“Pangeran Diponegoro dan Islamisasi : Mengeja Makna”
Ahda Abid al-Ghiffari*
Kamis, 3 Mei 2018 lalu, tepat 188 tahun dari hari ketika Pangeran Diponegoro diasingkan. Pengasingan ini telah menjadi pengalaman pertama Pangeran meninggalkan Jawa. Sepeninggalnya itu, Pangeran tak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Meski demikian, seperti semua pahlawan yang diasingkan, sosok Diponegoro diafirmasi sebagai seorang manusia berdaulat. Pangeran Diponegoro tentu bukan simbol kekalahan pribumi melawan kelicikan kolonialisme. Sebaliknya ia adalah salah satu penanda perlawanan dan perjuangan ‘kaum Muslim’ melawan kezaliman yang ditumbuhkan Belanda di negeri ini.
Oleh karena simbol perjuangan itu, Pangeran hidup di dalam memori bangsa Indonesia. Ia dimaknai dalam kehadirannya sebagai seorang pahlawan. Kehadirannya sebagai seorang pahlawan seingkali menuntut pengesahan total bahwa dirinya bukan berjuang karena ambisi kekuasaan politik semata. Sejarawan Peter Carey bahkan menegaskan bahwa betapa bermaknanya perjuangan lima tahun orang Jawa dalam Java Oorlog yang dipimpin oleh Pangeran sendiri. Bahkan Perang Jawa menjadi unik dibandingkan perlawanan-perlawanan lainnya, karena “… untuk pertama kali pemberontakan [sic!] pecah di lingkungab salah satu keraton Jawa tengah-selatan yang pokok masalahnya terletak lebih pada kesulitan ekonomi daripada ambisi kekuasaan seorang kerabat keraton.” (Peter Carey, “The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855”, a.b. Prakirti T. Simbolon, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. xxxix).
Dalam kezaliman yang terus dilestarikan misi penjajahan itulah Diponegoro diasingkan dengan segenap kehinaan yang ditayangkan oleh Belanda. Seorang Pangeran muda dari Belanda sewaktu mengunjungi pengasingan Diponegoro di Fort Rotterdam, Makasar, bahkan memperlihatkan rasa simpatinya. Sebab, Prins Hendrik de Zeevaarder, pangeran muda itu, bahkan menceritakan bagaimana Belanda memperlakukan Pangeran Jawa ini. Dalam sebuah surat yang ditulis untuk ayahnya, ia mengatakan:
“Hari pertama [di Makassar] melihat Benteng di sini, saya bertemu dengan tahanan kita yang kelihatan tidak bahagia, Diepo Negoro … yang jatuh ke tangan kita secara curang. Ia mendatangi saya, menggandeng tangan dan menarik saya masuk ke kamarnya, yang berada di lantai satu, ia mengatakan … bahwa ia sangat gembira ada seseorang yang datang mengunjunginya di tempat kediaman yang menyedihkan itu. … ia tertawa lebar, tetapi raut kegirangannya itu terlihat dipaksakan, tidak spontan, tidak wajar … orangnya menyenangkan dan saya dapat melihat semangatnya yang masih membara” (Dikutip dari Peter Carey, “Destiny: The Life of Prince Dipanegara, 1785-1855”, a.b. Th Bambang Murtianto dan PM Laksono, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, Jakarta: Kompas, 2014, hlm. 407).
Sebuah Refleksi Kezaliman yang Aktual
Perjuangan Pangeran Diponegoro memang perlu dihidupkan kembali. Dalam hayat bangsa ini, Diponegoro tidak hanya hidup dalam tradisi dan dimaknai dalam konteks historisnya yang telah mati. Pemaknaan yang tepat untuk membawa ‘semangatnya yang masih membara’ itu terkadang memerlukan refleksi yang mendalam. Sejarawan Taufik Abdullah pernah menjelaskan arti kehadiran sosok pahlawan dalam kekinian kita. Sejarawan senior itu berkata, “Pengakuan akan kepahlawanan seseorang bukanlah terutama masalah sejarah, tetapi pantulan kesadaran sejarah. Pahlawan hadir dalam sejarah setelah masyarakat yang mengalami peristiwa historis mengadakan renungan. Dalam perenungan itu terjadilah suatu penggambungan antara hari lampau yang telah dilalui dan hari kini yang sedang dijalani serta hari nanti yang harus ditempuh” (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 6).
