Kebangkitan Jong Islamieten Bond (JIB)

(Wartamuslimin.com) – Jong Islamieten Bond didirikan secara resmi pada bulan Januari 1925, di Jakarta. Jong Islamieten Bond adalah sebuah organisasi kepemudaan yang beranggotakan para pemuda-pelajar muslim bumiputera Hindia-Belanda yang bersekolah di sekolah-sekolah umum yang didirikan pemerintah kolonial. Pembentukan Jong Islamieten Bond sesungguhnya merupakan reaksi dan ungkapan kekecewaan para pemuda pelajar muslim anggota Jong Java terhadap organisasi mereka sendiri. Pembentukan Jong Islamieten Bond menggambarkan betapa sengitnya persaingan antara kelompok pemuda pelajar muslim dengan kelompok nasionalis sekuler di dalam tubuh organisasi Jong Java. Persaingan ideologis ini akhirnya berujung pada perpecahan di dalam tubuh Jong Java, akibat terpinggirkannya aspirasi para anggota Jong Java yang beragama Islam pada saat itu.

Persaingan ideologis dan perpecahan ini terutama dipicu oleh kehadiran seorang tokoh misionaris Kristen, Hendrik Kraemer (1888 – 1965). Karena kedekatannya dengan beberapa tokoh Jong Java, akhirnya Hendrik Kraemer mendapat kesempatan untuk memberikan seri kuliah mengenai agama Kristen, Katolik dan Theosofi, kepada para pemuda-pelajar anggota Jong Java. Situasi makin memanas ketika Hendrik Kraemer kemudian bahkan diangkat pula menjadi penasihat Jong Java.

Hendrik Kraemer pertama kali bertugas di Indonesia pada tahun 1921 sebagai seorang utusan Lembaga Alkitab Belanda. Hendrik Kraemer datang ke Indonesia setelah menyelesaikan studi Doktornya di Universitas Leiden, di bawah bimbingan Snouck Hurgronje. Hendrik Kraemer memperoleh gelar Doktor dengan disertasi mengenai teks-teks Islam berbahasa Jawa. Pada saat itu, Hendrik Kraemer tidak hanya ditugaskan untuk membantu revisi terjemahan Alkitab dalam Bahasa Jawa. Hendrik Kraemer juga mendapatkan tugas untuk mengamati kecenderungan paling mutakhir yang terlihat dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan intelektual muda di Jawa, perkembangan di kalangan Islam, maupun perkembangan di lingkungan gereja, terutama aspirasi kalangan Kristen pribumi menuju kemandirian gereja. Sehubungan dengan tugas untuk mengamati kecenderungan di kalangan intelektual muda yang dibebankan kepadanya, maka Kraemer kemudian berhasil menjadi penasehat Jong Java, sekaligus memberi serangkaian ceramah tentang agama Kristen (sekaligus Katolik), tentang teosofi, dan lain-lain.

Sebagai reaksi terhadap diselenggarakannya pengajaran-pengajaran tentang agama Kristen, Katolik dan Theosofi, maka para pelajar muslim anggota Jong Java pun mengusulkan agar pengajaran mengenai agama Islam juga dapat diselenggarakan di perhimpunan mereka itu. Menurut para anggota muslim Jong Java yang mengusulkan agar pengajaran mengenai agama Islam juga diselenggarakan di Jong Java, usul itu wajar-wajar saja dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, pada saat itu pendeta-pendeta Katolik dan Protestan juga telah mengadakan kursus-kursus pelajaran agama mereka untuk anggota-anggota peminat di dalam perhimpunan Jong Java. Malah pihak teosofi juga memperoleh kesempatan yang bebas untuk mencari pengikut dari lingkungan Jong Java.

Di antara aktifis Jong Java yang mengusulkan agar para pemuda pelajar mempelajari agama Islam adalah Kasman Singodimedjo, Musa Al Machfoedl, dan Suhodo. Kasman Singodimedjo dan kawan-kawan berpendapat bahwa Islam adalah agama umum rakyat di seluruh Nusantara. Organisasi-organisasi pelajar dan pemuda yang bernama Jong Java, Jong Sumatra dan sebagainya, anggota-anggotanya adalah putra dan putri Nusantara. Maka, Jong Java harus berani memelopori memakai agama Islam sebagai dasar untuk selanjutnya disuguhkan kepada semua organisasi “Jong” yang lain-lain.

