Harmoni Untuk Beradab : Islamisasi, Surau, dan Sufi di Minangkabau

Harmoni Untuk Beradab : Islamisasi, Surau, dan Sufi di Minangkabau

Ahda Abid al-Ghiffari*

 

Surau berperan penting dalam Islamisasi di Minangkabau. Kehadiran surau di Minangkabau didukung oleh gerakan sufisme dengan tiga kelompok terkenalnya, Qodiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syattariyah. Perkembangan surau dan sufisme merupakan harmoni dalam Islamisasi Minangkabau. Surau dan sufsime telah mereorganisasi tiga hal yang khas dari budaya Minangkabau, yakni tradisi kepemimpinan, posisi dan peran surau itu sendiri dalam masyarakat, dan juga proses peresapan ajaran-ajaran Islam melalui pengajaran hukum Islam atau fiqh dalam dunia Islam yang terdapat dalam surau-surau di Minangkabau. Dalam pembumian syariat dalam masyarakat, sufisme, salah satunya, berperan penting dalam proses itu, dan juga berkontribusi dalam mengatur kestabilan sosial-ekonomi dalam perubahan-perubahan yang terjadi di dunia sekuler Minangkabau.

 

Pendahuluan

Sudah sejak akhir abad ke-11 dan transisi abad ke-12 tasawuf diterima secara resmi masuk ke dalam ortodoksi Islam. Sejak saat itu pula, tasawuf menjadi bagian penting dalam sistem keilmuan Islam (Ivan al-Hadar, 1988: 21-22) yang menegaskan agama ini memberikan pencerahan berarti bagi umatnya. Tokoh paling berpengaruh dalam pengupayaan jalan tengah, di samping integrasi hikmah-hikmah dalam sistem pengetahuan Islam ini adalah Hujjatul Islam Imam al-Ghazaly. Melalui banyak karyanya, ia menekankan integrasi aspek-aspek ke-Islaman dan pendayagunaan secara maksimal semua fitrah dan potensi yang terdapat dalam diri manusia sebagai hamba. Dengan begitu, karya peradaban penting ini kemudian menunjukkan asanya di berbagai belahan dunia dan memberikan semangat Islamisasi yang begitu besar, termasuk di Minangkabau.

Di Minangkabau gelombang pasang Islamisasi karena ekses perkembangan ilmu dan sistem pengetahuan Islam ini terjadi pada abad ke-17, saat Islamisasi merambah mulai dari pesisir, dataran pertanian, dan juga dataran tinggi Minangkabau. Sebagaimana kehadiran Islam secara umum di Kepulauan Melayu Nusantara, kedatangan Islam di Minangkabau merupakan peristiwa terpenting yang pernah terjadi di wilayah itu. Saat perdagangan menunjukkan perkembangan yang begitu baik, Islamisasi memberikan makna terhadap kompleksitas aktifitas tersebut. Pesisiran Minangkabau membentuk sejarahnya sendiri. Dalam perkembangan penting ekonomi dan agama di Minangkabau tersebut, pedagang, juru tulis, dan juga ulama-ulama memainkan peran penting. Di sinilah tarekat-tarekat sufi dari tiga aliran terkenal—Qodiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syattariyah—membangun jaringan keilmuan, berbagi pengembangan kebudayaan, dan juga melakukan pemaknaan terhadap aktifitas dunia sekular Minangkabau.

 

Surau di Minangkabau

Surau-surau penting di Minangkabau menjadi lembaga-lembaga terdepan dalam pembinaan masyarakat. Ini berbeda kondisinya di masa Indianisasi saat pernah menyapu wilayah ini. Surau-surau di Minangkabau masa Islam dibentuk dengan konsep yang lain dari lembaga-lembaga yang pernah ada di masa-masa sebelumnya. Di masa Islamisasi ini, surau di Minangkabau menunjukkan arti pentingnya di tengah rakyat. Saat agama-agama elitis pra-Islam gagal menyentuh peradaban rakyat, surau mampu membuat daya berarti dalam menggerakkan dan menjadi pemakna dalam aktifitas rakyat. Oleh karenanya, di samping peran surau ini, sufisme dan tarekat menjadi integrator penting dalam Islamisasi dan pemberadaban masyarakat, terutama melalui hukum-hukum Islam yang menjadi dimensi penting ortodoksi surau-surau tersebut.

