Karakter Kosmopolitanisme Islam: Andalusia dan Nusantara

Oleh: Ahda Abid al-Ghiffari*

(Wartamuslimin.com) — Mohammad Abed al-Jabiri, seorang pemikir Maroko—yang aliran pemikirannya kerap diklasifikasi dalam ‘pemikir Maghribi’, menjelaskan dua kultur kota peradaban tempat bersemainya peradaban dalam sejarah Islam. Pandangannya mengenai kota-kota tersebut tentu menggunakan spekulasi sejarah yang ditandai dengan memotret bagian paling mayor yang diperkenalkan sejarah Islam dalam tinjauan ekspansi politik pemerintahannya. Dalam pembagian itu, ia membagi bahwa terdapat dua jenis karakter yang menentukan sebuah kota bisa berkembang sebagai pusat peradaban. Pertama, yang disebut, dalam klasifikasi Ibnu Khaldun, sebagai ‘umran badawi’, yakni yang berkarakter Arab pedalaman. Kota pertama ini memiliki kultur padang pasir yang berbeda dengan klasifikasi kedua, yang disebut ‘umran hadhari’.

Dalam sejarah peradaban Islam, klasifikasi kedua kota tersebut kerap tidak ditampilkan dalam bentuk klasifikatif, sebagaimana Abed al-Jabiri menyebutnya. Klasifikasi tersebut nyatanya menentukan karakter dan pengembangan fenomena yang terjadi pada pertumbuhan kota-kota penting dalam sejarah Islam. Kota-kota biasanya muncul dalam penaklukkan-penaklukkan dan kemudian berkembang semasa dijadikan sebagai ibu kota. Oleh karenanya, karakter kota-kota tersebut sering kali berpindah, seiring perubahan dan pergantian dinasti dan kekuasaan. Kekuatan kekeluargaan dalam sejarah Islam masih begitu menentukan dalam perkembangan kota-kota.

Al-Jabiri menyebut Andalusia sebagai ciri khas peradaban yang memiliki kultur umran hadhari. Menurutnya, karakter negeri-negeri di Andalusia berbeda dengan negeri-negeri dan pengembangan kota-kota yang terdapat di peradaban Islam bagian timur. Di Andalusia, penaklukkan Islam adalah penaklukkan kota-kota. Penaklukkan inilah yang membedakan dengan penaklukkan yang terjadi di negeri-negeri Islam sebelah timur. Ketika ditaklukkan, Andalusia, pada abad ke-delapan, sudah merupakan kota bangsa Eropa yang telah memiliki, atau setidaknya berpotensi sebagai, kultur umran hadhari. Seketika Islam datang, kultur kota tersebut berkembang menjadi kota kosmopolitan, bukan saja terpusat sebagaimana terjadi di Damaskus atau Bagdad, tapi menyebar di berbagai wilayah di Semenanjung Iberia (Mohammad Abed al-Jabiri, “Kota Cordoba dan Karakter Mazhab Pemikirannya: Kritik Pengetahuan dan Telaah Sejarah”, dalam Ahmad Baso (pensy.), Al-Jabiri, Eropa dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara untuk Dunia, Tanggerang Selatan: Pustaka Afid, 2017, hlm. 271-275).

Mengenai Andalusia sendiri, ketika Islam masuk ke negeri ini, kultur keberagaman kultur dan agama sudah nampak. Kedatangan dan penaklukkan Islam atas negeri ini tidak dibarengi dengan semangat, dalam bahasa Marvin Perry, pemaksaan penyeragaman agama (Marvin Perry, “Western Civilization: A Brief History”, perj. Saut Pasaribu, Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno sampai Zaman Pencerahan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012, hlm. 344). Islam dengan kultur Umat Islamnya, justru mengalami proses adapsi yang rumit sebelum akhirnya berkenalan dengan kultur kota yang kosmopolit. Kultur inilah yang menjadikan Islam di Andalusia berkarakter berbeda, sekaligus membawa dampak lain dalam menggejalanya fenomena pertumbuhan kota-kota dalam sejarah Islam