Raden Samsuridjal, Hoofdbestuur atau Ketua Umum keenam Jong Java, adalah salah satu tokoh yang mendukung usul Kasman Singodimedjo dan kawan-kawan. Samsuridjal kemudian mengajukan usul tentang pemberian pengajaran agama Islam kepada para anggota Jong Java ini –bersama usul tentang kebolehan anggota yang telah berumur lebih dari 18 tahun untuk ikut berpolitik— dalam Kongres mereka yang ke Keenam.

Kongres Jong Java Keenam diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 27 sampai 31 Desember tahun 1924. Kongres ini cukup istimewa. Sebab, selain dihadiri para anggota, Kongres Keenam Jong Java juga dihadiri beberapa orang pemuka agama. Di antara mereka terdapat seorang pastor Katolik bernama van Rijkevoorstel, seorang pendeta Protestan bernama van Andel, serta seorang pemuka gerakan Theosofi (Theosofische Vereeniging) dan pendiri organisasi Dienaren van Indie (Pemuda Hindia) bernama Ir. P. Fournier. Sedangkan tokoh ulama Islam yang hadir dalam Kongres Jong Java Keenam di Yogyakarta itu adalah Haji Agus Salim. Pada saat itu, Haji Agus Salim telah menjadi salah satu pimpinan Syarekat Islam. Di dalam arena Kongres Jong Java Keenam ini, Haji Agus Salim diberi kesempatan untuk tampil, dan membawakan sebuah pidato berjudul “Islam dan Jong Java.”

Dalam bukunya, Jan Aritonang mengatakan bahwa, dalam perdebatan yang muncul di sekitar perpecahan di kalangan perhimpunan pemuda Jong Java ini, Haji Agus Salim disebut sebagai promotor ceramah tentang Islam maupun penggerak terbentuknya Jong Islamieten Bond. Sedangkan Hendrik Kraemer dituduh memasuki Jong Java dengan tujuan untuk melenyapkan unsur Islam dari dalamnya. Sementara itu, dalam upaya mendekati kalangan muda Islam, termasuk yang bergabung dengan Jong Java, Kraemer lebih memilih mereka yang berlatar belakang dan bercorak Kejawen, dari pada kalangan muda Islam ortodoks. “Bukan perasaan simpati kepada Kejawen, yang membawanya kepada pilihan ini, melainkan didorong oleh sulitnya menundukkan Muslimin yang lebih ortodoks kepada missi,” kata Steenbrink dalam buku Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia.

Namun, usul tentang pemberian pelajaran agama Islam untuk para anggota Jong Java yang dianggap wajar oleh Samsuridjal, Kasman Singodimedjo dan kawan-kawan itu, ternyata dianggap tidak wajar oleh sebagian anggota Jong Java lainnya. Sementara itu, dalam pemungutan suara yang diselenggarakan di arena Kongres Jong Java Keenam ini, kelompok yang setuju tentang pemberian pengajaran agama Islam dan kelompok yang menolak pemberian pelajaran agama Islam di Jong Java sama kuat. Sampai-sampai pemungutan suara harus digelar hingga dua kali, namun hasilnya tetap sama kuat. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka sesuai dengan tata tertib organisasi, persoalan itu kemudian diserahkan kepada keputusan yang akan diambil oleh Sang Ketua Jong Java, Raden Samsuridjal.

Pada saat itu Sang Ketua Umum, Raden Samsuridjal merasa dalam keadaan yang serba salah. Raden Samsuridjal sebenarnya setuju dengan usul tadi, dan bahkan dia pulalah pengusulnya. Sebab, Raden Samsuridjal menganggap usul tentang pemberian kursus agama Islam bagi para anggota Jong Java yang beragama Islam di dalam organisasi Jong Java adalah sebuah usul yang wajar. Namun sebaliknya, sebagai seorang Hoofdbestuur, Ketua Umum Jong Java, Raden Samsuridjal juga tidak mau dituduh sebagai pemecah-belah persatuan di dalam organisasi yang dipimpinnya itu, atau sebagai seseorang yang menimbulkan kericuhan di dalam perhimpunan pemuda-pelajar Jawa itu. Sementara itu, karena usul pemberian kursus agama Islam tidak didukung oleh suara mayoritas, maka dengan kewenangan yang ada pada dirinya sebagai seorang Hoofdbestuur, Raden Samsuridjal pun menjatuhkan keputusan: usul tentang pemberian kursus agama Islam di Jong Java ditolak. Begitu pula usul tentang kebolehan beraktifitas politik bagi para anggota Jong Java yang telah berumur 18 tahun lebih.

