POLITIK HAMKA —Bagian 3—

#POLITIK HAMKA —Bagian 3—

Politik Hamka Menghadapi Pembentukan Majelis Ulama

Sudah agak lama bahwa diketahui Pemerintah mempunyai maksud mendirikan Majelis Ulama, untuk mendampinginya. Maksud Pemerintah itu dengan sendirinya menjadi perhatian. Sebelum di pusat dibentuk, di daerah daerah sudah ada. Malah ada yang lahir atas inisiatif para Ulama sendiri, misalnya di Minangkabau.

Akhirnya, tentang pembentukan Majelis Ulama itu para pembaca panjimas mengetahui bagaimana pendirian Hamka. Hamka mengatakan, adanya Majelis Ulama itu baik, untuk membantu pemerintah. Untuk memberi nasihat jika diminta, atau tidak diminta, artinya kalau Majelis Ulama memandang perlu menyampaikan pandangannya tentang sesuatu.

Pemimpin majalah menulis tentang hal itu dengan sendirinya sesuatu yang biasa, malah kewajiban bagi pembacanya. Dalam pada itu, saya rasa Hamka mempergunakan kesempatan itu untuk menjelaskan sikapnya yang tegas.

“Ulama tidak dapat dibeli”

Kalau kita tidak tahu situasi, maka sepintas lalu pemakaian perkataan itu agak kasar. Tapi tidak kasar karena sebelumnya sudah pernha ada orang yang mengatakan, bahwa ulama dapat dibeli.

Hamka seorang yang tidak ambisius. Malah seorang yang tidak mempuinyai ambisi sama sekali. Ambisius saya ambil dalam arti yang negative. Ambisi dapat menjadi negative kalau dikejar dengan jalan yang tidak baik. Ambisi sendiri adalah suatu keinginan yang sah dari tiap manusia, yang memandang penghidupan ini merupakan garis kemajuan yang tidak ada hentinya.

Pada usia yang tidak muda lagi Hamka menghadapi persoalan akan dibentuknya Majelis Ulama. Saya rasa Hamka tidak mempunyai ambisi lain dari pada meneruskan kedudukan sekarang, yaitu sebagai Ulama dan Pujangga.

Orang tidak perlu memperhatikan keinginannya, tapi juga tidak perlu menutup mata akan kemungkinan yang datang. Maka sambil menulis tajuk dalam Panjimas, ia menetapkan pendiriannya: Kalau saya diminta menjadi anggota Majelis Ulama saya akan terima, akan tetapi ketahuilah saya sebagai Ulama tidak dapat dibeli.

BACA : Politik HAMKA Bag 1

BACA : Politik HAMKA Bag 2

Saya rasa pendirian itu adalah sehat. Ulama yang berharga dan berguna bagi negara dan pemerintah adalah yang bebas, tidak mengeluarkan suara yang kira-kira disukai Pemerintah. Dan kalau Hamka menjadi Ketua dari Majelis Ulama, kita semua mengerti, bahwa tempat Hamka dalam majelis itu adalah sebagai Ketua. Maka juga sesuai dengan pandangan Hamka, anggota Majelis Ulama tidak makan gaji.

Soal gaji itu soal pelik dan ruwet. Kalau kita tidak memandang ia dari sudut yang sehat, manusia dapat kesrimpet dalam perjalanannya menjalankan tugas di dunia yang fana ini. Sebagai Ulama yang mengetahui seluk beluk kehidupan, maka Hamka menolak mendapatkan gaji sebagai Ketua Majelis Ulama.

-Mohamad Roem-

Jakarta, 15 Oktober 1977

Sumber: Roem, Muhamad, 1983, Bunga Rampai dari Sejarah jilid 3, Jakarta: Bulan Bintang