Perbandingan Kasus: Andalusia dan Nusantara

Pembicaraan mengenai klasifikasi kota dan karakter kulturnya membawa satu bahasan menarik mengenai corak dan perkembangan umran hadhari yang berkembang di Andalusia. Pertanyaannya, dalam fenomena kedatangan Islam, yang bagaimanapun membawa semangat perubahan dan pengembangan kultur khas Islam tersebut, dalam berbagai perkembangan jenis perkotaan, karakter dan kultur semacam apakah yang ditemui dan dikembangkan Islam ketika ia memasuki Nusantara?

Beberapa penulis sempat membandingkan tentang langgengnya ketahanan dan eksistensi Islam di Nusantara karena sifatnya yang damai dan menumbuhkan, bukan saja kosmopolitanisme pesisir sebagai kota-kota perdagangan—tapi juga sifatnya yang nyaris sinkretik dengan budaya dan kepercayaan lokal. Hal ini kemudian seringkali kontras diperbandingkan dengan gejala Islam di Andalusia yang sering salah dikenal dengan penyebaran dan ekspansinya yang bernada penuh kekerasan. Karakter kekerasan inilah yang menyebabkan Islam di Andalusia tidak langgeng dan mendapat serangan balik (reconquista) yang dilakukan oleh Ferdinand dan Isabella (Marvin Perry, ibid.)

Pandangan dikotomis semacam itu kerap kali menyesatkan dan juga mengaburkan proses sejarah dan karakter wadah persemaian peradaban Islam itu sendiri. Andalusia sebagai wadah persemaian peradaban Islam di wilayah Barat peradaban Islam sebenarnya juga memiliki karakter yang damai dan cukup toleran dalam menemui keberagaman dan ‘umat lain’ yang terdapat lebih dulu dalam wadah itu. Hal ini juga sebagaimana yang terjadi pada penemuan Islam di Nusantara, dimana karakter untuk menaklukkan dan menguasai menjadi fragmen-fragmen sejarah yang terdapat dalam kawasan ini hingga ia menjadi Indonesia. Bagaimanapun kealamiahan proses sejarah dalam damai dan penaklukkan (dalam maksud kekerasannya) adalah satu bagian integral dalam sejarah yang tidak bisa dikerangka dalam interpolasi-interpolasi perdamaian maupun strategi suatu kelompok Islam, misalnya, yang memang menggunnakan cara-cara kekerasan.

Dalam karakternya yang paling penting, penaklukkan-penaklukkan Andalusia memang lebih banyak bersifat politis daripada agama. Beban missie dalam Islam sendirilah yang secara alamiah terasimilasi dan mengasimilasi kultur Andalusia. Beban missie, atau da’wah, inilah yang akhirnya menentukan karakter Andalusia ketika dikuasai oleh Islam. Bagaimanapun, penguasaan dengan penanaman ideologi penguasa, ataukah penyatuan kultur yang kondusif bagi ketertiban pemerintahan, seringkali menghadirkan agama dalam berbagai bentuknya. Meskipun demikian, kadang keduanya tidak jarang menggunakan proses-proses alamiah dan kesadaran untuk menjaga kestabilan, dan bahkan ketentraman itu sendiri. Singkatnya, setiap penaklukkan militer, tidak selalu diikuti dengan kekerasan dalam proses kelanjutan sejarahnya. Di situlah mengapa umran hadhari tumbuh, dalam suasana toleransi dan perembetan kultur Arab-Islam dan juga penaklukkan dalam damai. Dalam proses itu pula Islam bisa menemui eksponen peradaban tempatan mereka yang beragama Kristen maupun Yahudi.