Dengan keputusan itu, Jong Java dapat terus melanjutkan langkahnya seperti sediakala. Namun, pada saat itu pula Raden Samsuridjal pun berpidato bahwa Jong Java kini bukan lagi tempat yang sesuai bagi dirinya, dan bagi kawan-kawan yang sefaham dengan dirinya. Samsuridjal berpendapat bahwa sikap mereka yang menentang usul tentang pemberian pelajaran agama Islam di Jong Java itu tidak adil, karena justru mengadakan diskriminasi terhadap agama sebagian besar penduduk dengan membenarkan kursus-kursus Katolik dan Protestan namun menolak kursus pelajaran Islam. Samsuridjal dan kawan-kawannya telah memperlihatkan toleransi kepada agama lain, dengan membiarkan kursus-kursus agama Katolik dan Protestan itu berjalan, namun Samsuridjal dan kawan-kawannya pun berharap sikap toleransi yang sama terhadap Islam. Karena harapan mereka ternyata tidak terwujud, maka Samsuridjal dan kawan-kawan pun tak merasa perlu lagi berada bersama-sama dengan orang-orang yang bersikap demikian dalam satu biduk. Maka, Samsuridjal dan kawan-kawan kemudian pulang meninggalkan Kongres Jong Java yang mereka anggap tidak adil itu.

Menjelang tengah malam, bertepatan dengan malam tahun baru tahun 1925, Raden Samsuridjal dan kawan-kawan bertemu dengan Haji Agus Salim di suatu perempatan jalan di kota Yogyakarta. Pada saat itu mereka sedang dalam perjalanan pulang dari ajang Kongres Jong Java yang sangat mengecewakan hati mereka. Dalam pertemuan itu, Haji Agus Salim, Pemimpin Sarekat Islam yang memang sudah lama sudah menaruh minat pada persoalan generasi muda, kemudian menghibur dan menenteramkan hati para pemuda itu. Haji Agus Salim pun memberikan semangat kepada mereka, agar mereka tidak kecewa maupun patah hati. Maka, pada saat itu pula tercetuslah tekad dari dalam jiwa para pemuda Islam itu untuk mendirikan suatu wadah organisasi sendiri yang sesuai dengan cita-cita mereka, yakni untuk mengenal dan mempelajari Islam, serta untuk mendekatkan diri kepada rakyat biasa yang memang menganut agama Islam.

Pada malam itu juga sudah terbit keinginan yang lebih besar dari pada hanya sekedar pertimbangan praktis mendirikan organisasi sebagai wadah kegiatan bagi para pemuda muslim. Maka, Raden Samsuridjal kemudian pergi ke Jakarta, dan menjelaskan niatnya untuk membentuk Jong Islamieten Bond kepada kawan-kawannya di Jakarta.

Kemauan yang lebih besar tercermin dalam keyakinan mereka terhadap Islam, seperti yang kemudian dirumuskan dalam sebuah sirkuler –surat edaran— yang diedarkan kepada para peminat dan calon peminat yang akan bergabung dan mengikuti organisasi pemuda-pelajar Islam yang baru ini. Sirkuler itu diedarkan pada bulan Januari 1925, segera setelah kesepakatan menjelang tengah malam, di sebuah perempatan jalan di Kota Yogyakarta itu terjalin. Di dalam surat edaran itu dimuat dua macam pertimbangan yang bersangkutan dengan usul Raden Samsuridjal di dalam Kongres Jong Java.

