Pendidikan Islam dalam Kemelut Tantangannya

Pendidikan Islam dalam Kemelut Tantangannya

Ahda Abid al-Ghiffari*

 

Beberapa dekade terakhir ini, muncul tren baru dalam bidang-bidang pendidikan Islam di Indonesia. Beberapa di antaranya bangkit berdasarkan pemikiran eksklusif-alternatif mengenai tafsir peradaban sempit dan menuduh ‘sistem lama’ yang konvensional telah mandeg dan hanya mencetak kesia-siaan pada berbagai luaran sumber daya manusia. Sistem konvensional dalam pendidikan memang sudah lama dikritik telah larut dalam industrialisme. Seorang guru senior yang telah menitikan karirnya mengajar sejarah di suatu sekolah pernah mengeluhkan beratnya beban administrasi mengajar dan kelengkapan dokumen yang harus dipenuhi sebagai seorang guru. Dengan semua beban itu, menurutnya pada masanya nanti guru hanya akan sekedar menjadi ‘tukang ngajar’ yang sibuk untuk menyiapkan segala administrasi mengajar dan belajar siswanya, tanpa bisa memiliki ruang untuk mengembangkan dirinya sebagai seorang intelektual dan gagasan-gagasannya.

Dari tantangan dunia industri tersebut, beberapa kalangan eksklusif-alternatif itulah yang menangkapnya dengan sangat ekstrim. Beban belajar siswa dan beban administrasi guru akhirnya dipangkas dengan begitu radikalnya. Menurut aliran ini, beban belajar siswa di sekolah hanyalah kesia-siaan belaka. Tidak semua ilmu bisa dikuasai dan diamalkan; jadi kenapa harus banyak beban belajarnya? Alternatif ini melompat dari satu titik kemudian menempatkannya pada titik ekstrim yang lain; salah satunya, beban belajar yang betul-betul dipangkas itu justru memunculkan ‘beban belajar’ baru. Di antaranya pelajaran menghafal menjadi pelajaran formal utama dan paling menonjol. Salah seorang siswa dari aliran alternatif seperti ini sering saya jumpai. Salah satunya bercerita bahwa sampai SMA-pun pelajaran menghafal seperti itu masih terus dilakukan. Mengapa demikian? Salah seorang praktisinya pernah mengaku, “yang penting menghafal dulu, belajar ilmu kalau menghafalnya sudah selesai.”

Tentu saja aliran semacam ini memunculkan problema-problema baru. Dengan beban belajar yang dipangkas secara ekstrim itu, kemudian digantikan dengan satu beban belajar baru namun betul-betul dominan ‘24 jam’ dipelajari, telah menghilangkan ruang-ruang untuk pengembangan diri bagi peserta didik dan, tentu saja, pengembangan nalar berfikir secara intlektual. Perlu ditegas-ulangkan di sini, ini terjadi sampai peserta didik tamat SMA; mereka tidak diberikan kesempatan untuk berfikir dan menjadi ilmuwan dalam bidang yang seharusnya telah mereka pilih sedari tingkat menengah pertama.

 

Memetakan Tantangan

Dalam ‘Pendahuluan’nya, Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf mengungkapkan bahwa “Pendidikan merupakan suatu proses yang mencakup tiga referensi: individu, masyarakat atau komunitas nasional dari individu tersebut, dan seluruh kandungan realitas, baik material maupun spiritual, yang memainkan peranan yang menentukan sifat dan nasib dari manusia dan masyarakat” (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, “Crisis Muslim Education”, a.b. Rahmani Astuti, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Bandung: Gema Risalah Press, 1994, hlm. iv). Dalam proses menentukan sifat dan nasibnya sebagai individu dan masyarakat itulah, pendidikan menentukan arah dan tujuannya. Kenyataan pendidikan tidak menempatkan peserta didik pada posisinya untuk menemui dunia luarnya. Di semua titik tersebut, terdapat eksklusi yang menutupi kesadaran peserta didik; sejatinya memberikan suatu ketertutupan kesadaran sebagai hakikatnya sebagai manusia dan manusia spiritual-berketuhanan serta hakikat kediriannya di tengah-tengah masyarakat yang memiliki akar tradisinya.

Dari sinilah realitas pendidikan Islam menemui dan mengenal tantangannya. Dunia Islam sebagai lanskap terealisasinya Pendidikan Islam membentuk realitas dalam domain dominan. Kolonialisme yang terjadi sampai pertengahan abad ke-20 telah menyiratkan lanskap itu dalam realitas Pendidikan Islam. Dalam kenyataan itu pula, main goal pendidikan Islam yang “… melatih perasaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam” [sic!] (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam …, hlm. 1) tidak akan tercipta dengan penaklukkan peradaban (melalui pendidikan, salah satunya) yang dilakukan oleh Barat. Nilai dan pandangan alam yang berbeda (antara Islam dan Barat), telah membuat eksklusi-eksklusi penting di antara keduanya.