Tetapi, sebagaimana pernah diungkapkan Marvin Perry, bahwa gereja Spanyol berkarakter militan dan sejalan dengan semangat Perang Salib yang terus menerus dijalankan sejak penguasaan Muslim. Sejak itu, selama hampir lebih dari lima ratus tahun, penguasa Kristen—bukan masyarakat sipil—mengupayakan Perjuangan yang Panjang dalam suatu usaha yang akhirnya disebut sebagai ‘reconquista’. Aspek tantangan konflik ketika Islam menguasai Spanyol bukanlah kultur agama yang dilakukan oleh penduduk dan masyarakat sipil. Di Spanyol, raja, bangsawan, dan gerejawan, memiliki wewenang-wewenang yang mengakibatkan kultur konflik—bertentangan dengan karakter kosmopolit dan kondusif yang diciptakan masyarakat urban non ibu-kota kerajaan—yang memicu semangat pengusiran, dan bahkan pemaksaan penyeragaman agama (dalam hal ini Kristen, sehingga muncul kelompok masyarakat yang disebut converso). Dalam konflik politik yang dihidupkan melalui semangat agama dan anti-orang asing tersebut, Granada harus diserahkan kepada pasukan Spanyol Kristen, sebagai benteng terakhir Kaum Muslim pada 1492 (Marvin Perry, ibid.).

Sejak saat itu, kondisi peradaban dalam konfrontasi abadi antara Islam dan Barat berbalik, Barat menjadi satu kekuatan yang menentukan dalam persemaian peradaban di berbagai wilayah. Tetapi langgengnya kultur Islam di Andalusia tidak hanya bisa dilihat dari kehadiran para pelakunya, tetapi juga ketahanan kultur tersebut dalam perkembangan kultur Spanyol modern, bahkan Eropa Renaisans. Arab-Islam menyumbangkan semangat kosmopolitanisme dalam sejarah dan budaya Spanyol Eropa. Jika saja tanpa kekalahan perang dan politik itu, ukuran kelanggengan eksistensi Islam di Andalusia bisa lebih diperbandingkan dengan apa yang ada di Nusantara.

Jika Islam menemui wadah tempatan yang beragam di Andalusia, hal itu bukanlah suatu kasus yang khusus. Penyebaran Islam menemui keberagaman dan bukanlah menjadi satu rintangan bagi agama ini untuk melaksanakan proses Islamisasi. Di Kepulauan Melayu Nusantara, atau yang kerap disebut Nusantara, Islam memberikan berbagai peranan yang begitu terasa dalam sejarah dan budaya bangsa-bangsa Nusantara. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mungkin menjadi salah satu cendikiawan pertama yang memperkenalkan Kepulauan Melayu-Indonesia—dalam bahasa al-Attas—sebagai sebuah maha karya Islam melalui perubahan pandangan alam dan mengembangkan rasionalitas berfikir bagi orang-orang di kepulauan ini (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Petaling Jaya: ABIM, 1990, hlm. 19, 23, 24, 28-30, 36 …). Hal ini tentu saja berasal dari kebenaran dugaannya bahwa tesis orientalis, yang secara umum, mengatakan bahwa Islam hanya sebagai cat pelitur bagi kultur India di kepulauan ini sebenarnya tidak benar dan tidak berdasar. Sebaliknya, Islam merupakan inti terpenting yang hadir dan membawa semangat perubahan bagi peradaban Kepulauan Melayu Nusantara (al-Attas, ibid, hlm. 18 dan 23).

Dengan begitu, selubung orientalis mengenai pengecilan peran Islam dalam kepulauan ini merupakan satu hal yang tidak dapat diterima. Dalam karyanya yang lain, Prof. Al-Attas mengatakan bahwa masyarakat tempatan asli di Kepulauan ini hanya berupa birokrasi elitisme rezim India yang tidak berniat ‘menda’wahkan’ Indianisasi secara mendalam (Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam and Secularism”, penj. Khalif Muammar, Islam dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN dan CASIS-UTM, 2011, hlm. 210). Kehadiran Islam di Kepulauan ini justru menjadi penentu masuknya satu rasionalitas baru yang ditawarkan bagi pembentukan budaya yang justru lebih pantas disebut sebagai cat pelitur lapisan luar—daripada sebutan itu ditujukan kepada Islam. Kedatangan Islam di wilayah ini, pun sebagaima dikatakan Denys Lombard, bertepatan dengan terputusnya tradisi arsitektural candi. Artinya, kedatangan Islam sendiri bukanlah satu peristiwa yang berperan dalam menghancurkan hinduisme (Denys Lombard, “Le carrefour Javanais: Essai d’Historie Globale II. Les reseaux Asiatiques”, a.b. Winarsih Partaningrat Arifin, et.al., Nusa Jawa: Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia, Jakarta: Gramedia, Forum Jakarta-Paris, dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2008, 189-190); dalam bahasa lain, budaya dan pengaruh dalam wadah tempatan ini sudah terlalu rapuh dan hanya sekedar melapisi bagian kulit luar peradaban Nusantara.

