Mahathir dan Islam Berkeadaban
*A. Ilyas Ismail
[Dosen UIN Syarif Hidayatullah/ Dekan FAI UIA Jakarta]
Beberapa waktu lalu, Nahdhatul Ulama mengintroduksi ‘Islam Nusantara’, sedangkan Muhammadiyah mengenalkan ‘Islam Berkemajuan’. Teman-teman dari negeri jiran Malaysia lebih suka memilih terma ‘Islam hadharah’ alias ‘Islam Berkeadaban’.
Sejatinya, tidak ada perbedaan prinsipal di antara terma-terma itu. Semuanya memiliki niat dan intensi yang sama, yaitu mewujudkan Islam yang unggul, damai, beradab, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Menarik disimak pandangan Tun Doktor Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysia yang tersohor itu tentang Islam hadharah yang diutarakannya dalam seminar internasional bertajuk, “Al-Islam, wa al-Salam, wa al-`adalah: Al-Tahawwul nahwa `Alamin Jadidin Mutahadhdhir” beberapa waktu lalu di Kampus Universitas Islam as-Syafi’iyah (UIA) Jakarta.
Mahathir yang bertindak sebagai keynote speaker dalam seminar ini memulai orasinya dengan mengajukan pertanyaan krusial, yaitu apabila negeri-negeri Islam mundur dan terbelakang sekarang ini, apakah hal itu terjadi karena agama Islam atau karena faktor-faktor lain?
Jawabannya ada dua sebab, menurut Mahathir, yang membuat Islam tertinggal, yaitu sebab internal dan eksternal. Secara internal, umat Islam sejak abad ke-15 M salah memahami Islam. Mereka hanya mementingkan nilai-nilai ibadah juga mistis dan megabaikan nilai-nilai ilmu dan amal.
Menurut Mahathir, kenyataan ini justu berbanding terbalik dengan yang terjadi di Barat (Eropa). Sejak abad ke-15, Eropa justru memasuki fase baru, yaitu fase pencerahan akal budi yang disebut renaissance. Akibatnya, Barat mencapai kemajuan dan Islam mengalami degradasi kemunduran.
Bagi Mahathir, kemajuan suatu masyarakat amat ditentukan oleh nilai-nilai (values) yang dianutnya. Kalau nilai-nilai yang dianut bagus, masyarkat akan maju atau dapat mencapai kemajuan. Begitu pula sebaliknya. Kemajuan yang dicapai negara-negara Barat sekarang menjadi bukti kebenaran tesis ini.
Sementara, secara eksternal, Mahathir menunjuk faktor penjajahan Barat (kolonialisme) sebagai biang kerok kemunduran Islam. “Anak-anak muda sekarang tidak merasakan betapa pahitnya menjadi bangsa jajahan,” tegas Mahathir.
Bagi Mahathir, penjajahan belum berakhir, hanya berubah bentuk dari penjajahan lama ke penjajahan baru atau neokolonialisme. Penjajahan baru ini justru lebih dahsyat menghisap kekuatan dan kekayaan Islam dengan memakai beragam kedok, demokratisasi, HAM, kesetaraan gender, dan tata kelola ekonomi baru, perdagangan, dan lain-lain yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing (Barat).
Lantas, apa yang mesti dilakukan bangsa-bangsa Muslim agar mencapai kemajuan dan keadaban seperti yang diharapkan?
Solusi dan Rekomendasi
Mahathir merekomendasikan beberapa hal pokok. Pertama, meminta bangsa Muslim menghargai nilai ilmu pengetahuan, bukan hanya nilai ibadah dan akhirat semata. Yang dimaksud dengan ilmu di sini tak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga sains modern.
Mahathir mengingatkan agar bangsa Muslim memahami dan mengamalkan iqra’, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Iqra’ adalah perintah agar kaum Muslim mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan baik ilmu yang digali dari Alquran (revealed knowledge) maupun yang digali dari alam jagat raya (natural sciences) dan alam manusia (social sciences) serta humaniora.
Kedua sumber ilmu itu, Alquran dan alam, seperti dikemukakan intelektual Muslim, Basheer Ahmed, saling mencerahkan satu sama lain, “The that al-Qur’an and universe, each in light of others.” (Lihat Muslim Contributions to world civilization: 2014).
