Sjafrudin Prawiranegara dan ORI (Oeang Republik Indonesia)

Oleh: Muhammad Faizzurahman*

(Wartamuslimin.com) — Sjafruddin Prawiranegara yang kita kenal selama ini adalah seorang tokoh nasional yang menjadi ketua atau Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia ketika Ibukota Republik Indonesia sedang dikuasai oleh Belanda yang ingin mengambil alih kembali Indonesia. Pada saat itu di tahun 1948 presiden, wakil presiden, dan para menteri ditangkap oleh Belanda karena tengah melancarkan Agresi Militer II. Usaha Belanda untuk mengambil kembali daerah Hindia Belanda atau sekarang Indonesia ini dilakukan oleh Belanda sejak menyerahnya Jepang kepada Sekutu dalam Perang Dunia II. Akan tetapi, dibalik peran Sjafruddin Prawiranegara sebagai tokoh nasional yang berjasa dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia, ada peran Sjafruddin Prawiranegara dalam bidang ekonomi di awal kemerdekaan Indonesia.

Sjafruddin Prawiranegara dilahirkan di Anyar, Banten, pada tanggal 28 Februari 1911. Berasal dari keluarga bangsawan Banten, Sjafruddin Prawiranegara memperoleh pendidikan Barat mulai dari Europeesche Lagere School (ELS) sampai pada jenjang pendidikan tinggi yaitu Recht Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum dengan gelar Mr (Meester in de Rechten) pada tahun 1939 (Edi Sudarjat, 2017: 23). Dalam masa-masa menjelang kemerdekaan, pergerakan Sjafruddin Prawiranegara cenderung lebih kooperatif dibanding dengan tokoh-tokoh yang berjuang melalui organisasi pergerakan. Sjafruddin Prawiranegara bergerak dengan bekerja di Departemen Keuangan Hindia Belanda. Pada tahun 1940 diangkat menjadi Inspektur keuangan yang ditempatkan di kantor pajak Kediri. Kemudian, pada zaman Jepang Sjafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai kepala Inspeksi pajak di Bandung (Edi Sudarjat, 2017: 23).

Karirnya setelah lulus dari Sekolah Tinggi Hukum memang banyak bergerak di bidang ekonomi serta sampai masa awal kemerdekaan Indonesia, ia menjadi tokoh penting dalam perekonomian Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara menjadi anggota KNI Karesidenan Bandung. KNI ini merupakan badan pembantu presiden yang dibentuk melalui sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Melalui sidang PPKI, KNI ini menjadi KNIP atau Komite Nasional Indonesia Pusat yang selanjutnya secara fungsi berganti menjadi badan legislatif berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.X 16 Oktober 1945 (Edi Sudarjat, 2017: 25). Kemudian dengan kebijakan tersebut, mulai dibentuk badan legislatif di daerah-daerah dengan nama KNID atau Komite Nasional Indonesia Daerah. Sjafruddin Prawiranegara sendiri menjadi anggota BP KNIP atau Badan Pekerja KNIP yang dibentuk untuk membantu pekerjaan sehari-hari KNIP.

Kemudian karir Sjafruddin Prawiranegara terus berlanjut dengan ditunjuk menjadi Menteri Muda Keuangan pada Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946), Menteri Keuangan pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947), dan Menteri Kemakmuran pada kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949) (Departemen Penerangan RI tahun 1970). Setelah menjadi Presiden PDRI dan Yogya kembali direbut RI Sjafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai Menteri Keuangan Kabinet Natsir pada tahun 1950, lalu diangkat sebagai Gubernur De Javasche Bank yang terakhir sekaligus Gubernur Bank Indonesia yang pertama (Edi Sudarjat, 2017: 27). Ikut sertanya dalam partai politik adalah bergabung bersama Partai Masyumi, dan karir Sjafruddin Prawiranegara di pemerintahan mulai berakhir ketika ia terlibat dengan PRRI pada tahun 1958.