Kemunculan, yang disebut Ahmad Adaby Darban, Komunitas Alternatif, sebagai ‘enclave’ pertumbuhan masyarakat Islam dan kultur santri, memberikan satu panorama baru bagi peradaban Nusantara. Kota-kota pesisir tumbuh, dan semangat itu mengekalkan jaringan perdagangan Nusantara; sehingga ‘samudera Islami’ seperti yang dikatakan Lombard meneguhkan satu kultur alternatif pesisiran yang kontras dengan semangat Indianisasi lama di pedalaman. Komunitas alternatif yang tengah tumbuh itu membentuk suatu solidaritas pesisir yang berwujud suatu konsepsi Kerajaan Islam; Demak (A Adaby Darban, “Kyai dan Politik pada Zaman Kerajaan Islam di Jawa”, Pesantren, No. 2/vol. V/1988, hlm. 34).

Sebagai sebuah kerajaan Islam pertama yang dikenal di Jawa, riwayat yang dikemukakan Raffles dari sumber Serat Kanda-nya bertentangan dengan sumber-sumber Hindu—seperti yang dipaparkan Hasan Djafar, bahwa Islam bukanlah penentu dalam kehancuran Majapahit pada tahun 1478. Majapahit justru masih memiliki asa setelah tahun itu, dengan dinasti penggantinya, Girindrawardhana. Kekuatan solidaritas pesisir dalam menaklukkan pedalaman dan menyingkirkan benteng Hindu di pedalaman Jawa Timur itu kemungkinan besar baru terealisasi sampai tahun 1524, ketika dinasti baru di Majapahit tersebut hendak bangkit bersama Portugis (yang baru saja menaklukkan Malaka) dalam menentang kehadiran Islam Kanda (Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana & Masalahnya, Depok: Komunitas Bambu, 2012, hlm. 126). Riwayat lain mengenai konflik peradaban antara Islam vs Hindu juga seringkali mengemuka dalam sejarah Jawa Barat. Sayangnya berbagai kisah dari historiografi tradisional tersebut hanyalah dianggap lebih pada perseteruan politik daripada agama (Tiar Anwar Bachtiar, “Islamisasi Tatar Sunda: Perspektif Sejarah dan Kebudayaan”, Islamia, vol. VII/no. 2, April 2017, hlm. 49). Islam tumbuh di tengah-tengah masyarakat dengan semangat Islamisasi sembali asimilasi yang adaptif.

Penaklukkan dan munculnya kota pesisir seperti Jayakarta, misalnya, menjadi kasus menarik. Kehadiran kota yang sering dimitoskan dengan simbol ‘kemenangan Islam’ itu mungkin menjadi sebuah kota pesisir yang gagal menjadi kosmopolit. Tetapi kehadirannya sungguh menyimbolkan dua hal: penanda kemenangan Islam menghentikan laju hinduisme Pajajaran dan benteng hubungan koalisi antara kerajaan-kerajaan Hindu serta ambisi Portugis. Sultan Trenggono berhasil membentengi Jawa Pesisir untuk menghadang arus invasi Salib pertama. Tetapi sepeninggalnya, semenjak ditaklukkan oleh Belanda, Jayakarta tetap menjadi kota transito kapal-kapal perdagangan besar VOC (Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional, 2005, hlm. 764-765). Sementara ketika Batavia tengah tumbuh, di situlah Islam menunjukkan kosmopolitanismenya. Ridwan Saidi menunjukkan perlawanan diam yang dilakukan orang Betawi dalam sisi kebudayaannya, sementara dalam suatu artikel, Beggy Rizkiansyah menjelaskan dengan baik bagaimana orang-orang Moor berperan besar dalam mempertahankan kehadiran Islam di kawasan yang kini disebut Jakarta itu (Beggy Rizkiyansyah, “Cahaya Ulama Betawi”, jejakislam.net).

