar Tedjakusuma dalam Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. S. Narto yang pernah menjadi sekretaris jenderal SBII cukup banyak menguraikan strategi-strategi peningkatan kesejahteraan buruh. Dalam majalah Hikmah tahun 1952 no 24-25 S. Narto menanggapi tentang tuntutan buruh terhadap hadiah lebaran (sebelum dikenal THR). Agar tidak setiap menjelang lebaran terjadi pemogokan yang merugikan banyak pihak, S. Narto merekomendasikan agar dari pengusaha yang kaya dibagikan zakat fitrah kepada buruh yang dapat dimasukkan ke dalam golongan penerima zakat. Selain itu, S. Narto menyarankan agar dilakukan usaha perlindungan perburuhan baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja seperti : jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, upah yang cukup, jam kerja yang tak mengganggu kesehatan, perumahan, dan pendidikan.11[Hal ini sudah mulai diupayakan melalui perjanjian perburuhan perjanjian perburuhan pada Kabinet Sukiman-Suwiryo melalui menteri perburuhan Iskandar Tedjasukmana. Isi perjanjian tersebut antara lain : Pengakuan terhadap serikat buruh, waktu dan jam kerja, masalah upah, dan jaminan sosial.]

 

SBII juga sering dicap sebagai Serikat Buruh yang anti pemogokan langkah kontroversial ditempuh SBII ketika menyetujui Peraturan Pemerintah No 1/1951 mengenai larangan pemogokan pada perusahaan-perusahaan vital. Keputusan SBII mendapat kecaman dari SOBSI yang menuduh SBII, “sebagai organisasi buruh yang anti mogok dan cenderung membela majikan.” S. Narto menyampaikan bahwa dalam menjalankan pemogokan harus diperhatikan, dari mana buruh nanti akan mendapat penghasilan pengganti selama tidak bekerja. Selain itu harus dipertimbangkan pula dampak pemogokan yang merugikan masyarakat lain di luar karena produksi barang yang dibutuhkan berhenti. Pada perusahaan vital terutama seperti di bidang kesehatan SBII tidak menghendaki adanya pemogokan. Hak untuk melakukan pemogokan harus diatur payung hukumnya.12 Dia menyebutkan terlalu gegabahnya buruh terhadap pemogokan justru membunuh dirinya sendiri.13

Meskipun begitu, pemogokan oleh SBII bukannya tidak dilakukan. Misalnya, pada Oktober 1951, SBII Kring Super Motor Jakarta melakukan aksi mogok untuk menuntut premi beras dan libur tahunan. Pada tahun yang sama, Kring Kapal Willems Nugs melakukan mogok untuk menuntut tunjangan lebaran.14 Pada masa dipimpin oleh Jusuf Wibisono, pemogokan-pemogokan juga dilakukan terutama dalam rangka aksi solidaritas antar organisasi buruh baik nasional maupun internasional walaupun pemogokan yang dilakukan oleh SBII sangat sedikit dan jarang dilakukan ketimbang SOBSI. Dalam pandangan SBII pemogokan merupakan senjata tertajam organisasi buruh yang dapat dilakukan sebagai langkah terakhir apabila lobi dan tawar-menawar tidak berhasil. Selain juga memperhatikan keselamatan buruh dan pihak konsumen selama tidak bekerja.

SBII pada tahun 1953 memutuskan untuk tidak ikut merayakan 1 Mei. Dalam penilaiannya karena perayaan tersebut bersumber dari ajaran marx dan sering digunakan untuk propaganda kepentingan politik tertentu. Oleh karenanya SBII menanggapinya dengan santai dan tetap terus bekerja dengan produktif.

 

Epilog

Usaha peningkatan kesejahteraan buruh bukan sekedar meningkatkan upah tetapi juga jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, upah yang cukup, jam kerja yang tak mengganggu kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Selain itu, kondisi kerja yang memadai juga diusahakan dalam rangka memperlakukan pekerja secara manusiawi. Dalam hal ini usaha yang dilakukan oleh SBII menggunakan asas solidaritas yang banyak dianjurkan oleh gerakan buruh religius di Eropa Barat. Langkah-langkah yang dilakukan lebih banyak menggunakan proses lobi untuk saling membangun pengertian antara buruh dan majikan untuk menciptakan kondisi kerja yang manusiawi.