Ketika Islamisasi telah mapan di pesisir, perdagangan menggantungkan asanya dari pedagang-pedagang Muslim, dan aktifitas ke-Islam-an memainkan peranan penting dalam ‘syari’atisasi praktis’ kawasan itu, di pedalaman Minangkabau agen-agen Islamisasi menunjukkan kreatifitas secara alamiah dalam menyebarkan Islam. Para da’i dan agen-agen Islamisasi itu bukanlah kelompok heterodoks yang memiliki penafsiran dan cara lain dalam memandang Islam. Sebab, ketika Islam telah membumi di kawasan pedalaman (dataran pertanian dan dataran tinggi), surau-surau dengan jaringan tarekatnya membuktikan ortodoksinya. Apa yang disebut dengan ‘agama petani’ akhirnya tidak bisa dipisahkan secara drastis dengan semangat Islam di wilayah itu. Islam masih tetap kompatibel, menginti, dan memaknai seluruh kawasan; di pesisiran maupun di pedalaman Minangkabau.

Menguatkan Ciri Khas dan Merombak Tradisi

Setelah perkembangan penting Islam di Minangkabau pada abad ke-17, abad ke-18 hingga menjelang abad ke-19 merupakan era keemasan Islam di wilayah ini, sehingga dapat membuktikan begitu besarnya daya pemberadaban dari agama ini. Memasuki abad ke-18 itulah tarekat-tarekat sufi tumbuh bersama dua hal; pertumbuhan dan perkembangan surau, serta gelombang ke-ilmuan yang merupakan ekses dari beredarnya kitab-kitab ke-ilmuan Islam dari berbagai titik penting di dunia Islam. Ada tiga ciri penting yang ditekankan Christine Dobbin dalam melihat perkembangan surau dan tarekat di Minangkabau.

Pertama, aspek patron-klien, atau hubungan guru-murid. Dobbin membangun argumennya dengan memasukkan satu unsur yang khas dari tarekat-surau di Minangkabu, yaitu tradisi kepemimpinan dan ajaran tradisional. Dalam karyanya—yang disebut Jeffrey Hadler ‘nyaris tanpa cacat’, impeccable (Jeffrey Hadler, 2008: 975)—itu, Dobbin menulis, “Ajaran-ajaran seperti ini, yang berbau pra-Islam dan berwarna magis, dengan mudah berasimilasi dengan Islam Minangkabau”. Di bagian lain karyanya itu, ia juga menulis, “… suku-suku yang makmur dan berkembang juga … mempunyai petugas agamanya sendiri karena ini akan meningkatkan martabat mereka di mata penduduk desa lainnya. Pada zaman pra-Islam, petugas ini memiliki kedudukan yang sama dengan pendeta Brahma …. Lama kelamaan petugas ini berangsur-angsur memakai lapisan Islam dan memakai sebutan malim.” (Christine Dobbin, 2008: 191-193)

Bagi Dobbin, pemimpin tarekat mengingatkannya pada pemimpin-pemimpin dan petugas keagamaan pra-Islam. Mirip dengan argumennya tentang surau, yang disebutnya sebagai, peninggalan pra-Islam—zaman Indianisasi—dan karya tinggalan dari Adityawarman—, ia menyebut tradisi kepemimpinan—terutama kepemimpinan agama—sebaga kelanjutan dari apa yang pernah ada sejak zaman pra-Islam. Dobbin tak pernah memperhatikan tradisi pengorganisasian ritual tarekat yang berkembang di seluruh dunia. Tarekat-tarekat biasanya memberikan penghargaan terhadap para mursyid mereka, dan memandangnya penuh karomah. Oleh karena dalam tradisi kesufian dan tarekat mengandalkan aspek kepemimpinan ini dan menyamakan tradisi kepemimpinan sufi sebagai kelanjutan tradisi pra-Islam, maka itu kesimpulan yang tidak tepat.

Tradisi kepemimpinan Islam di Minangkabau berkembang secara mandiri, polanya sangat khas, dan ditunjang dengan aspek-aspek kebudayaan dan tradisi lokal yang begitu berkesesuaian dengan semangat Islam. Akan tetapi ketika berkembangan tradisi ini berubah jauh menyimpang, agen-agen Islamisasi inilah yang kemudian menjadi pelurus bagi kekalutan itu. Di zaman Islam ini, tradisi kepemimpinan tarekat dan surau telah menjadi begitu Islam, berlainan dengan bentuk pra-Islamnya.

Kedua, ini yang rupanya menarik: kehidupan ekonomi dan posisi sosial surau dalam masyarakat Minangkabau. Pada abad ke-18 itulah terjadi pembentukkan rasionalisasi dan tradisi penting bagi kelangsungan hidup surau dan terjalinnya hubungan antara dunia sekuler Minangkabau dan pengintian-pengintian Islam yang meluas. Surau-surau yang tumbuh mengikuti ritme kehidupan Minangkabau. Pertanian dan perdagangan dimaknai menjadi begitu Islami karena tersentuh peradaban surau. Berpijak atas prinsip dasar kemandirian, surau-surau menggulirkan aktifitas ekonominya menurut tradisi sosial-ekonomi yang berkembang. Murid-murid surau harus membantu gurunya di sawah dan ladang. Hal ini sebenarnya biasa. Kedudukan dalam dunia keagamaan Minang telah berpadu dengan alam realitas itu. Seorang pemimpin agama biasanya juga menempatkan dirinya pada posisi adat dan juga status ekonomi di masyarakat.

