Oleh : Adhytiawan Suharto
(Wartamuslimin.com) — Awal abad 20 merupakan fase peralihan bangsa Hindia Belanda menuju era baru yang modern. Baik secara teknologi, kebijakan politik di negeri Belanda, sampai pada kebangkitan berpikir kaum bumiputera untuk berhimpun dalam organisasi. Di Hindia Belanda sendiri gerakan massif mulai muncul ketika berdirinya Sarekat Islam. Nama organisasi SI sendiri memang tidak begitu terlihat berbeda dengan SDI yang didirikan R.M Tirtoadisoerjo, namun demikian SI pada awal munculnya di Solo memiliki gerakan yang lebih besar dan luas. SI bergerak sangat massif lebih dari bayangan siapapun saat itu, sebut saja Residen Surakarta Van Wijk yang begitu merasa kewalahan menangani banyaknya muslim Jawa di Solo untuk bergabung dengan SI pimpinan Haji Samanhudi.[ “Haroes Pemerintah Berlakoe Sedikit Sjabar”, Darmo Kondo, 17 Agustus 1912.]
Sebelum adanya SI Solo kegiatan modernisasi ini memang sudah dilakukan beberapa kelompok, misalnya Budi Utomo cabang Solo sudah mampu mendirikan surat kabar Darmo Kondo yang bisa menerbitkan oplahnya setiap hari. Budi Utomo cabang Solo mampu membangun soliditas antara golongan muslim dengan kelompok priyayi elite. Bahkan kantor surat kabar Darmo Kondo bertempat di rumah Haji Hizamzaijne seorang ulama dan saudagar yang cukup sukses. Juga Haji Bakrie menjabat administrator surat kabar milik Budi Utomo tersebut.[ “ Bestuur Boedi Oetoemo” , Darmo Kondo , 6 Maret 1912] Selain itu beberapa kelompok saudagar kaya dari laweyan juga sudah mengisi pos kepengurusan di Budi Utomo cabang Solo sebut saja Haji Samanhudi dan Haji Bakrie yang kemudian kita tahu mereka mendirikan SI Solo.
Namun demikian apa yang membedakan antara budi utomo dengan SI Solo ?. dilihat dari reaksi pemerintah residen surakarta pun akan sangat mudah terlihat. Misalnya Pada tanggal 10 Agustus 1912, Resident Van Wijk, Assistent Resident Hartevelt, bersama para komisaris polisi, Bupati Polisi, penewu dan Camat Laweyan melakukan penggeledahan ke rumah Presiden SI Haji Samanhudi dan Sekretaris SI Raden Ngabehi Djojomargoso. Hasilnya tidak ada yang mencurigakan, hanya ditemukan beberapa helai kertas dan surat undangan rapat. Resident bersama jajarannya kemudian juga menggeledah kantor surat kabar Sarotomo di Purwosari. Di sana Resident juga tidak menemukan benda mencurigakan, hanya ditemukan rekening alat tulis dan daftar pelanggan. Pemerintah menyimpulkan bahwa SI merupakan perkumpulan yang tidak mempunyai maksud seperti yang telah ditudingkan oleh Kaum Cina dalam surat kabar Taman Pewarta, yakni melawan pemerintah. [ Assistent Resident (Hartevelt) kepada Resident Surakarta ( Van Wijk), 22 Agustus 1912, dalam Sartono kartodirjo., Sarekat Islam Lokal No.7., hlm. 332- 334.]
Asisten Resident Hartevelt juga tidak begitu peduli dengan munculnya beberapa kasus perkelahian yang melibatkan anggota SI dengan kaum Tionghoa di beberapa distrik di Solo.[ “Pertambahan”, Bromartani, 18 September 1912.] Langkah SI menjadi sebuah organisasi yang utuh memang sangat sulit, selain dengan pemerintah, kelompok yang tidak menyukai eksistensi SI saat itu cukup banyak diantaranya adalah kelompok Tionghoa serta beberapa tokohnya seperti Sie Dhian Ho, Be Siiau Tjong dan Bwe Kwat Koen yang kemudian mendirikan perkumpulan orang-orang Tionghoa yang bernama Be Tjiong Hwee.[ “ Kebidjaksanaan Majoor T.H Di Soerakarta”, Darmo Kondo, 18 Maret 1912] Perkelahian cukup sering terjadi diantara kedua belah pihak, akan tetapi Asisten Resident tidak pernah mengurusnya dengan baik.
