(Wartamuslimin.com) — Dalam Rapat Kerja ke II Majelis Ulama seluruh Indonesia yang berlangsung di Jakarta, tanggal 3 sampai 4 Agustus 1977, Hamka lebih tegas menerangkan peranan Ulama sebagai berikut:
“Agama dengan kekuasaan akan bertambah kuat; Kekuasaan dengan agama akan bertambah kekal. Yang penting dalam kerjasama yang erat ini tidak lain ialah kesadaran kita akan tugas dan bidang kita masing-masing.”
Hamka menjelaskan lebih lanjut: Yaitu pemerintahan yang tidak berniat hendak mempergunakan ahli-ahli untuk kepentingannya sendiri, memudahkan barang yang sukar, mejauhkan yang dekat, meringankan barang yang berat dan untuk tidak keberatan menghalalkan barang yang haram! Karena ahli agama yang suka dikutak-kutikan, dibuat semau-mau menurut kehendak Pemerintah, ialah ahli-ahli agama yang tidak mempunyai kepribadian: Dan ahli ahli agama yang semacam ini pula yang lekas kehilangan kepercayaan dari pada ummat terbanyak, bahkan menjadi tertawaan.”
Surat Hamka itu tegas dan segar, dan memberi arah yang jelas bagi ulama, baik mereka yang menjadi anggota, maupun yang tidak menjadi anggota dari Majelis. Sebenarnya begitulah tugas ulama sejak semuala sampai akhir zaman.
Tepat yang dikatakan oleh Hamka, bahwa ulama akan memberi nasihat atau akan mengumumkan pendapatnya, diminta atau tidak diminta. Baru-baru ini, sesudah selesai diselenggrakan pemilihan umum yang kedua kali di bawah orde baru, Majelis Ulama mengeluarkan pengumuman, bahwa Majelis Ulama akan membantu Pemerintah menyembuhkan luka-luka yang ditinggalkan oleh Pemilihan Umum.
Waktu itu masih dipersoalkan apakah Pemilihan Umum sah atau tidak, berhubung dengan terjadinya penyelewengan-penyelewengan, tentu menurut pendapat masing-masing. Maka bijaksanalah, apabila Majelis Ulama tidak menyangkutkan diri dalam permasalahan itu, karena bukan bidangnya.
Tapi niat membantu pemerintah menyembuhkan luka-luka yang ditinggalkan oleh pemilihan umum adalah tepat sekali. Luka-luka yang ditinggalkan oleh Pemilihan Umum yang disebut oleh Majelis Ulama sudah merupakan sebuah penilaian dari Majelis Ulama. Luka-luka itu sifatnya parah. Karena itu Majelis Ulama memerlukan turun tangan.
Sebagai orang yang disinterested, artinya yang tidak ikut serta, malah dilarang menjadi calon, tapi tetap memperhatikan seluk beluk perjalanan pemilihan umum, saya mendapat kesan bahwa luka-luka itu berat. Dan luka-luka berat dapat menjadi borok, menjadi laten, jika tidak diobati. Saya ingat ‘Sebuah Himbauan’ Bung Tomo dalam mana ia menceritakan:
“Yang paling terasa dalam rangka pemilu yang baru lalu adalah musibah yang menimpa seorang Kyai tua berusia 70 tahun (yang seorang anaknya menduduki jabatan oditur militer didalam ABRI); setelah rumah kyai itu digedor, ia ditemukan didalam sumur sebagai mayat, kemudian dinyatakan bahwa almarhum adalah pemimpin ‘Komando Jihad’. Saya rasa tidak berlebih-lebihan, bahwa luka yang ditinggalkan oleh pemilu itu adalah luka-luka yang berat.”
Karena itu pada umumnya orang merasa lega, bahkan Majelis Ulama turun tangan dan menyatakan akan ikut membantu menyembuhkan luka-luka tersebut.
Pernyataan Majelis Ulama dengan sendirinya mempunyai bobot. Dalam kebudayaan jawa ada kalimat yang mempunyai bunyi ‘Sabdo Pandito Ratu’, artinya perkataan Ratu atau Raja senantiasa benar, tidak akan menyimpang dari kebenaran. Kalau ia berisi janji, janji itu akan dipenuhi. Saya rasa ucapan ulama mempunyai bobot seberat itu, setidaknya untuk umat Islam.
Adapun bagaimana menyembuhkan luka-luka yang ditinggalkan oleh pemilu itu saya rasa Majelis Ulama lebih mahfum, tentu tidak cukup untuk memakai perkataan politik sekedar dengan statement saja.
-Mohammad Roem-
Jakarta, 15 Oktober 1977
Sumber: Roem, Muhamad, 1983, Bunga Rampai dari Sejarah jilid 3, Jakarta: Bulan Bintang