Surau-surau di Minangkabau membangun kemandirian dengan usaha-usaha pertanian dan perdagangan. Surau-surau Syattariyah di dataran tinggi Minang yang kebanyakan berada di dataran tinggi Minangkabau tidak ragu menjalankan aktifitas perdagangan dan menikmati hasil ketika Minangkabau mengalami kebangkitan ekonomi di penghujung abad ke-18. Oleh karenanya, surau-surau penting memiliki hubungan erat dengan pasar-pasar. Meresapnya Islam ke dalam masyarakat Minang tentu saja ditentukan melalui cara ini; saat dunia Islam yang terdapat dalam surau tak menutup diri dan justru meluaskan pengaruhnya melalui aktifitas keduniaan. Ketika pengorganisasian antara dunia Islam dalam surau dan aktifitas ekonomi ini matang, di penghujung abad ke-18, para guru surau dan murid-muridnya tetap menjadi tonggak penting dalam kestabilan masyarakat. Mereka memainkan peran penting untuk menghubungkan pentingnya aspek ke-Islaman dalam penerapan dan kebermanfaatnnya di dunia sekuler tempat aspek ke-Islaman itu dibumikan.

Surau-surau melahirkan kader-kader penting dalam menjaga kestabilan dan keamanan masyarakat. Inilah yang terjadi ketika salah seorang syaikh dari kelompok Surau Syattariyah di Kota Tua, Tuanku Nan Tua, melakukan misi menda’wahkan penerapan Islam di desa-desa Minangkabau, sembari meberantas perjudian, tuak, candu, dan juga melakukan penahanan terhadap para perampok dan desa-desanya. Peran penting surau dan pemimpinnya ini tidak bisa dilepaskan dari ekses pengajaran dan tren ortodoksi surau itu sendiri; dan inilah yang menjadi ciri penting ketiga yang terdapat pada surau dan tarekat sufi di Minangkabau.

Sufisme awalnya bukanlah kelompok heterodoks. Perkembangannya dalam sejarah secara alamiah membuat kelompok pengusung-tekan masalah bathin, penyucian jiwa, dan pendekatan esoteris kepada Tuhan ini melahirkan banyak kelompok yang menyimpang. Perkembangan dalam sejarah ini pula yang kemudian memunculkan dua kelompok yang sangat ekstrim dalam melihat sufisme: pertama, beberapa peneliti Barat yang menganggap sufisme adalah produk heterodoksi Islam, keluar dari ajaran resmi Islam yang hukum-sentris atau fiqhiyah; dan kedua, kelompok puritan garis keras dengan slogan ‘kembali ke al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah’, yang memutlakkan kesalahan sufi sebagai bentuk penyimpangan yang tak termaafkan dan harus dihukumi ahlul bid’ah bahkan syirik-kafir.

Di Minangkabau inilah, salah satunya, sufi justru menunjukkan ortodoksinya. Ortodoksi sufisme di Minangkabau memang tidak bisa dilepaskan dengan tren perkembangan sufi di dunia Islam. Tren pemurnian Islam sedang berkembang di masa itu melalui kesadaran ulama. Tren pemurnian ini keras berkembang di Nejd oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Misinya bukan lagi untuk memurnikan Islam dari segala amalan yang tidak sejalan dengan Islam, tapi lebih jauh, memutlakkan tuduhan bahwa ajaran-ajaran seperti sufi sebagai bukan berasal dari Islam. Sementara itu di India menunjukkan perkembangan berbeda. Berbeda dengan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, seorang sufi melakukan pembaruan dan rekonstruksi serta rethinking sistem keilmuan Islam. Namanya Syah Waliyullah ad-Dahlawi. Dalam pemikirannya, Syah melakukan pemurnian, gerakan back to Qur’an, tanpa meninggalkan aspek kesufian yang penting dalam ajaran Islam.