Di luar dugaan ternyata rencana pendirian organisasi ini disambut baik oleh para pemuda-pelajar muslim. Terdapat 200 orang pemuda Islam, baik pelajar MULO, maupun AMS, ataupun tamatan sekolah-sekolah itu yang sudah bekerja, yang siap bergabung. Mereka menyatakan bersedia untuk menjadi anggota Jong Islamieten Bond. Maka dalam waktu relatif singkat, jumlah anggota Jong Islamieten Bond sudah meluas, sehingga pada tanggal 8 Februari 1925 diadakan pertemuan di Jakarta, semacam rapat terbuka. Efek dari pertemuan itu sedemikian besar dan luas, sehingga banyak pelajar MULO dan AMS yang menyatakan diri untuk ikut di dalam organisasi pemuda pelajar Islam ini.

Melihat perkembangan Jong Islamieten Bond sedemikian pesat, maka timbul kekhawatiran dari sementara organisasi-organisasi kedaerahan, maupun pers Belanda yang tergabung dalam INHEEMSE Pers. Tuduhan yang dilontarkan pers Belanda kepada Jong Islamieten Bond adalah bahwa Jong Islamieten Bond merupakan organisasi politik yang ingin memperjuangkan kemerdekaan nasional. Dari tuduhan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kata kemerdekaan nasional masih dihindari, karena pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam mengawasi organisasi pemuda yang mempunyai arah dan tujuan kemerdekaan nasional.

Hanya seminggu setelah pertemuan di Jakarta, maka pada tanggal 15 Februari 1925 di Yogyakarta diadakan rapat terbuka, dan pada saat yang bersamaan juga berdiri Jong Islamieten Bond cabang Solo dan Madiun. Sampai saat itu Jong Islamieten Bond telah mempunyai empat buah cabang di empat kota, yakni di Yogyakarta, Jakarta, Solo dan Madiun. Maka kemudian dipandang perlu untuk mendirikan pusat pengurus dengan maksud untuk lebih mengefektifkan perkembangan organisasi yang berkedudukan sementara di Jakarta. Melalui perembukan keempat cabang itu, maka dibentuklah susunan pengurus pusat Jong Islamieten Bond dengan Ketua Raden Samsuridjal, didampingi Wiwoho Purbohadidjojo sebagai Wakil Ketua, dua sekretaris dan dua bendahara, serta sembilan orang komisaris.

Setelah kepengurusan pusat Jong Islamieten Bond terbentuk, maka diadakan kampanye perluasan organisasi dengan jalan menugaskan beberapa orang pengurus untuk memperluas pengaruh, mendirikan cabang-cabang Jong Islamieten Bond dan memberikan ceramah pada cabang-cabang yang baru berdiri. Utusan-utusan itu terdiri dari Syahbudin Latif (Sekretaris I) ke Yogyakarta dan Madiun, Mohammad Koesban (Komisaris) ke Solo, Kasman Singodimedjo (Komisaris) ke Purworejo dan Kutoarjo, sementara Raden Samsuridjal bersama penasehat Jong Islamieten Bond Haji Agus Salim berangkat ke Bandung untuk membentuk cabang Jong Islamieten Bond di sana. Kampanye dan perluasan organisasi Jong Islamieten Bond berlangsung sampai bulan Juni 1925. Sedangkan cabang Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November tahun itu, juga atas inisiatif pelajar-pelajar setempat yang selama ini telah melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan Jong Islamieten Bond. Maka, menjelang bulan Desember 1925, cabang-cabang Jong Islamieten Bond telah berjumlah tujuh buah, dengan anggota sebanyak 1.004 orang.

Menurut catatan Kasman Singodimedjo di dalam buku biografinya yang berjudul Hidup Itu Berjuang, tertulis bahwa Jong Islamieten Bond dibentuk dengan tujuan: Untuk meningkatkan perkembangan jasmaniah dan rohaniah para anggota dengan cara pendidikan dan aktivitas diri sendiri; Menanam dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan antara golongan-golongan intelektuil yang terdiri dari berbagai-bagai suku-bangsa; Menumbuhkan dan meningkatkan pendekatan antara golongan intelektuil dengan rakyat; Mempelajari Islam; Menumbuhkan dan mengembangkan simpati terhadap Islam dan penganutnya, di samping toleransi positif terhadap pihak-pihak yang berkeyakinan lain.

Sementara, dalam Statuten Jong Islamieten Bond, azas dan tujuan organisasi pemuda pelajar itu adalah:

Berstudering van de Islam en bevordering van de nalaving van zijn voorschrijften (mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya diamalkan)

Het opwekken van sympathie voor de Islam en zijn beleiders, naast positie van draagzaamheid voor andersdenkenden (menumbuhkan simpati umat Islam dan pengikutnya, di samping toleransi yang positif terhadap orang-orang yang berlainan agamanya).