Peran Sjafruddin Prawiranegara dalam perekonomian Indonesia di awal kemerdekaan adalah memberikan ide dan gagasan agar Republik Indonesia mencetak uang sendiri menggantikan uang Jepang dan uang Hindia Belanda yang pada waktu itu masih beredar sebagai alat pertukaran sah di Indonesia. Gagasan pencetakan uang sendiri untuk Republik Indonesia lahir dari pertemuan KNI Karesidenan Bandung yang menyepakati bahwa pencetakan uang sendiri untuk Republik Indonesia sangat penting karena akan menandakan bahwa Indonesia benar-benar sudah merdeka dan berdaulat. Pada awal September 1945 anggota KNI Karesidenan Bandung pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pertemuan itu mengusulkan bahwa Indonesia perlu membuat Oeang Republik Indonesia (ORI) untuk alat pembayaran dan pertukaran resmi di Indonesia. Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya Hatta menyepakati usulan KNI Karesidenan Bandung dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai utusan untuk mencetak uang sendiri yaitu Oeang Republik Indonesia atau ORI.

Pada Oktober 1945 sebulan setelah usulan pembetukan ORI disampaikan, Hatta langsung mengadakan pembicaraan intensif dengan Menteri Keuangan RI Mr. Alexander Andries pada waktu itu. Kemudian untuk menindaklanjuti pembentukan ORI ini, Kementrian Keuangan mengadakan pertemuan di kantornya pada 24 Oktober 1945 yang dihadiri wakil dari Kementrian Keuangan, Sardjono dkk (utusan buruh percetakan di Surabaya), utusan buruh percetakan G. Kolff & Co., Jakarta (percetakan milik Hindia Belanda) yang dipimpin W.J.D. Pesik (Edi Sudarjat, 2017: 33). Sardjono dkk rupanya telah mempersiapkan desain ORI tetapi masih ditolak dalam pertemuan itu. Sardjono juga mendesak agar pencetakan ORI dilakukan di Surabaya, ia bisa menjamin proses pencetakan dan keamanan. Sehingga Menteri Keuangan langsung menginstruksikan kepada utusan buruh percetakan mengirimkan anggotanya untuk pergi ke Surabaya melihat kesiapan dan kondisi yang ada di Surabaya. Pada sore hari tanggal 24 Oktober 1945 itu langsung berangkat ke Surabaya enam orang yaitu S.E. Osman, Mochtar Matata, Saali, Aus Suriatna, Boenjamin Soerjohardjo, dan Marwin (Edi Sudarjat, 2017: 34).

Tim tersebut bergerak ke Malang, Solo, dan Yogyakarta setelah selesai dari Surabaya dan kembali sampai di Jakarta pada tanggal 3 November 1945. Mereka melaporkan bahwa Surabaya tidak bisa dijadikan tempat untuk pencetakan ORI karena kondisi mesin-mesin cetak yang tidak bisa digunakan dan situasi Surabaya yang mencekam banyak bentrokan bersenjata. Mereka kemudian menyarankan untuk dilakukan di Malang karena percetakan Nederlandsch Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) terpelihara dengan baik, serta di Yogyakarta juga terdapat dua percetakan yang dapat dipakai untuk pencetakan ORI (Edi Sudarjat, 2017: 35). Setelah laporan tersebut, A. A. Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Percetakan Oeang Republik Indonesia pada tanggal 7 November 1945 berdasarkan surat keputusan No.3/R.O dan membentuk organisasi pelaksanaan pencetakan ORI sebagai tenaga teknis yang dipimpin oleh H.A. Pandelaki, S.E. Osman, serta R. Aus Suriatna (Edi Sudarjat, 2017: 36). Selanjutnya, proses pencetakan ORI dilakukan diluar Jakarta setelah Ibukota RI pindah ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Pencetakan dilakukan di Malang, Yogyakarta, Surakarta, dan probolinggo.

