‘Islam Nusantara’: Gugatan dan Penemuan Makna

Oleh Ahda Abid al-Ghiffari*

(Wartamuslimin.com) — Argumen Dr. Khalif Muammar cukup jelas dalam membantah wacana Islam Nusantara. Sebagaimana akademisi dan intelektual Attasian yang di masa kini berhadapan dengan wacana-wacana baru seperti Islam Nusantara, Khalif mengungkapkan bahwa “… wacana Islam Nusantara inginkan versi agama yang berbeda untuk di Nusantara.” Persoalan Islam Nusantara memang cukup mengusik kaum Muslim di region Nusantara saat ini. Wacana ini bukanlah perdebatan sia-sia yang menghabiskan waktu panjang dan tidak membuahkan suatu kemaslahatan bagi umat dan masyarakat. Kedua perumus dan pemikir dari pihak keduanya, pewacana Islam Nusantara dan pengontranya, memiliki satu rumusan khusus di balik tawaran teoritis dan sanggahan yang disajikan ke hadapan umat.

Dalam argumen Dr. Khalif, ia menegaskan bahwa Nusantara dalam historiografi kolonial dan orientalis dicitrakan dengan begitu dekaden dan marjinalnya pengaruh Islam. Argumen Dr. Khalif menekankan soal wacana Islam Nusantara yang dianggap membawa beban lebih kebudayaan yang membuat corak Islam yang ada di Nusantara berbeda. Sementara itu, ia kemudian menyanggah, bahwa adapun jika yang dimaksud Islam Nusantara terkenal dengan rasa ramah, toleran, dan santun, itu karena peran para [ulama] sufi yang hadir memberi pengaruh Islam di kepulauan Nusantara ini: bukan karena budaya Nusantara yang kemudian memberikan sifat lain kepada Islam, sehingga menjadi khas Nusantara.

Persepsi Anti Arab

Jikalau dilihat secara artifisial, memanglah wacana Islam Nusantara ini hendak melawan dan membentengi ‘Nusantara’ dari pengaruh Arab. Tetapi kita tidak perlu buru-buru menganggap bahwa Islam Nusantara adalah anti-Arab sebagaimana sering ditangkap oleh kalangan yang ber-Islam dengan model sandang Arab masa-kini. Islam Nusantara yang dituduh bersifat anti-Arab ini sebenarnya bukanlah bersifat membenci tradisi Arab, tradisi Arab Islam pada masa Nabi atau para sahabatnya. Sampai bagian ini, beberapa warga NU pembela wacana Islam Nusantara telah menyatakan ‘pembelaannya’. Permasalahan yang krusial dalam wacana Islam Nusantara bukanlah soal budaya Arab Islam yang diterima atau tidak. Lebih jauh, pendukung wacana Islam Nusantara memiliki persepsi bahwa yang terjadi pada Islam Arab kontemporer, yakni ‘Arab’ yang dipermasalahkan oleh pendukung Islam Nusantara, adalah Islam yang keras, terpecah belah dan suka konflik.

Tetapi permasalahan watak Islam Arab yang dipersepsikan anti damai ini-pun juga berasal dari sesuatu yang lebih berakar: pandangan mengenai nalar Arab yang seperti ‘biji-biji pasir’ dalam bahasa Muhammad Abed al-Jabiri. Ahmad Baso-lah yang menghadirkan metodologi dan mensyarah pemikiran al-Jabiri untuk dipakaikan pada konteks Islam Nusantara. Dalam buku syarahannya untuk pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri, lebih jauh, Ahmad Baso menjelaskan:

“Muhammad Abed al-Jabiri sering mengeluh soal karakter peradaban Arab sebagai kumpulan biji-biji pasir yang kian tinggi dan beranak-pinak, tapi kehilangan daya perekat, semen atau lemnya. Mereka hidup dalam kultur “pulau-pulau pemikiran” atau bangsa-bangsa “biji-biji pasir”. Akibatnya nalar mereka jumud, hidup nafsi-nafsi, suka konflik, dan bunuh-bunuhan, meski sama-sama ngaji Quran dan Hadis.”

Dalam bahasa Ahmad Baso, nalar yang membentuk kultur Arab tidak mengenal konsep ‘harmoni’ dan ‘suasana guyup’ yang bisa menyatukan biji-biji pasir dan pulau-pulau pemikiran bangsa-bangsa Arab. Kegagalan penyatuan ini begitu mengerikan tertulis dalam perkataan di atas: suka konflik dan bunuh-bunuhan. Kapasitas Ahmad Baso adalah meminjam pola pemikiran Abed al-Jabiri, seorang Arab-Maroko, yang mengakui bahwa kesatuan bangsa Arab memiliki problem nalar yang tidak ‘integral’ satu sama lain. Kita perlu mengetahui, bahwa pengakuan Abed al-Jabiri mengenai nalar bangsa Arab yang ‘suka konflik’ itu setidaknya pernah begitu minim dan berganti menjadi tradisi keilmuan burhani—rasionalitas, terutama bangsa-bangsa Arab di kawasan Afrika Utara dan Andalusia.