 

Menjemput Tradisi

Kemunculan Islam dalam ‘wadah-wadah’ dengan kultur-kultur peradaban liyan tersebut sejatinya membangkitkan satu tradisi kosmopolit. Ruang-ruang peradaban Islam memang sering-kali dipecah dalam bentuknya yang murni dan sinkretik. Tetapi dalam kasus Andalusia, meresapnya Islam dalam kultur kosmopolit yang telah ada sejatinya mengungkapkan betapa asimilatifnya agama ini dalam bertemu realitas. ‘Kegagalan’ Islam di Spanyol dalam menghadapi ‘Perjuangan yang Panjang’ reconquista tidak selalu bisa disimpuli karena rapuh dan sangat artifisialnya pengaruh Islam dalam budaya kota yang kosmopolit tersebut. Sejak awal, penaklukkan dalam sejarah Islam tidak selalu bisa digambarkan melalui figur pahlawan Islami berjubah besi yang menaklukkan suatu negeri dengan pasukan-pasukan yang sangat sholeh. Terkadang penaklukkan tersebut dilakukan oleh ‘pahlawan yang tak dikenal’, sebagaimana dituturkan Hamka (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo 1958, Jakarta: Tintamas, cet. t.t., hlm. 1).

Kebanyakan orientalis tersesat dalam kerangka kosmopolitanisme tersebut. Ia selalu hanya dikaitkan dengan ‘pesisir’ dan bertentangan dengan ‘kultur petani’ (seperti dalam Christine Dobbin, “Islamic Revivalism in a Changing of Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847”, penj. Lilian D Tedjasudhana, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847, Depok: Komunitas Bambu, 2008, hlm. 189). Sedangkan ‘kebudayaan kota’ yang diciptakan Islam memang begitu menonjol ditampakkan dalam sejarah Islam di Andalusia. Tetapi kisahnya mungkin lain dalam arus sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Jika penaklukkan dan penyebaran Islam sendiri itu tidak selalu identik dengan misi penaklukkan militer atau kekuatan penguasaan dan pemerintahan, maka seketika kota-kota pesisir di Jawa, misalnya, mulai runtuh, asa Islam yang mulai hilang kepercayaan dirinya melalui para sultan dan penguasa, masih bisa dijaga oleh para ulama. Di Jawa—maupun dalam kasus Andalusia, tradisi keulamaan inilah yang menentukan asa Islam dalam kekuatan hegemoniknya. Ia melanjutkannya dalam panorama lain (di pedalaman) setelah terjadi, misalnya, keruntuhan solidaritas pesisir.

Kota-kota yang tumbuh di pesisir dalam kancah solidaritas baru komunitas alternatif, dan juga negeri ‘kota-kota’ yang muncul di Andalusia, pada akhirnya merupakan gejala alamiah, di mana karakter tradisinya sendiri dalam kekuatan sumber-sumber ajarannya, yang menentukan arah adapsi di ‘wadah’ manapun ia datang dan berada. Setiap proses sejarah tersebut menentukan subyek-subyek kreatif yang menemukan realitas yang berbeda dan konteks tantangannya. Wallahu a’lam.

 

*Ahda Abid al-Ghiffari, Penulis merupakan guru sejarah di Pondok Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok; pernah belajar dan menempuh studi singkat di Ma’had ‘Aly Imam al-Ghazaly, Karanganyar, Surakarta.

[Red : Tori Nuariza]