Akibat dari kehadiran nilai Barat inilah, main goal pendidikan Islam tersebut berubah. Ia tidak lagi menciptakan lahirnya manusia yang baik, ‘good Muslim’, tapi ‘a doubt man’, yang mempertanyakan kembali, mengkritik, dan juga menyangkal prinsip-prinsip dasar dan asumsi-asumsi Islam; “… bukannya menguatkan iman pada Tuhan dan mensucikan perasaan dengan menyingkirkan kekacauan dan pertentangan” (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam …, hlm. 4). Dari satu aliran pendidikan dalam contoh yang pertama membungkus kesadaran manusianya dalam keterjajahan semacam ini, sementara yang kedua, meskipun terdapat penolakan, eksklusi seperti pada contoh yang pertama, aliran contoh kedua semakin membutakan kesadaran pada dua macam capaian dalam Pendidikan Islam; ia justru menafikan kesadarannya untuk harus menjadi Manusia Muslim yang baik-seutuhnya dan abai pula pada kebutuhan tantangan keumatan yang menjadi tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslim.

Kedua aliran, baik yang konvensional mapun reaksionerismenya, tersebut, memiliki kebutaan kemelut tantangan yang dihadapi oleh perangkat kehidupan umat Islam yang terus beproses dalam sejarah sampai masa hayat kelangsungan hidup kedua aliran tersebut. Dalam sebuah wawancara menegnai penerapan sunnah di era modern, pakar sejarah dan pendidikan Islam, Syed Muhammad Naquib al-Attas, pernah mengkritik institusi keulamaan yang tidak mengenal Barat dan tantangan yang ditimbulkannya di era modern. Dalam pertanyaan “What kind of education policy should be followed?” Ia menjawab, “The policy I think is to be acquainted with the West and Islam in addition to our own national, what is called ethical and cultural tradition. We must be familiar with the West, because without this knowledge it the unknown can only become a problem. This is why the modern day ulama cannot do anything; they do not understand the West” (“Interview with Sayyid Naquib al-Attas”, 2010, http://hadissunnah.blogspot.co.id/2010/03/interview-with-sayyid-naquib-al-attas.html?m=1, diakses pada 21 Maret 2018).

 

Etika, Tradisi, dan Pengetahuan [tentang] Barat: Menjawab Tantangan

Dalam singgungannya Syed al-Attas menekankan pentingnya mengembalikan elemen ‘etika’ (adab) dan tradisi budaya [Islam] yang dimiliki kaum Muslimin. Ketersediaan dua hal tersebut dilengkapi dengan pemahaman ulama dan institusi pendidikan tradisionalnya. Mengapa demikian? Dalam hayatnya, pendidikan tradisional menolak filsafat dan praktek pendidikan Barat. Di Indonesia kita mengenal pesantren dan genealogi keulamaannya yang berperan penting dalam Islamisasi Nusantara. Keberadaannya hingga era kolonial memang tidak pudar. Tetapi pada era itupun semangat budaya, tradisi literatur klasik, dan keutuhan komunitasnya, belum digerakkan seutuhnya untuk berhadap-hadapan secara langsung dengan pendidikan Barat (dan peradaban Barat kolonial). Namun dalam keterbatasan itu filsafat dan sistem praktek pesantren berusaha menyelamatkan masyarakat Muslim dengan jalan melestarikan sistem pendidikan tradisional.

Sebelum kehadiran hybrid modernisme dan Islam dalam pendidikan, penerapan pesantren dalam perkembangannya termutakhir di abad ke-20 tetap mampu menjadikan manusia dan komunitas masyarakatnya sebagai good Muslim. Pesantren menjadi garda akhir peradaban Muslim yang ada di Nusantara. Tetapi sampai masa awal abad ke-20 itu pun, pesantren belum menggerakkan usaha untuk melawan, dibandingkan sekedar bertahan dengan gaya hidup yang lestari sebagai model masyarakat Indonesia pra kolonial, tantangan agama—bahkan peradaban—yang berasal dari kolonialisme penakluk peradaban asli, dan segera membuat pesantren menjadi lembaga tradisional yang diperhadabkan dengan peradaban modern Barat.