Persepsi bahwa Islam Arab suka konflik dan bunuh-bunuhan ini mungkin memang perlu diuji. Sebaliknya Nusantara yang toleran dan santun-pun perlu mendapat perlakuan yang sama. Kalangan pro Islam Nusantara perlu konsisten dalam memetakan mana ajaran Islam dan mana yang menjadi poros produk pemikiran ajaran Islam yang tidak sesuai dengan konsep ‘harmonis’ maupun ‘santun’. Oleh karenanya, pemetaan dan pemolaran ‘Islam’ tidak bisa sekedar dikotakkan melalui konsep regional tertentu. Demikian yang disampaikan oleh Khalif Muammar, bahwa “Sebenarnya yang berbeda bukan Islamnya tetapi pengamalan Islam oleh masyarakat Islam yang berubah mengikuti peredaran masa.”

Akan tetapi dalam paradigmanya untuk menolak ‘Islam Arab’ yang sebetulnya lebih bertitik-berat pada Islam model Salafi, di situlah Islam Nusantara tidak hanya bisa dikatakan sebagai wacana anti Arab. Sebaliknya, mengerasnya konsep ‘lokalitas Islam’ dalam Islam Nusantara memberikan satu kesempatan bagi berkembangnya Islam dalam region tertentu menggali kembali tradisi ajaran Islam yang pernah berkembang, terutama karya-karya yang dihasilkan oleh para ulama, dalam hal ini, Nusantara. Di sinilah perlunya memberikan peristilahan tepat untuk menggambarkan karakter perkembangan ajaran, bukan melalui ajaran yang sudah baku dan final dalam masalah peristilahan (yakni ‘Islam’ itu sendiri), tetapi dalam tataran pelaku dan pengamalnya, yakni para jenius lokalnya—kalau bisa disebut begitu.

Diskusi Tradisi: Kebangkitan Islam yang Sesungguhnya

‘Kebangkitan Tradisi’ dalam wacana Islam Nusantara mungkin bagian terkecil yang tertimbun bualan kosong ideologi Islam Nusantara sebagai anti Arab. Dalam Islam Nusantara, sejatinya yang lebih substantif adalah keinginannya untuk menyusun kembali bangunan tradisi pengamalan dan pengalaman ajaran Islam di Nusantara melalui bijak-bestari para ulama yang telah berperan dalam pembangunan peradaban Islam dalam lokalitas Melayu-Nusantara. Di titik inilah, penjelasan tersebut akan mengikis suara ramai yang menyalah-pahami dan, sebaliknya, menggunakan wacana Islam Nusantara secara fatal.

Dalam telaahnya terhadap pemikiran al-Jabiri, Ahmad Baso mengungkapkan keruntuhan sistem tradisi ke-Islaman yang mengakibatkan irasionalitas akut dalam tubuh umat Islam. Pemahaman terhadap tradisi dan masa lalu umat Islam (atau yang kemudian ia tunjukkan dalam kasus bangsa Arab) runtuh di hadapan romantisme (salafisme) ekstrim yang tidak mempergunakan tradisi sebagai sebuah alat (tools) tapi tujuan akhir yang mati dan anti kreatifitas. Umat terjelembab dalam politisasi Islam dalam rangka merebut kekuasaan yang mengalahkan sikap dan tradisi berfikir ilmiah (dan rasional) dalam beragama. Kesemuanya mempergunakan tradisi sebagai romantisme belaka yang dianggap penuh kejayaan dan murni (puritan), bukan tradisi yang penuh perenungan ilmiah dan unsur rasionalitas dalam beragama. Naiknya pamor salafisme-romantisme ini mengakibatkan krisis nalar dan pemahaman terhadap tradisi yang terjerumus pada emosionalitas yang mengakibatkan umat salah dalam memandang tradisinya.

Dalam kesalahan memandang tradisi—dan tidak menyadari fungsi tradisi yang perlu bangkit berdasarkan kesadaran yang menyeluruh terhadap tradisi—itulah ‘Islam Nusantara’ dikerangka sebagai istilah. Kesadaran tradisi dalam nalar lokalitas tertentu ini kemudian memberontak gelombang gagasan ‘kebangkitan Islam’ yang sebenarnya mengabaikan tradisi. ‘Kebangkitan Islam’ model salafi yang telah menjalar, bukan saja dalam kelompok salafi itu sendiri—tapi juga dalam nalar ‘kejayaan dan kebangkitan Islam’ Kaum Islamis, bahkan secara fragmentatif merusak semangat tradisi itu sendiri. Di sinilah ‘Islam Nusantara’ ditemukan. Sementara Mohammad Abed al-Jabiri, perumus ‘Kebaruan Tradisi’ yang menarik pikiran-pikiran dan konsep metodologis ‘Rasionalisme Maghrib’, rumusan dalam bangunan tradisi dan ilmu di Nusantara menghasilkan prinsip maslahat dan amal shaleh dalam tarikan pikiran tersebut ke dalam ‘Islam Nusantara’.