Dalam kesadaran ‘semangat yang terus membara’ pada memori kolektif bangsa, kita memilih Pangeran Diponegoro sebagai sosok pahlawan. Penyimbolannya sebagai penentang kezaliman-pun tidak dihadirkan dalam semangat historical booming seperti pada masa awal kemerdekaan—meskipun itu pernah terjadi. Kenyataan sejarah tanpa anakronisme-anakronisme atau interpolasi kekinian-pun mampu menjelaskan bulatan-bulatan riwayat dari kelahirannya, pembulatan tekad, pembentukan keteguhan kepribadian melalui agama Islam, dan perang-perang yang dilaluinya, hingga nanti ia diasingkan dan wafat dalam pengasingan. Oleh karenanya, kenyataan sejarah yang telah jelas itulah, sosok Pangeran Diponegoro bersama pejuang-pejuang yang lainnya selalu aktual dalam masa yang sedang kita jalani atau masa-masa yang akan kita tempuh. Jika demikian, maka siapa kiranya yang meragukan bahwa semangat penentangannya melawan ketimpangan yang terjadi di masanya akan tetap aktual?
Bersama dengan ‘dua aktual’ itu, kita menghayati kontekstualitas kepahlawanan Diponegoro sejak pernah dihidupkan dalam renungan peradaban oleh kaum pergerakan, untuk melawan ‘kezaliman’ kontekstual-aktual dalam bentuknya yang selalu bersifat kekinian. Keyakinan atas hidupnya Pangeran Diponegoro dalam memori bangsa Indonesia menyebabkan ia terus dikenang secara inspiratif, dijadikan simbol perlawanan terhadap penjajahan, sosok yang berdaulat, dan anti penindasan. Dari situlah kita mampu memahami betapa panji-panji agami Islam yang dipupuk oleh nenek buyutnya sedari kecil menjadi pilihan untuk mengatasi seluruh kekacauan sosial-ekonomi dan agama sebelum meletusnya perang Jawa.
Pangeran Diponegoro memahami, ia tengah berada pada sebuah ambang peradaban. Di balik punggungnya ia merasakan tenggelamnya tatanan lama Jawa dengan segenap kewibawaan dan harga dirinya. Sedangkan ‘Orde Baru’ Daendels dan kekalahan menyakitkan dari Inggris yang menjarah kekayaan literasi perpustakaan keraton Yogyakarta terletak di depannya. Seakan dari semburat peradaban Barat itulah, ‘kehancuran Tanah Jawa’ menjadi suatu kepastian. Sejak zaman bubrah-nya tatanan lama Pulau Jawa itu, pajak-pajak dibebankan terlalu berat, mental pribumi dirusak, harga diri kaum perempuan sering dihinakan di keputren keraton, gagal panen, penyakit yang mewabah, candu, dan kerusuhan-kerusuhan menggejala. Dari kesemua itu, Jawa sebagai sebuah bangsa menghadapi bencana yang berdampak lama bagi peradabannya: keruntuhan adab dan moralnya. Dalam bahasa cendikiawan Muslim paling berpengaruh saat ini, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, rusaknya tatanan Jawa dalam berbagai aspeknya disebut de-Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin, 2010, hlm. 57).
De-Islamisasi Konseptual: Sejarah Diponegoro sebagai Pokok
‘Kezaliman’ bisa menjelaskan bagaimana keruntuhan dan kehancuran Tanah Jawa dan bubrah-nya tatanan lama itu bisa disebut sebagai ‘de-Islamisasi’. Di lain pihak, dari puncak-puncak pemikiran Prof. Al-Attas, Islamisasi menjadi salah satu telaah paling penting dalam merenungkan proses terjadinya satu tatanan yang ideal dan di mana de-Islamisasi merenggut idealitasnya. Islamisasi menjadi konsep paling baik dan tepat untuk menjelaskan aktualitas kezaliman, dan mengapa ia tidak terputus pada satu rangkaian peristiwa dalam sejarah tertentu.
Menurut Prof. Al-Attas, hakikat Islamisasi adalah sebuah proses pembebasan. Pembebasan yang hendak disasar oleh Islamisasi adalah ruh manusia daripada jasad-jasmaninya. Tindakan yang paling bermakna bagi manusia adalah berpangkal dari ruhnya, dan oleh sebab itu segala bentuk ‘keruntuhan’ dan ‘kebubrahan’ sama dengan menyasar unsur ruh dibanding ‘kerusakan’ jasmani. Kerusakan jasmani hanyalah satu dampak kecil dari kerusakan ruh yang telah menjauh dari Islamisasi. Ia menjadi salah satu saja korban dalam de-Islamisasi yang bertentangan dengan Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 55).