Kedua, Mahathir meminta agar bangsa Muslim giat dan rajin belajar, memiliki etos kerja intelektual yang tinggi, seperti semangat keilmuan yang dahulu ditunjukkan oleh kaum Muslim pada masa kejayaan Islam. Sepeti diketahui bahwa pada zaman kejayaan Islam itu memang tidak ada komunitas di luar Islam yang lebih bersemangat untuk menimba, menekuni, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, ketimbang umat dan komunitas Islam.
Umat Islam kala itu telah menjadi pemimpin intelektual dunia selama sekurang-kurangnya empat abad dengan puncaknya pada zaman Khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun, putranya yang secara beruntun memerintah Dinasti Abbasiyah dari 783-933 M. Pada saat itu Barat (Eropa Kristen) masih dalam kegelapan mutlak, bahkan pada 1000 masih sedemikian terbelakangnya dan harus hanya bersandar secara total kepada ilmu pengetahuan dunia Islam. (Nurcholish Madjid, Islam Dotrin dan Peradaban: 1992).
Sayangnya, seperti sudah umum diketahui, semangat intelektualisme Islam itu kemudian menurun–untuk tidak mengatakan memudar–di kalangan kaum Muslim. Semangat intelektualsime itu, menurut Mahathir, justru berpindah untuk selanjutnya berkibar dan berkobar di kalangan Barat Kristen.
Sejak abab kebangkitan, renaissance, seperti telah disinggung di muka, mereka begitu semangat belajar, menimba ilmu pengetahuan, termasuk dari khazanah keilmuan Islam, baik secara langsung di Timur Tengah atau melalui Asbania, Spanyol, Islam. Pada masa ini begitu banyak karya-karya Islam dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Barat.
Ketiga, selain meningkatkan amal ilmiah, Mahathir meminta bangsa Muslim agar mempertinggi amal sosial dan kemanusiaan. Ini merupakan pilar ketiga dari Islam Berkeadaban yang ditawarkan Mahathir. Islam Berkeadaban, selain menekankan ilmu dan tradisi intelektual yang tinggi, juga menekankan kedamaian, toleransi, dan keluhuran budi pekerti dengan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama umat manusia.
Dalam banyak kesempatan, Mahathir sering bercerita bahwa sewaktu masih aktif sebagai perdana menteri Malaysia, ia sering kali diundang oleh komunitas-komunitas lain di luar Islam untuk meresmikan berbagai acara amal sosial untuk kemanusiaan. Dalam acara-acara semacam itu, diberikan donasi untuk orang-orang tak mampu, kaum dhuafa, dari golongan manapun, termasuk dari kelompok Islam.
Bagi Mahathir, amal sosial ini amat penting. Orang Muslim, harus aktif dalam kancah ini untuk membuktikan kemulian Islam sebagai agama keadilan (din al-`adalah), agama kedamaian (din al-slam), dan agama kasih sayang (din al-rahmah).
Untuk memperkuat amal sosial ini, Mahathir mengingatkan bangsa Muslim tentang pembagian doktrin Islam ke dalam dua bentuk, yaitu (1) kewajiban individual (fardhu `ayn) dan (2) kewajiban sosial (fardhu kifayah). Diakui, selama ini, orientasi keagaman Islam di negeri-negeri Islam, di Malaysia, Indonesia, dan di tempat-tempat lain, lebih banyak menitikberatkan pada fardhu `ayn, dan kurang memberikan perhatian pada fardhu kifayah.
Padahal, menurut Mahathir, kemuliaan Islam dan kehadirannya sebagai agama yang mendorong kemajuaan dan keadaban (mutahadhdhir) bisa terwujud manakala bangsa Muslim lebih kontributif dan peduli dalam memecahkan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan dengan memperbanyak ibadah yang berdimensi sosial (fardhu kifayah) ini.
Jadi, Islam Berkeadaban yang diusulkan Mahathir berbasis pada keunggulan ilmu pengetahuan dan akhlaq al-karimah serta kemanusiaan sejagat merupakan sebuah transformasi sosial dan kulutral menuju lahirnya generasi terbaik Islam. Semoga, Islam Berkeadaban yang diperjuangkan Mahathir dapat menghapus stigma Islam sebagai agama teror atau stereotip lain yang merendahkan Islam. Wallah a`lam!
*Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA adalah Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi`iyah (UIA) Jakarta
** Dimuat dalam Koran Republika kolom Opini Edisi Rabu, 16 Maret 2016
Sumber :http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/03/16/o44e4617-mahathir-dan-islam-berkeadaban