Ahmad Baso, mengutip al-Jabiri, merumuskan bahwa prinsip maslahat, yang disebut sebagai final cause, pada akhirnya terumus dalam sebab, atau tujuan diturunkannya syariat Islam. Inilah yang kemudian disebut dengan maqoshid syariah. Lebih jauh, maqoshid syari’ah dalam konsep ini berlandaskan moralitas nalar etika. Etika Islam adalah basis dalam perumusan maslahat dan amal shaleh, sebagai kerangka maqoshid. “Tujuan etika itu adalah amal saleh dan memetik maslahat serta mencegah kerusakan.” Kesemua prinsip tersebut mengarahkan tindakan beragama pada satu rumusan dalam pertemuannya dengan realitas. Seperti yang kemudian ditulis Ahmad Baso, bahwa pengalaman keulamaan di Nusantara mengarahkan ranah pengalaman kesufian individual, ke ranah publik sistemik. Setiap pembacaan tradisi (turats) tidak berakhir pada teks belaka, namun kemudian menjadi alat yang berharga untuk memandang konteks dan permasalahan lokalitas yang sah. Di sinilah keprinsipan metodologi sebagai rumusan mazhab (dalam bangunan wilayah mazhab itu berada atau ranah cakupan wilayah ideologinya—seperti Maghrib) seharusnya dipandang dalam tingkatan metodologisnya.

Dengan begitu, relevanitas prinsip maslahat dan amal shaleh dalam ‘Islam Nusantara (dalam substansi konsepnya, bukan termanya), mengandung bukan saja dikotomi lokalitas itu sendiri, tetapi konteks ‘pemberlakuan tradisi’ dan realitas di mana tradisi (dan dalam arti khusus mazhab yang metodologis) tersebut berhadapan. Pada akhirnya Ahmad Baso, perumus prinsip metodologis dalam rumusan tradisi al-Jabiri, mengatakan: “Bicara kemaslahatan berarti bicara kondisi dan realitas kekinian umat yang nyambung dengan tradisinya. Untuk mengenal lebih jauh kepentingan kemanusiaan mereka di dunia ini sebagai bekal menuju akhirat. Bukan sebaliknya membuat mereka terperosok ke masa lalu, hingga tidak bangkit lagi [terjerumus dalam romantisme kebangkitan dan kejayaan peradaban Islam dalam visi-misi Politik Islam]. Selanjutnya dari sana membangun solusi untuk persoalan-persoalan masa kini dan masa depan kita.”

Khatimah

Oleh karenanya, masa depan dan solusi atas problema yang dihadapi Umat Islam hanya akan diatasi dengan mempertimbangkan semangat tradisi dan pandangan keseluruhan akan obyek yang berasal dari semangat tradisi (Islam). Konsep-konsep tradisi itu sendiri merupakan perumusan lebih jauh dalam memperkenalkan—dalam bahasa al-Attas dan Attasian—Islamic worldview (pandangan hidup Islami). Dalam titik tolak itu pula, konteks realitas menjadi kesadaran tersendiri. Bagaimana Islamic Worldview akan dapat berfungsi tanpa kesadaran terhadap realitas itu sendiri? Itulah mengapa dalam satu contoh, Syed Muhammad Naquib al-Attas menyarankan kepada kita untuk ‘understand the west’. Dalam pandangan Syed al-Attas, the West adalah realitas, sekaligus tantangan kontekstual yang abadi (permanent confrontation). Makna realitas dan tantangan tersebutlah yang kemudian ditangkap dalam tingkatan tertentu dalam masyarakat.

Pada akhirnya, ‘Islam Nusantara’ sendiri memiliki prinsip yang tidak sembarang orang bisa menafsirkannya. Ia bukan hanya semangat untuk ‘Menusantarakan Islam’ atau bahkan ‘Meliberalkan Islam’ atau menyambungkan Banalitas Kemajemukan atau Multikuluturalisme dalam semangat perdamaian yang rancu dalam konsep-konsep Islami. Tradisi kepesantrenan (dalam berbagai nama seperti Surau atau Dayah) memberikan ‘satu ortodoksi’ yang perlu diklaim sebagai tradisi otoritatif ulama Nusantara, yang dalam hal ini dapat diklaim dalam tradisi mazhab fiqih Syafi’i, teologi al-Asy’ari, dan tasawuf Imam al-Ghazali. Artinya terdapat sumber-sumber yang tegas dan stabil dalam menafsirkan pengalaman dan pengamalan prinsipi-prinsip maslahat dan amal shaleh. Ia tidak bisa begitu saja mengarus dalam suasana konteks tradisi lain atau konsep dan ideologi dalam ‘persatuan’ atau ‘kebhinekaan’ dalam segala gelombang tantangan pemikiran dan gerakan-gerakan destruksi dan terdistorsi dalam masyarakat. Wallahu a’lam.

*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan guru sejarah di Pondok Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok; pernah belajar dan menempuh studi singkat di Ma’had ‘Aly Imam al-Ghazaly, Karanganyar, Surakarta.

[Red : Tori Nuariza]