Dari tatanan pembebasan itulah, Islamisasi menjadikan kehidupan termaknai dengan harmonisme dan ketentraman bahkan secara jasmaniah (sebagai dampak dari pembebasan ruh itu), dan juga wujud akurnya manusia dengan alam. Dalam hubungan-hubungan inilah kita mampu mengerti mengapa suatu kondisi yang penuh dengan pembebasan yang menyasar sistem ruh dalam manusia menyebabkan manusia mencapai kesadarannya sebagai penjaga alam lingkungannya. Sementara dalam rangkaian situasi yang de-Islamistis, wisdom manusia mengalami kehancurannya. Keadaan dan proses ini menyebabkan pembudakkan dan kehancuran tatanan yang berpangkal dari pikiran sampai hidupnya eksploitasi alam dan kacaunya aspek-aspek dalam kehidupan.
Islamisasi, menurut Prof. Al-Attas, adalah sebuah devolusi atau penyerahan pada keadaan asalnya. Sebaliknya, dalam keadaannya yang merusak ruh, manusia hanya terjelma dalam diri jasmani yang alpa, jahil, dan zalim. Dalam keadaan individu, manusia yang kehilangan ruh, bukanlah manusia yang sempurna. Sehingga dalam pengertian kolektif (non-individu), sosial, historis, dalam paparan Prof. Al-Attas, Islamisasi merujuk pada perjuangan suatu komunitas menuju pencapaian kualitas moral dan etika sebagai sebagian dari kesempurnaan sosial yang telah dicapai pada zaman Nabi, shalallahu ‘alayhi wassalam, di bawah tuntunan Allah Subhanawata’ala (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 56).
Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme), dan juga sebagai ‘khalifatur Rasul’ yang seakan mengemban misi kenabian, sebagaimana misi ‘Islamisasi’ itu dijalankan untuk ‘kesempurnaan sosial menuju kualitas moral dan etika’. Sebab, kesaksian Pangeran terhadap kerusakan tatanan adalah kematian peradaban Jawa itu sendiri. Dalam keruntuhan itu, moral dan etika manusia Jawa mengalami kemerosotan dan menghalanginya mencapai kesempurnaan sosial—atau keadilan sosial.
Konteks Diponegoro oleh karenanya bukan saja menjadi satu rangkaian sejarah yang terputus dalam perjalanan sejarah agama di Nusantara. Ia menjadi satu bagian dari hayat islamisasi sejak pertama kali menyentuh dan memberikan peran rasionalisasi daya berpikir dan berjiwa bangsa-bangsa di Kepulauan Melayu-Nusantara. Itulah sebab Prof. Al-Attas secara konseptual-aktual melekatkan gambaran Islamisasi dari akar-akar filosofisnya menuju pada cabang-cabang praktisnya di Nusantara, yakni secara historis menggejala dalam rangkaian peristiwa-peristiwa. Di antara Islamisasi yang secara historis menggejala itu, kelahiran, kehidupan, dan tragedi Pangeran Diponegoro adalah satu babakan tersendiri dalam salah satu perjuangan Islamisasi di Nusantara, tatkala ia akhirnya menemukan konfrontan peradabannya: peradaban Barat melalui kolonialisme Belanda yang de-Islamistis.
Sejarah perkembangan realitas Islam di Nusantara salah satunya akahirnya terbentuk melalui kedirian Diponegoro sebagai pusat dan lingkungan historisnya adalah alam yang melingkupinya. Di bawah panji-panji Islam yang ditawarkan Diponegoro sebagai solusi, serta kesaling-terkaitnya komunitas santri dalam perjuangannya itu, memperlihatkan betapa agami Islam memberi kekuatan yang aktual. Karena kekuatannya pula, kedirian Diponegoro menjadi sosok inspiratif pada zaman-zaman setelah kematiannya sekalipun. Diponegoro bukan hanya sekedar dimaknai sebagai seorang pahlawan, tetapi sebagai suatu hayat yang berada di tengah-tengah permasalahan segala zaman. Karena Islam yang hendak ditegakkan itulah relevansi kehadiran Diponegoro menjadi selalu kontekstual pula.
Kehadiran Barat dalam peradaban Jawa itulah yang disaksikan Diponegoro sebagai de-Islamisasi—bukan hanya dalam bidang agama itu sendiri, tapi juga aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi Jawa. De-Islamisasi berkembang karena keruntuhan moral individual orang Jawa. Di sanalah terletak kemerosotan mental Jawa dihadapan peradaban kompeni yang eksploitatif. Ketika Jawa dihadapkan pilihan dalam mengembalikan tatanan lama ataukah menuruti arus penguasaan Belanda, ‘pemimpin-pemimpin palsunya’ memilih mendekatkan diri pada kejahilan dan kekeliruan (zulm) yang dipraktekkan Belanda dengan mengajak para pembesar Jawa seperti Danurejo IV. Terang ini merupakan tragedi kemanusiaan dalam perspektif Islamisasi itu sendiri.