Dalam perkembangan ini pula, sufisme dan surau di Minangkabau berkembang. Saat kini sufisme diremehkan oleh salah satu dari kedua pengamat ekstrim di atas, karena dianggap sering meremehkan syariat dan fiqh, pada abad ke-18 ini, sufi dan surau di Minangkabau menunjukkan kesadaran paling baik dalam melaksanakan dan menerapkan ajaran Islam dalam dimensi hukum dan kebathinannya. Dobbin menulis, “Semua surau di Minangkabau … mempelajari ini [hukum Islam] karena fikih dianggap sebagai bentuk pelajaran yang paling besar di dunia ini. Kajiannya bukan semata-mata latihan empiris, tetapi lebih dianggap sebagai aspek praktis dari doktrin agama dan sosial yang dikhotbahkan oleh [Nabi] Muhammad {Saw.].” (Dobbin, 2008: 195)

Menariknya, dalam karya Dobbin tersebut disebutkan bahwa, pengaruh sufisme di Minangkabau salah satunya dipengaruhi oleh seorang ulama besar dari Aceh bernama Abdurrauf as-Singkel. Abdurrauf as-Singkel dikenal dengan karya-karyanya mengenai keharusan tarekat-tarekat sufi mempelajari aspek hukum dalam Islam. Dalam semangat zaman mula-mula saat itu, Abdurrauf as-Singkel telah menulis gagasan-gagasannya mengenai pentingnya hukum Islam dalam hidup seorang ahli tarekat, untuk membantah gagasan yang mengatakan bahwa pencerahan mistik membuat seorang bebas dari syariat (Dobbin, 2008: 196). Ini memang merupakan terobosan zaman yang tak terkira pada masa itu.

Kesimpulan

Sufisme di Minangkabau akhirnya mewarnai kehidupan lokal. Sebagaimana yang terjadi di wilayah lain di penjuru Nusantara dan dunia, sufisme menjadi salah satu aspek terpenting yang mengantarkan ajaran-ajaran Islam menggantikan inti pandangan alam-dunia selain Islam. Dan oleh karenanya, inti itu memberikan ekses pada bentuk dan perwujudan yang lebih sesuai dengan Islam. Di Minangkabau sendiri, sufisme, surau, dan tarekat, menjadi ‘biang’ dan jalan berkembangnya dinamisme lokal yang penting, termasuk reformisme yang masih pula mengadospsi semangat Islamisasi yang pernah dilakukan pendahulu-pendahulu sufi di Minangkabau. Dimensi mistik dan bathin dalam sufisme Minangkabau pada akhirnya membantu proses-proses penting Islamisasi. Ia telah melakukan satu komponen penting, yakni penanaman makna ajaran-ajaran Islam itu sendiri dalam berbagai hal, dari aspek pendayaan jiwa manusia sampai bentuk-bentuk kebudayaan Minangkabau. Syariat telah didorong dan dimaksimalkan oleh aspek mistisisme ini, dan oleh karenanya tren di dunia sekular berhasil ‘di-Islamisasi’ dan diatur dengan baik dengan ajaran Islam.

Deduksi ini kompatibel dengan kenyataan yang ada; syariat dan hukum Islam telah memberikan pengaruh bagi kestabilan masyarakat ketika terjadi penyimpangan sebagai ekses dari keburukan perdagangan. Dalam proses-proses itu, sufi, kader-kader surau, dan juga pemimpin tarekat, seperti Tuanku Nan Tua, menjadi pemberi solusi terhadap masalah-masalah duniawi (candu, tuak, sabung ayam, dan—yang paling berbahaya—pencurian) dengan kampanye-kampenye yang menjadi lorong penting dalam perwujudan hasil Islamisasi, sufi, dan jaringan keilmuan hukum Islam di Minangkabau. Perkembangan inilah yang terjadi pada abad ke-17 dan menunjukkan signifikansinya pada abad ke-18 sampai awal abad ke-19. Dan pada abad ke-19 itulah kolonialisme, yang kata Prof. Al-Attas telah memperlahankan Islamisasi (al-Attas, 2010: 221), menjadi tantangan terberat bagi Islamisasi dan perkembangan sufisme di Minangkabau. Meski demikian, ia bertahan dan menanti agen-agen Islamisasi yang kreatif dalam zaman yang baru.

*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan guru sejarah di Pondok Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok; pernah belajar dan menempuh studi singkat di Ma’had ‘Aly Imam al-Ghazaly, Karanganyar, Surakarta.

 

[Red : Tori Nuariza]

 

Daftar Pustaka

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin dan Casis-UTM, 2010.

Al-Hadar, Ivan, “Politik Ulama dalam Perspektif Sejarah”, Pesantren, No. 2, Vol. V, 1988, hlm.  19-31.

Dobbin, Christine, “Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatera 1784-1847”, a.b. Lilian D. Tedjasudhana, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847, Depok: Komunitas Bambu, 2008.

Hadler, Jeffrey, “A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History”, The Journal of Asian Studies, No. 3, Vol. 67, (Agustus) 2008, hlm. 971-1010.