Dari rumusan tujuan yang disahkan dalam Kongres Jong Islamieten Bond Pertama di Yogyakarta menjelang akhir tahun 1925 ini, tampak jelas bahwa Jong Islamieten Bond mewajibkan para anggotanya untuk mempelajari dan mematuhi ajaran-ajaran Islam. Pernyataan ini bukan lagi sekadar bersifat apologi –artinya bersifat membela Islam dalam kedudukannya yang dianggap telah digerogoti— melainkan juga sudah menjadi keyakinan, bahwa hanya dengan Islamlah masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan itu terbentuk. Sementara itu, untuk membentuk masyarakat seperti yang mereka cita-citakan, hanya dapat dilakukan dengan membentuk diri sendiri terlebih dahulu, dengan mempraktekkan ajaran-ajaran Islam. Tampaknya contoh perkembangan Islam di zaman Nabi hendak mereka tiru, dan disiplin diri lebih mereka utamakan. Pada saat itu, Jong Islamieten Bond tampaknya juga sudah berazam hendak menjadi pejuang Islam yang ampuh. Dalam Kongres Pertama di Yogyakarta ini, sudah tampak jelas pula bahwa para aktifis Jong Islamieten Bond telah menyadari bahwa Islam harus menjadi dasar hubungan bagi sesama kaum terpelajar serta sesama bangsa pada umumnya. Hal ini hanya dapat diartikan sebagai sebuah keyakinan bahwa dasar Islamlah yang harus dipakai dalam pergaulan masyarakat pada umumnya.

Hal itu tampak jelas dalam pidato Raden Samsuridjal dalam Kongres Pertama Jong Islamieten Bond. Saat itu ia berkata:

“Allah Subhanahuwata’ala mewajibkan kami tidak hanya berjuang untuk bangsa dan negara kita, tetapi juga untuk ummat Islam di seluruh dunia. Hanya, hendaknya di samping aliran-aliran Islam, kita selalu memberi tempat kepada aliran-aliran Nasionalis. Selain kewajiban yang utama ini, kami wajib berjuang untuk ummat Islam seluruhnya, sebab kami orang Islam adalah hamba Allah SWT. Dan kami mengabdi hanya kepadanya, Yang Maha Kuasa, Maha Arif, Maha Tahu, Raja Alam Semesta. Inilah prinsip Islam yang menjiwai Jong Islamieten Bond.”

Sikap Jong Islamieten Bond tentang Nasionalisme atau kebangsaan, tergambar pula dalam pidato Samsuridjal selanjutnya:

“…Kita pemuda intelek Islam berpandangan lebih luas terhadap kebangsaan di mana kita berasal dari daerah di mana bangsa ini berdiam. Tugas yang Allah Subhanahuwata’ala berikan kepada kita bukan hanya berjuang untuk tanah air dan bangsa, di mana kita berasal, tetapi untuk semua dunia Islam. Sudah barang tentu perhatian utama kita adalah tanah air kita sendiri, di mana Islam menjadi agama kebanyakan penduduk. Tetapi di samping tugas yang tertinggi itu, kita masih punya tugas lain, yaitu berjuang untuk ummat Islam di seluruh dunia. Itulah yang menjadi jiwa organisasi kita, antara Islam dan Kebangsaan atau cinta tanah air harus berjalan bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Harapan kita adalah Jong Islamieten Bond menjadi wadah organisasi yang mampu menjadi wadah persatuan pemuda Nusantara, karena dasarnya memberi kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan dasar organisasi kedaerahan lainnya…”

Dalam suasana penjajahan Hindia-Belanda, maka sejak awal dikatakan bahwa secara organisatoris Jong Islamieten Bond tidak ikut campur dalam aksi-aksi politik. Keterlibatan Jong Islamieten Bond dalam politik praktis hanya secara individu. Para anggota Jong Islamieten Bond dilarang terjun ke gelanggang politik atas nama Jong Islamieten Bond. Hal ini ditegaskan Raden Samsuridjal dalam pidato pertamanya, bahwa:

