#Politik HAMKA —Bag 2—
Hamka Tentang Loyalitas
Dalam pemilihan umum tahun 1971, ada sebuah isu yang dilontarkan oleh Golkar, yaitu mono loyalitas. Menurut anggapan Golkar, pegawai negeri wajib setia kepada Pemerintah dan harus memberikan suaranya kepada Pemerintah.
Kesetiaan yang dengan perkataan asing dinamakan loyalitas tidak dapat dibagi-bagi, hanya ada satu mono loyalitas. Kerena itu, maka sesuai dengan teori mono loyalitas itu pegawai negeri harus menoblos tanda gambar pohon beringin, yaitu partainya pemerintah.
BACA : Politik HAMKA Bag 1 Agama, Ulama dan Politik
Hamka pada waktu itu sedang dirawat di rumah sakit Angkatan Darat. Pada tanggal 24 mei 1971, (lihat Panjimas no. 80, tahun 1971), ia mengeluarkan sebuah pernyataan, dalam mana ia menerangkan apa arti loyalitas. Teranglah, hawa karangan itu merupakan statement politik.
Tentang tanah air Indonesia Hamka menyatakan:
“Kita cinta dia, kita korbankan buat dia, kita resapkan anginnya, kita minum airnya dan kita menikmati kesuburannya.”
“Walaupun di Mekkah tempat Ka’bah beridri, hati ini tergetar juga apabila melihat Merah Putih berkibar. Taka da yang menyuruh, taka da yang melarangnya!”
“Lalu kita angkat seorang diantara kita, diangkat atas keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi Kepala Negera. Di dalam Undang-Undang Dasar yang mengepalai negara itu dinamai PResiden.”
“Saya sebagai seorang warga negara yang mempunyai kesadaran beragama dan bernegara, yang menghormati Merah Putih, walaupun dia hanya kain, menghormati lambing Negara, walaupun dia hanya penghias dinding; juga menghormati dengan sepenuh hati terhadap Kepala Negara.”
“Saya adalah seorang rakyat Indonesia yang p;ertama berlindung kepada Allah dibawah kibaran Merah Putih dan Presidennya adalah Suharto.”
“Dari segi keahlian saya dan bidang saya, telah saya bantu Presiden ini dan tetap akan saya bantu. Selama tenaga masih ada dan kalau Presiden memerlukan! Kalau Presiden tidak memerlukan, tidak pula saya akan kasak-kusuk mohon diperhatikan!”
“Inilah yang bernama loyalitas.”
“Dengan pernyataan loyalitas ini bukanlah berarti bahwa saya mesti masuk salah satu partai politik. Bukankah berarti saya mesti membantu kampanye Golkar!”
“Jika saya tidak turut kampanye buat menusuk tanda gambar salah satu partai Islam, bukan berarti saya keluar dari perjuangan Islam!”
“Jika saya tidak mau turut bersafari dengan kapal terbang ‘pohon beringin’ (Golkar), bukanlah berarti telah kurang loyalitas saya kepada Presiden Suharto!”
“Saya akan tusuk 3 Juli nanti tanda gambar yang tetap rahasia dalam hati saya.”
Karangan itu ditutup dengan sebuah sajak yang indah:
“Lapangan politik bukan bidangku,
aku dikenal tetap pujangga.
yang bersayap terbanglah laju,
alat juangku tetaplah pena.”
Lapangan politik bukan lapangan Hamka, ia tetap pujangga, dan pujangga yang tau politik.
(Muhamad Roem- Jakarta, 15 Oktober 1977)
Sumber : Roem, Muhamad, 1983, Bunga Rampai dari Sejarah jilid 3, Jakarta: Bulan bintang