Bahkan SI Solo pun cukup kesulitan mengurus status hukum, perlu diketahui bahwa sebelum menjadi SI, perkumpulan ini bernama Rekso Roemekso sebuah perkumpulan ronda warga laweyan. Namun karena dipermasalahkan legalitasnya oleh pemerintah, Haji Samanhudi meminta pegawai kepatihan Raden Marthodarsono mantan jurnalis dan Raden Djojomargoso untuk membuat status hukum. Raden marthodarsono merupakan mantan jurnalis Medan Prijaji dan setelah kembali ke Solo mendirikan surat kabar Djawi Hisworo. Saat itulah R Marthodarsono mengadopsi status hukum dari SDI dan hanya mengubah sedikit nama menjadi Sarekat Islam. [ “R. Marthodarsono”, Darmo Kondo, 21 Februari 1912. Tentang R. Marthodarsono lihat Adviseur voor inlandse zaken (D.A Rinkes) aan Gouverneur-Generaal ( Idenburg), 7 Juni 1915, dalam S.L Van Der Wal., De opkomst Van De Nationalistische Beweging Groningen: JB Wolters, 1967., hlm.378-379]
Terbentuknya SI Solo ini merupakan titik kebangkitan yang cukup unik, dalam beberapa bulan saja dari bulan April – Juli 1912 menurut redaktur Djawi kando jumlah anggotanya sudah mencapai 80.000 orang.[ “Soerakarta : Sarikat Islam”, Djawi Kando, 30 Juli 1912.] Oleh karena itu eksistensinya tidak bisa dilihat sembarangan, sehingga tidak heran upaya untuk membubarkan SI Solo pun cukup banyak. Diantaranya adalah fitnah yang dituliskan oleh redaktur surat kabar Taman Pewarta bahwa SI Solo didirikan untuk merubuhkan Keraton Solo dan membuat huru-hara. [ “Soerakarta: Sjarikat Islam”, Darmo Kondo , 23 September 1912.]
Dilihat dari proses berdirinya SI Solo sudah cukup sulit, seandainya tidak datang bantuan dari Tjokroaminoto, Hasan Ali Soerati dan Mr. Dommering bisa saja eksistensi SI tidak tersebar ke berbagai daerah atau mungkin bubar. Ada banyak bukti-bukti yang mengancam terhadap eksistensi SI Solo, baik itu perkelahian tionghoa dengan anggota SI, ancaman pemecatan para buruh di Krapyak, penggeledahan kantor surat kabar Sarotomo milik SI Solo, dll.
Namun demikian perlawanan kepada SI tidak muncul dari sesama kalangan bumiputera, bahkan sesama mereka saling tolong-menolong. Sebut saja Budi Utomo dengan para redaktur Darmo Kondo, mereka mensupport penuh pendirian surat kabar Sarotomo milik Haji Samanhudi.[ “Saroetomo”, Darmo Kondo , 10 Juni 1912.] bahkan beberapa pegawai kepatihan Solo membantu kegiatan SI seperti Raden Ngabehi Hasmoetani, Raden Sosrokoernio dll. hal ini terus berlanjut sampai beberapa tahun kedepan, sehingga kalau kita lihat narasi yang tertuang dalam Sarotomo maupun Darmo Kondo tahun tujuan mereka adalah memajukan kaum bumiputera.
Dari proses singkat ini yang terjadi pada tahun 1912 di Solo bahwa perjuangan kebangkitan nasional muncul dari medium yang cukup sulit penuh rintangan. SI muncul ke permukaan dan dianggap sebagai gerakan liar oleh pemerintah, akan tetapi SI mampu menjadi besar, karena mereka mampu merangkul persatuan golongan Bumiputera. Sampai pada tahun 1913 eksistensi SI sudah sulit dibendung, mereka tersebar di Jawa Timur oleh Tjokroaminoto dan Hasan Ali Soerati. Sedangkan di Jawa Barat dan tanah Betawi Oleh Raden Goenawan dan Abdoel Moeis.
*Adhtyiawan Suharto, penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana S2 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Ia juga merupakan peneliti Studi Wawasan Islam bidang Sejarah dan Pergerakan
Editor: Tori Nuariza
Catatan:
1. “Haroes Pemerintah Berlakoe Sedikit Sjabar”, Darmo Kondo, 17 Agustus 1912.
2. “ Bestuur Boedi Oetoemo” , Darmo Kondo , 6 Maret 1912
3. Assistent Resident (Hartevelt) kepada Resident Surakarta ( Van Wijk), 22 Agustus 1912, dalam Sartono kartodirjo., Sarekat Islam Lokal No.7., hlm. 332- 334.
4. “Pertambahan”, Bromartani, 18 September 1912.
5. “ Kebidjaksanaan Majoor T.H Di Soerakarta”, Darmo Kondo, 18 Maret 1912
6. “R. Marthodarsono”, Darmo Kondo, 21 Februari 1912. Tentang R. Marthodarsono lihat Adviseur voor inlandse zaken (D.A Rinkes) aan Gouverneur-Generaal (Idenburg), 7 Juni 1915, dalam S.L Van Der Wal., De opkomst Van De Nationalistische Beweging Groningen: JB Wolters, 1967., hlm.378-379
7. “Soerakarta : Sarikat Islam”, Djawi Kando, 30 Juli 1912.
8. “Soerakarta: Sjarikat Islam”, Darmo Kondo , 23 September 1912.
9. “Saroetomo”, Darmo Kondo , 10 Juni 1912.