Peringatan Tahun Hijriyah

Hijrah ketiga dan akhirnya menentukan dalam sejarah Islam ialah hijrah ke Madinah. Sebab, utusan-utusan dari Yatsrib yang datang menemui Rasulullah SAW di Jumratul ‘Aqabah telah menerima Islam dan telah menyediakan diri akan sehidup semati dengan Rasulullah.

Oleh karena itu, kaum Muhajirin berangkat meninggalkan Mekah, tidak dapat lagi dilarang-larang, sampai para pemuka Quraisy, di anatar Abu Jahal, sangat kesal karena dilihatnya dari bukit yang tinggi telah banyak rumah yang kosong, pintunya telah terdepak-depak angin, dan telah berkerut sarang lawah karena penduduknya telah meninggalkan Mekah dengan sembunyi-sembunyi.

Kita ambil beberapa contoh, Shuaib, seorang Rumi yang telah lama tinggal di Mekah dan telah kaya raya karena baik jalan usahanya. Aqidah dan cintanya kepada Allah dan Rasul menyebabkan ia mesti hijrah. Lalu ada orang-orang Mekah berkata, “Telah kaya engkau sekarang. Setelah engkau mengumpulkan kekayaan di negeri kami, sekarang engkau hendak pindah, sombongnya engkau.”

Lalu Shuhaib menjawab, “Jika seluruh harta ini aku tinggalkan buat kalian untuk kalian bagi-bagi, apakah kalian akan masih mengomel juga jika aku hijrah?”

“Tidak!” Jawab mereka dengan kasarnya. Maka, berkatalah Shuaib, “Ambillah, harta bendaku semuanya, biarlah badan tunggalku saja yang keluar, tetapi aku hijrah jangan halangi!”

Mush’ab bin Umair anak kaya manja sehingga terompahnya saja pun bertahtakan emas. Ia pun hijrah beberapa bulan lebih dahulu karena ia diangkat Rasulullah menjadi guru pertama untuk menyebarkan Islam di Madinah. Tugasnya berhasil, tetapi ia miskin. Ketika terjadi peperangan Uhud, ia yang diperintahkan Nabi membawa bendera perang. Dalam peperangan itu tangannya putus, lalu dibawanya bendera dengan tangan kiri. Putus tangannya yang kiri, lalu dikepitnya bendera dengan sisa kedua tangannya, sampai ia jatuh tak bangun lagi. Setelah jenazah syahid itu hendak dikuburka, kain penutup badannya amat pendek, ditarik ke atas tersimbah kaki, ditarik ke bawah terbuka kepala.

Rasulullah SAW menggeleng terharu melihat jenazah pemuda itu, seorang yang begitu manja dan kaya di jaman jahiliyah, tetapi aqidah membawanya berjuang dan berkurban, dan ia ridha menerima nasib dan ia bangga dengan imanya. Ketika kain penutup tidak dapat menutupi seluruh badan, Rasulullah menyuruh tutup saja kepalanya, dan kakinya yang terbuka supaya ditutupi saja dengan rumput.

Satu cerita lagi, seorang tua bernama Jundab bin Dumrah al-Jundu’I tetap tinggal di Mekah setelah Rasulullah sendiri hijrah. Ia telah tua dan sakit-sakitan. Sebab itulah ia diizinkan tinggal di Mekah. Mulanya diterimanya keputusan itu, dan ia tinggal di Mekah dalam keadaan sakit.

Namun, lama kian terasa kesepian dirinya, Rasulullah yang dicintainya tidak ada lagi di Mekah lagi, kawan-kawan sepaham pun telah pergi. Kesepian jiwa di daerah yang dikuasai musuh.

Lalu, sambil batuk-batuk karena menderita penyakit ia panggil anak-anaknya, “Anak-anakku, harta bendaku masih ada untuk belanja perjalananku, bawa aku, usung aku, angkat aku. Aku ingin menuruti Nabi kita ke Madinah, aku ingin sehidup semati dengan beliau.”

Kemudia ditadahkan tangannya ke langit, seraya menyampaikan munajat pada Tuhan, “Allahumma, Ya Tuhanku, Engkau telah member uzur kepadaku, aku boleh tinggal di sini, tetapi aku tidak tahan, aku mesti pergi…”
Dengan terharu anak-anaknya menaikkannya ke atas usungan, dan akan membawannya ke Madinah. Namun, di tengah jalan, dalam perjalanan sejauh itu ia tidak tahan lagi. Alamat-alamat (tanda-tanda) kematian telah datang.
Ketika dekat akan putus nafasnya ditadahkan kedua tangannya, dan sekali lagi ia munajat, “Ya Allah, tangan kananku berbaiat untuk Engkau, dan tangan kiriku untuk utusan-Mu, apapun yang dibaiatkan oleh Rasul-Mu kepada Engkau Ya Allah, aku pun ikut serta dalam itu …”di saat itu putuslah nyawanya.

Ia dikuburkan di tengah perjalanan, dan anak-anaknya meneruskan perjalanan ke Madinah menemui Rasulullah, menerangkan kematian ayah mereka di tengah perjalanan. Lalu, turun ayat 100 dari surat an-Nissa’ sebagai sambutan dan penghormatan atas pengorbanan orang tua itu. Jundab bin Dhumrah,

Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (an-Nissa’: 100)

Banyak lagi cerita lain tentang hijrah sehingga beberapa orang yang buta pun turut hijrah. Di antarannya, Ibnu Ummi Maktum, orang buta yang terkenal dan amat dihormati Nabi. Yang selalu kedapatan lebih dahulu sampai masjid di waktu subuh walaupun rumahnya jauh.
Fahrur-Razi menafsirkan ayat ini demikian, maksud ayat ini adalah bahwa engkau merasa keberatan hijrah dari tanah airmu, takut karena banyaknya rintangan dalam perjalanan maka janganlah engkau takut karena Allah akan mengganti rintangan itu dengan hidup yang lebih lapang dan nikmat yang mulia-mulia sehingga kelak keadaan akan berbalik, perintang-perintang kamu itulah yang akan tertusuk hidungnya karena dengan berhijrah itu kamu mendapat hidup yang lebih lapang. Inilah sebabnya maka khalifah kedua, Amirul Mukminin Umar bin Khattab, memutuskan tahun perhitungan Islam dimulai dari hijrah.

***
Amma ba’du, kemudian dari itu, Ibnu Qayyim dalam karangannya menyatakan bahwa hijrah dari Mekah ke Madinah itu terhenti dengan ditaklukkannya Kota Mekah pada tahun kedelapan Hijriyah. Namun, hijrah lain yang lebih mendalam, tidaklah akan putus sampai hari Kiamat.
Kita tetap hijrah dari yang munkar kepada yang ma’ruf, dari yang zalim kepada yang adil, dari kesesatan kepada kebenaran, tegasnya dari yang kufur kepada iman. Kadang-kadang kita seakan terpencil (ghuraba) karena keteguhan kepada pendirian, yang haq tetap haq walaupun sekeliling kita oranf telah tenggelam kepada yang batil Kadang-kadang kita seakan-akan terisolasi karena keteguhan memegang aqidah.
Tertutuplah segala pintu bumi, tetapi hati orang yang hidup mempunyai aqidah akan tetap lapang karena munajatnya ke langit tidak pernah tertutup. Ucapan Nabi Luth a.s.,”Innii muhaajirun ilaa Rabbii”.
Aku hijrah kepada Tuhanku …

(Diambil dari buku “Dari Hati Ke Hati” karangan Prof. Dr. Hamka diterbitkan oleh Gema Insani)