“….Pada kursus-kursus dan malam debat (diskusi) akan diusahakan sedapat mungkin peninjauan politik, khususnya dari segi Islam. Tapi dalam pergolakan politik, JIB tidak ikut campur. Apalagi anggotanya dilarang terjun ke politik atas nama JIB. Walaupun demikian bagi anggota JIB yang berminat terjun di bidang politik secara perseorangan tidak dilarang…”

Program kegiatan Jong Islamietan Bond kemudian menggambarkan pergeseran tekanan perhatian mereka, dibandingkan dengan organisasi pemuda pelajar pada umumnya. Pada mulanya, kegiatan Jong Islamieten Bond adalah kegiatan-kegiatan yang biasa dijumpai di organisasi-organisasi pemuda, seperti penerbitan majalah, mengusahakan perpustakaan, kursus-kursus dan ceramah, ekskursi, olah raga dan sebagainya. Namun kemudian, dalam Kongres pertama Jong Islamieten Bond di Yogyakarta pada bulan Desember 1925, sudah disebutkan bahwa kegiatan-kegiatan organisasi Jong Islamieten Bond diletakkan tekanannya pada studi Islam sebagai langkah utama untuk mentaati peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran Islam.

Anggota-anggota biasa Jong Islamieten Bond pada umumnya terdiri dari para pemuda putra dan putri beragama Islam yang sudah berumur 14 tahun, dan belum mencapai umur 30 tahun. Selain itu ada juga anggota-anggota luar biasa dan penyumbang, yang terdiri dari siapa saja yang bersimpati terhadap perkumpulan pemuda-pelajar Islam itu. Umumnya anggota-anggota Jong Islamieten Bond terdiri dari para pelajar yang duduk di bangku sekolah menengah (MULO dan AMS) atau sekolah guru (Hollands Inlandsche Kweekschool atau HIK), atau sekolah-sekolah yang sederajad seperti pelajar STOVIA tingkat menengah, sebelum mereka masuk ke bagian kedokteran. Namun, ada juga anggota Jong Islamieten Bond yang sudah berada di tingkat kedokteran.

Dalam catatan Deliar Noer, tidak ada seorang pun dari kalangan pesantren atau madrasah yang bergabung menjadi anggota Jong Islamieten Bond. Pesantren dan madrasah yang dimaksud di sini adalah lembaga pendidikan yang lebih menekankan pada sifat-sifat pelajaran tradisional, baik dalam cara maupun dalam isi pelajaran. Nama organisasi Jong Islamieten Bond sendiri ditulis dalam bahasa Belanda, tanpa ada nama Indonesia, dan ini pun mencerminkan sifat keanggotaan organisasi ini. Selebaran dan majalah yang dikeluarkan organisasi ini pun lebih banyak memuat tulisan dalam bahasa Belanda, terutama hingga permulaan tahun tiga puluhan.

Keanggotaan Jong Islamieten Bond berasal dari kalangan para pelajar. Karena itu, maka cabang-cabang Jong Islamieten Bond hanya dijumpai di kota-kota, umumnya di kota-kota propinsi dan paling jauh pada kota karesidenan. Sebab, sekolah-sekolah umumnya hanya bisa dijumpai di kota-kota besar. Selain kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya, cabang-cabang Jong Islamieten Bond juga terdapat di Sumatera, mulai dari Kota Raja Aceh, Medan, Padang, Bukittinggi, hingga Palembang. Di Sulawesi terdapat pula cabang Jong Islamieten Bond di kota Makassar, Gorontalo, dan Manado. Begitu pula di Ambon, Maluku. Kota-kota lain di Pulau Jawa yang terdapat cabang-cabang awal organisasi Jong Islamieten Bond adalah Madiun, Solo, Semarang, Magelang, dan Purworejo.

Para pemuda-pelajar muslim yang terus bersekolah banyak yang tetap aktif di Jong Islamieten Bond. Maka bertambah lama para pemuda-pelajar muslim ini pun menjadi tambah berumur pula. Sehingga, pada tahun tiga puluhan, banyak di antara anggota Jong Islamieten Bond yang sudah menjadi mahasiswa. Sementara itu, jumlah anggota dan struktur organisasi Jong Islamieten Bond pun terus berkembang pula. Sebab, berdasarkan ketentuan organisasi itu, di mana terdapat sekurang-kurangnya enam orang anggota, dapat didirikan suatu cabang Jong Islamieten Bond.