Kemanusiaan Diponegoro: Suatu Simpulan
Berada pada puncak-puncak nalar Islamisasi, di mana Diponegoro berusaha untuk mengembalikan tatanan baru yang suci dari pengaruh kekeliruan (zulm), Pangeran telah menjadi sosok kemanusiaan. Sosok kemanusiaan ialah mereka yang mengabdikan diri dan jasadnya pada satu pendekatan esensial dalam memperbaiki jiwa peradaban melalui individu-individunya. Sebagai seorang Muslim-Jawa kejawen, Pangeran sadar betul tingkah laku bangsa-bangsa Barat yang pernah berhubungan dengan keraton. Sejak era kedatangan Daendels sebagai sebuah awal keruntuhan Jawa, lalu diikuti dengan Inggris, dan dikembalikan pada Belanda yang telah menjajaki watak kesewengannya dalam merenggut harga diri orang Jawa, orang Jawa selalu ditimpa kemalangan. Dalam bahasa Pangeran, kemalangan yang menimpa orang Jawa salah satunya adalah dijauhkannya orang Jawa dari ‘hukum Ilahi yang disampaikan oleh Nabi dan dipaksa tunduk pada hukum Eropa.’ (Peter Carey, Takdir …, hlm.288, 289 dan 195).
Dalam artian lain, peradaban Barat yang segera mempercepat peradaban Jawa sebagai ‘tradisional’, di situlah letak masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam. Ini senada dengan definisi de-Islamisasi yang disampaikan Prof. Al-Attas: “Deislamisasi adalah penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka. Inilah yang menyebabkan kelalaian terhadap Islam dan kelalaian terhadap kewajiban kepada Allah dan Nabi-Nya, kewajiban yang sesungguhnya diberikan kepada dirinya sebenarnya. Oleh karena itu, kelalaian ini juga adalah ketidakadilan (zulm) …” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 57) Kemerosotan yang dialami oleh manusia Jawa pada berbagai aspeknya, dalam situasi ketidak-adilan yang merenggut keadaan semestinya dari kehidupan politik, sosial, dan ekonomi, dan serta hayat keagamaan dalam keseharian mereka itu sendiri, merupakan de-Islamisasi yang mengakibatkan kejahilan dan kekeliruan.
Sebab, menurut Alija Ali Izetbegovic, “Tanpa sentuhan ilahi, hasil evolusi [dalam pandangan Darwinisme] tidak akan berupa manusia, melainkan binatang yang berkembang, seekor binatang super, atau makhluk bertubuh manusia dan memiliki kecerdasan manusia tapi tanpa hati dan kepribadian. Kecerdasannya yang tanpa pertimbangan-pertimbangan moral mungkin sekali akan lebih efisien, tapi pada saat yang sama juga akan lebih kejam. Sebagian orang membayangkan jenis makhluk ini sebagai datang dari sebuah planet yang jauh di alam semesta ini; sebagaian yang lain melihatnua sebagai produk peradaban kita pada tingkat perkembangannya yang tinggi.” (‘Aliya ‘Ali Izetbegovic, “Islam between East dan West”, a.b. Ahsin Mohammad, Islam antara Timur dan Barat, Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 34).
Artiannya, makhluk materi dalam tradisi Darwinian telah gagal dalam melakukan penggambaran manusia. Kenyataannya, manusia adalah makhluk ‘Ilahiyah’ yang mau dan mampu melakukan perjuangan untuk mencapai ‘sentuhan ke-Ilahi-an’ untuk melawan kezaliman—yakni kondisi terhadap kebutaan total atas eksistensi. Dalam kondisi ke-ilahi-an tersebutlah manusia bisa dilihat dari kemanusiaannya. Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan budaya Jawa-Islam yang melingkupinya. Pangeran hidup bersama misi yang diembannya dalam mengembalikan tatanan Jawa yang berdaulat di bawah ‘ajaran Nabi’. Allahu a’lam. Cilodong, 12 Mei 2018
*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan guru sejarah di Pondok Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok; pernah belajar dan menempuh studi singkat di Ma’had ‘Aly Imam al-Ghazaly, Karanganyar, Surakarta.
[Red : Tori Nuariza]