Jika dilihat sekilas gerakan SBII ini hampir menyerupai gerakan buruh yang berhaluan sosialisme demokratis. Hanya saja dalam pernyataannya SBII banyak menggali dari sumber-sumber Al Qur’an untuk mememperkuat legitimasi argumennnya. Sumber-sumber Islam juga banyak digunakan dalam usaha peningkatan kesejahteraan kaum buruh seperti zakat, sedekah dan hokum muamalah lainnya yang berkaitan antara pekerja dan majikannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan pada manifesnya “Siasat SBII tidak berbeda dengan siasat serikat buruh yang ada, dan oleh karenanya SBII bersedia bekerja sama dengan serikat-serikat buruh manapun dan tidak memperkosa dasar-dasar keIslaman.”

Konsekuensi dari semua itu adalah SBII menjadi kalah populer dengan SOBSI. Hal ini disebabkan karena konsepsi kaum komunis mengenai buruh dan tani sudah lebih mapan dan mutakhir. Selain itu kondisi buruh yang kelaparan dan jauh dari kesejahteraan membuat mereka terperangkap dalam janji-janji muluk PKI tentang kemenangan kaum buruh dan perebutan kekuasaan oleh kaum buruh terhadap majikan. Namun setidaknya SBII telah berusaha dengan baik menunjukkan bagaimana cara memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh dengan tetap dilandasi oleh etika Islam yang baik.

 

*Agfa Adityo Satriyo Kuncoro merupakan penggiat Studi Wawasan Islam (SWI) [http//:swionline.net/]. Ia masih menempuh studi S1 di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta

 

[Red : Tori Nuariza]

 

Catatan Kaki :

  1. Iskandar Tedjasukmana, 2008 Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia, Jakarta: TURC, hlm 3.
  2. Sandra, 2007, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, Jakarta: TURC, hlm 12.
  3. Mawarti Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), 2011, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, edisi ke 4, cetakan ke 5, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 304-307
  4. Dalam kata pengantar buku Kenang2an Kongres SBII ke VI di Jogjakarta TG 23 Sampai 26 Januari 1960 disebutkan bahwa “SBII telah lahir, ditjetuskan oleh pemuka2 Islam di kota Jogjakarta, dan selanjutnya direalisir di kota Solo”. Hal ini selaras dengan fakta bahwa kota Jogja sempat menjadi pusat pemerintahan politik dan banyak tokoh politik nasional pada waktu itu berasal atau berada di Jogjakarta selain kota Jogja sebagai kota yang telah memiliki perguruan tinggi (pusat intelektual) dan industri (basis buruh) sehingga gagasan ini muncul dari Jogja dan direalisir di kota Solo yang sudah cukup maju dan menjadi medan pergerakan pada waktu itu.
  5. Soebagijo I.N, 1980, Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang, Jakarta : Gunung Agung. Hlm 98
  6. Sangat diinsyafi bahwa wacana perburuhan di dalam anggota Masyumi tidak begitu berkembang. Tidak banyak yang meminati persoalan masalah buruh. Hal ini dapat dipahami karena tokoh-tokoh Islam yang berada pada elite partai umumnya adalah ulama murni, pedagang atau pengusaha, dan pegawai administratif. Hubungan ekonomi yang banyak di kemukakan melalui khasanah keilmuan Islam yang ada pun tidak pernah mengupas masalah mengenai buruh dengan pengertian yang terbangun pada masyarakat industri modern.
  7. Iskandar Tedjasukmana, 2008. Hlm 58.
  8. Kenang2an Kongres SBII ke VI di Jogjakarta TG 23 Sampai 26 Januari 1960.
  9. https://id.wikipedia.org/wiki/Sentral_Organisasi_Buruh_Seluruh_Indonesia
  10. Iskandar Tedjasukmana, 2008. Hlm 74-75
  11. Hal ini sudah mulai diupayakan melalui perjanjian perburuhan perjanjian perburuhan pada Kabinet Sukiman-Suwiryo melalui menteri perburuhan Iskandar Tedjasukmana. Isi perjanjian tersebut antara lain : Pengakuan terhadap serikat buruh, waktu dan jam kerja, masalah upah, dan jaminan sosial.
  12. Hikmah tahun 1952 no 18.
  13. Hikmah tahun 1953 no 45.
  14. https://historia.id/modern/articles/serikat-buruh-islam-indonesia-memilih-seteru-antara-komunis-atau-majikan-PMLXe