Menurut catatan Deliar Noer, pada paruh pertama tahun 1930-an, jumlah anggota Jong Islamietan Bond telah mencapai 4.000 orang. Sebagian dari mereka juga aktif di dalam organisasi sosial maupun politik seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Islam dan sebagainya. Namun, sebagian cabang Jong Islamieten Bond kemudian bubar begitu saja, ataupun tidak terdengar lagi kegiatannya setelah setahun dua tahun berdiri. Penyebabnya antara lain karena kurangnya penerusan pembinaan bagi mereka yang kemudian masuk sekolah menengah, dan kurangnya kesadaran mereka yang lebih tua untuk memberikan tongkat estafet kegiatan kepemimpinan kepada mereka yang muda, sehingga kepemimpinan mereka pegang terus. Sebagian lagi disebabkan oleh karena semakin bertambahnya kegiatan kalangan kepemudaan dalam organisasi sosial dan politik, sehingga yang kemudian masuk sekolah menengah segera memperoleh penampungan di tempat lain.

Jong Islamieten Bond berdasarkan agama Islam. Karena itu, dalam pergerakan dan pergaulan sehari-hari, mereka memahami tentang adanya batas-batas tertentu antara anggota-anggota pria dan anggota-anggota wanita. Sebagaimana telah disebutkan pula di dalam pidato Raden Samsuridjal pada saat Kongres Pertama Jong Islamieten Bond, bahwa Jong Islamieten Bond juga akan mengembangkan organisasi putri, maka pada tahun 1925 dibentuklah Jong Islamieten Bond bagian wanita, dengan nama Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling.

Anggota Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA) yang paling aktif dan tersohor adalah Siti Soekaptinah. Semula, sejak tahun 1922, Siti Soekaptinah adalah anggota Jong Java. Kemudian, Siti Soekaptinah bergabung dengan Jong Islamieten Bond sejak organisasi pemuda-pelajar Islam ini didirikan oleh Raden Samsuridjal dan kawan-kawan di awal tahun 1925. Beberapa belas tahun kemudian, di masa pendudukan balatentara Jepang, Siti Soekaptinah diangkat menjadi anggota Pusat Tenaga Rakyat bagian wanita. Menjelang Indonesia merdeka, Siti Soekaptinah pun dipercaya menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah Indonesia merdeka, Siti Soekaptinah aktif di dalam Partai Masyumi. Setelah menikah dengan Ketua Kelima Jong Islamieten Bond, Sunaryo Mangunpuspito, Siti Soekaptinah kemudian lebih dikenal dengan nama Nyonya Sunaryo Mangunpuspito.

Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, bertujuan untuk melatih para anggotanya untuk menjadi wanita Islam sejati, serta untuk membela dan melindungi hak-hak wanita sesuai dengan ajaran Islam. Motivasi pendirian Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling adalah bahwa Islam menempatkan kedudukan yang tinggi dan terhormat bagi wanita. Wanita adalah “sama dalam kedudukan dan dalam hukum dengan laki-laki, sebagai rekan atau partner, yang dalam ikatan perkawinannya secara bebas terpisah mempunyai haknya sepenuhnya.”

Pandangan tentang wanita ini sangat ditekankan oleh Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling karena mengingat kondisi kaum wanita pada saat itu – di tahun dua puluhan— sangat direndahkan. Aktifitas Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling kemudian dititikberatkan pada yang terakhir ini, melalui usaha-usaha penyadaran dengan jalan kursus dan tabligh. Sasaran utama mereka adalah upaya pencegahan pernikahan dini pada gadis-gadis remaja di bawah usia 14 tahun. Kemudian, kursus-kursus kewanitaan juga diadakan oleh Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling termasuk kursus jahit-menjahit, dan kegiatan rumah tangga yang lain. Pada tahun 1932, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling mulai memperhatikan kondisi wanita dan anak-anak pekerja dalam masyarakat dengan berseru antara lain untuk memperhatikan nasib mereka. Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling juga menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penerangan ke desa-desa –terutama di sekitar Jakarta— tentang pentingnya kesehatan dan kebersihan.

Penulis, Hanibal W.Y Wijayanta

*Wartawan Senior