Bertahannya pesantren pada akhirnya hanya memunculkan dualisme dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam …, hlm. 4). Pendidikan Pesantren yang ada tetap bertahan, mengalami evolusi dan revolusi pemikiran sebagai sebuah komunitas dan lembaga pendidikan, dan pendidikan modern tertancap, menghasilkan elite baru ber-worldview baru, dan menghadirkannya ke dalam realitas berfikir yang serba sekular, modern, bahkan marxistis.

Hybrid antara Islam dan modernisme yang muncul setelah dan seiring pesantren, tumbuh di kota-kota kolonial. Satu contoh menarik dikemukakan Mu’arif mengenai Adabiyah School di Padang Panjang yang berdiri tahun 1907. Adabiyah School mengawali satu fase penting terjadinya semangat bertahan dari peradaban dan pendidikan Islam yang memuat nilai-nilai akar dalam komunitas Islam di Nusantara. Fase ini pula yang dikenal sebagai fase Pembaruan Pendidikan Islam dengan gerakan besar modernisme dan reformisme Islam di Hindia Belanda. Adabiyah School telah mengawali tumbuhnya hybrid-hybrid pendidikan Islam lainnya seperti yang terjadi pada Muhammadiyah lewat Kweekschool Islam Muhammadijah (Mu’arif, Modernisasi Pendidikan Islam: Sejarah Perkembangan Kweekschool Moehammadijah 1923-1932, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012, hlm. 47 dan 51).

Modernisme dan reformisme Islam di dunia Melayu-Jawa memang berlaku lain. Ia tidak membawa sekedar semangat apologi terhadap modernisme dan kolonialisme. Sebab, ia sekaligus membawa kepercayaan diri baru tanpa meninggalkan nilai tradisionalnya. Banyak penerapan sistem Pendidikan Islam hybrid tersebut masih menggunakan surau atau masjid serta pengantar Bahasa Arab dalam kegiatan belajarnya.

Tradisionalisme dan hybrid Pendidikan Islam di dunia Melayu-Jawa menyiratkan kekuatan penting dalam timbulnya kesadaran mengenai pentingnya kehidupan berbangsa yang harus dipenuhi dengan kecerdasan dan intelektualisme. Sistemasi organisastif komunitas Islam Pesantren yang menjadi Nahdhatul Ulama, pernah membuktikan perannya dalam politik praktis dalam alam budaya modern. Sebagaimana yang juga dapat dilihat dalam cetakan-cetakan manusia yang lahir dari sistem padu tradisional dan modern. Dalam kenyataan inilah, kita menyadari, tidak ada seratus persen penerimaan modernisme dan modernitasnya sebagai satu-satunya yang harus dipenuhi Pendidikan Islam agar bisa bertahan di dunia kolonial dan arus pembaratan Peradaban Barat. Pendidikan Islam menunjukkan daya kreatifnya.

Tantangan yang harus dihadapi Pendidikan Islam lah yang mengarahkannya untuk membentuk suatu kurikulum yang mampu menanggulangi tantangan tersebut. Pendidikan Islam yang menempatkan satu tantangan penting ini, dengan perpaduan pola-pola etik, tradisi komunitas Islam, dan juga pengetahuan mengenai hegemoni peradaban penantangnya, membuahkan suatu kesadaran intelektual; bukan hanya sekedar meromantika kesadaran dan memori komunitas Islam melalui cerita-cerita penaklukkan dari zaman sultan-sultan Turki atau kejayaan politik yang dihasratkan dari pengalaman kekalahan yang begitu pahit.

Kisah-kisah super heroik dan tidak tepat posisi yang direalisasikan dalam Pendidikan Islam semacam ini, hanyalah menjadi analogi sejarah cepat simpul yang salah. Buahnya menentukan pencapaian-pencapaian eksklusi yang begitu terlambat menyadari kepentingan etika, tradisi, dan pengetahuan (wawasan) dalam pendidikan Islam di era hegemoni modernitas. Pendidikan Islam model seperti ini hanya terkesan tidak mampu menelaah dengan baik kekuatan tradisi yang dimiliki komunitas Islam di dunia Melayu-Jawa (unsur tradisi). Kelahiran peserta didik ciptaannya menjadi individu-individu yang puas ber-Islam dan ber-sholeh ria dengan dirinya saja; tak kenal hakikat persaingan peradaban penantangnya secara utuh. Wallahu a’lam.

 

*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan guru sejarah di Pondok Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok; pernah belajar dan menempuh studi singkat di Ma’had ‘Aly Imam al-Ghazaly, Karanganyar, Surakarta.

 

[Red : Tori Nuariza]