Tujuan pembuatan ORI ini mengalami kendala karena pergerakan yang dilakukan sekutu serta Belanda yang ingin kembali mengambil alih Indonesia. AFNEI (pasukan SEAC yang bertugas ke Indonesia) dengan membawa NICA (pasukan yang ingin mendirikan kembali penjajah Belanda) melakukan pergerakan yang melemahkan kemerdekaan Indonesia. Pada saat mereka sampai di Indonesia, mereka tidak mengetahui kemerdekaan Indonesia. Kemudian tentara Sekutu-Inggris menganjurkan agar pemerintah Republik Indonesia dan Belanda (NICA) tidak mengeluarkan uang baru selama keadaan politik belum tenang, agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan ekonomi dan keuangan. Tetapi NICA yang dibantu Sekutu-Inggris malah mengedarkan uang rupiah Jepang untuk membiayai operasi militer dan membayar gaji para pegawai NICA (Edi Sudarjat, 2017: 47). NICA melanggar kesepakatan untuk tidak mengeluarkan uang baru selama keadaan politik belum tenang. Dengan keadaan seperti itu, pada 2 Oktober 1945 Pemerintah RI mengeluarkan Maklumat yang menyatakan bahwa mata uang Hindia Belanda yang baru tidak berlaku di wilayah RI dan pada tanggal 3 Oktobernya dikeluarkan Maklumat tentang peraturan yang menentukan mata uang yang sah berlaku sebagai alat pembayaran (Edi Sudarjat, 2017: 48). Hal ini didukung oleh mayoritas penduduk Indonesia, Maklumat tersebut benar-benar dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia.

Tahun 1946 Menteri Keuangan yang menjabat pada 12 maret – 2 Oktober 1946 Ir. Surachman Tjorodisurjo mengeluarkan SK tentang Panitia Penyelenggara Pencetakan ORI dipecah menjadi dua, yaitu Panitia I bertugas menerima, menyimpan, dan mengedarkan uang yang selesai dicetak, dan panitia II menjalankan tugas yag sudah ditetapkan sebelumnya dalam SK tanggal 7 November 1945. Ketika proses pencetakan ORI selesai, panitia I menjalankan tugasnya dengan menyimpan serta mengedarkan ORI yang dimasukkan dalam besek dan diikat erat-erat ke Jawa, Madura, dan Sumatra. Selain itu, panitia I juga mendaftar nama penduduk daerah-daerah yang dikuasai pejuang RI. Karena sesuai dengan rencana pemerintah untuk membagikan ORI satu rupiah per penduduk (Edi sudarjat, 2017: 61). Setelah ada nama-nama penduduk, daftar nama tersebut disebar ke beberapa kantor dan pos yang akan bertugas untuk membagikan ORI kepada penduduk.

Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No.19 tahun 1946 tentang pengeluaran ORI pada 24 Oktober 1946 yang mengatur (1) dasar nilai ORI; (2) dasar nilai penukaran uang baru atau ORI dengan uang lama atau uang Jepang; (3) cara pembayaran utang lama yang belum lunas di saat ORI mulai beredar, dan; (4) penetapan berlakunya uang baru (Edi Sudarjat, 2017: 64). Menteri Kemakmuran juga mengeluarkan peraturan mengenai harga bahan pokok yang sesuai dengan ukuran ORI pada tanggal 29 Oktober 1946. Pada akhirnya, ORI diedarkan pada tanggal 30 Oktober 1946 melalui badan-badan yang telah ditunjuk dan Menteri Sosial juga menerbitkan Peraturan Menteri Sosial No. b/202 yang menetapkan bahwa pegawai pemerintah di Jawa dan Madura akan menerima gaji bulan Oktober dengan ORI dan akan dibayarkan pada tanggal 31 Oktober atau sesudah tanggal itu. Peredaran ORI disambut oleh pendudukan yang dikuasai RI, tetapi pemerintah juga belum bisa mengedarkan ORI ke semua wilayah Jawa dan Madura. ORI mulai mengalami penurunan ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I dimana daerah-daerah tempat pencentakan ORI diduduki oleh Belanda. Pada waktu mulai diedarkannya ORI Sjafruddin Prawiranegara sedang menjabat sebagai Menteri Keuangan yang pada waktu malamnya sebelum ORI mulai diedarkan tanggal 30 Oktober bersama dengan Hatta menyampaikan pidato di Radio Republik Indonesia (RRI).

*Penulis merupakan penggiat Studi Wawasan Islam (SWI). Ia sedang menempuh studi S-1 Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta