Oleh: Alwi Alatas
(Wartamuslimin.com) — Ada yang mengatakan bahwa dahulu VOC, perusahaan dagang Belanda, datang ke Nusantara bukan untuk menjajah, melainkan untuk berniaga di kawasan ini. Namun, saat lembaga ini melihat bahwa negeri-negeri di Nusantara dapat dijajah, maka sedikit demi sedikit kawasan ini pun dikuasai oleh VOC.
Pernyataan ini tentu saja cenderung menyederhanakan proses sejarah yang kompleks. Namun, ada juga kebenaran di dalamnya, yaitu pada awalnya, setidaknya sampai penghujung abad ke-18, Jawa dan beberapa kawasan di Nusantara dijajah bukan oleh Pemerintah Belanda, melainkan oleh perusahaan dagang bernama VOC, yang dalam lisan lokal disebut kompeni (//compagnie/company///perusahaan).
Cara menjajahnya pun pada awalnya lebih bersifat tidak langsung (//indirect//). Hanya pada masa-masa yang lebih belakangan, terutama setelah VOC bangkrut dan posisinya digantikan oleh Kerajaan Belanda, penetrasi administrasi kolonial menjadi semakin merembes ke bawah dan bersentuhan dengan masyarakat pribumi dan secara gradual mereduksi kedudukan pejabat pribumi menjadi karyawan yang menerima gaji (Howard Dick, “State, nation-state and national economy”, dalam Howard Dick dkk, (eds), //The Emergence of a National Economy//, Honolulu: Allen and Unwin & University of Hawai’i Press, 2002, 15-16).
Apa pun cara yang digunakan serta kebijakan yang diperkenalkan, tujuan kolonialisme pada hakikatnya sama saja: eksploitasi ekonomi atas negeri terjajah. Lewat Tanam Paksa maupun kebijakan lainnya, jutaan guilder mengalir ke negeri Belanda sehingga dikatakan bahwa “Indonesia adalah gabus tempat negeri Belanda terapung” (Margono, 1971, //Ikhtisar Sejarah Pergerakan Nasional 1908-1945//, Jakarta: Pusat Sedjarah Departemen Pertahanan Keamanan, hlm 2).
Antara tahun 1830 dan 1899 saja, menurut Van Deventer, salah satu pengasas Politik Etis, sejumlah 832 juta guilder mengalir dari Hindia ke negeri Belanda (ES de Klerck, 1975, //History of the Netherlands East Indies//, Vol 2, Amsterdam: BM Israel NV, hlm 403), itu tentunya belum termasuk keuntungan yang telah dikeruk VOC sebelumnya. Semua itu nyaris tak menyisakan apa-apa bagi penduduk pribumi selain kemiskinan dan penderitaan.
Penjajahan selamanya tak pernah menguntungkan bangsa terjajah dan bangsa yang dijajah tak pernah setara dengan bangsa penjajah. “We are the rulers, they are the ruled,” ucap JC Baud, salah satu arsitek kolonial Hindia Belanda, dalam suatu kesempatan (C Fasseur, 1994, “Cornerstone and stumbling block: Racial classification and the late colonial state in Indonesia” dalam Robert Cribb (ed), //The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942//, Leiden: KITLV Press, hlm 33).
Masalahnya, mengapa Indonesia, khususnya pulau Jawa, boleh demikian lama dijajah oleh bangsa Belanda? Apakah betul, seperti pernyataan di awal artikel ini, bahwa hal itu terjadi tidak lain karena peluang yang dibuka oleh penguasa dan masyarakat lokal itu sendiri?
Jika kita merujuk pada pemikiran Malik Bennabi (w 1973), pandangan di atas sedikit banyak akan menemukan pembenaran. Bennabi berpandangan bahwa penjajahan tak lain adalah produk dari //colonizability// atau keadaan bisa dijajah. Ini adalah suatu keadaan internal yang lemah dan rentan terhadap kolonialisme di tengah masyarakat (Muslim) yang menjadi penyebab dan pengundang hadirnya kolonialisme (Malik Bennabi, //On the Origins of Human Society//, London: The Open Press, 1998, hlm 32).
Lantas, apa gejala yang menandai //colonizability//? Bennabi menyebutkan setidaknya dua hal. Pertama, adanya penyakit cinta dunia, seperti yang disebutkan dalam satu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang umat Islam di akhir zaman yang dikerumuni oleh lawan-lawannya bak hidangan di atas meja makan. Kedua, tercabiknya hubungan-hubungan sosial (//ibid//, hlm 30).
Cinta dunia tentu saja tidak ditentukan oleh kepemilikan atas kekayaan duniawi, melainkan oleh suatu kondisi jiwa yang mengutamakan kekayaan duniawi yang dapat menjerumuskan seseorang pada hal-hal yang dilarang atau dipandang buruk oleh agama. Jika sudah begitu, tentu akan terjadi kompetisi yang tidak sehat serta tujuan menghalalkan cara, yang dengan sendirinya akan menyebabkan rusaknya hubungan sosial.
Keadaan ini pada tingkat tertentu berlaku juga dalam konteks penjajahan Belanda di Indonesia. Proses penjajahan VOC di Jawa, misalnya, menunjukkan bahwa perusahaan dagang ini hampir tidak pernah bertindak sendiri tanpa melibatkan konflik di antara penguasa lokal. Dalam beberapa kasus, VOC justru “terpaksa hadir” membantu salah satu pihak dalam konflik istana. Sayangnya, pihak yang merapat ke VOC hampir selalu menang, tetapi hanya untuk mendapati kekuasaan mereka secara gradual tergerus oleh pengaruh VOC yang semakin kuat dan semakin mencekik leher.
Ini yang terjadi, misalnya, dalam konflik antara Sultan Haji melawan ayahnya sendiri, Sultan Ageng, di Banten. Begitu pula dalam perang di Jawa yang melibatkan Amangkurat I, Amangkurat II, dan Trunajaya yang membuat Kerajaan Mataram terpaksa memberikan konsesi kepada VOC dengan menyerahkan sebagian hasil pendapatannya serta sebagian wilayah kekuasaannya. Dalam kasus Mataram, ini berlangsung juga dalam beberapa kejadian setelah itu, yang menjadikan kekuasaan kesultanan ini dari waktu ke waktu semakin tereduksi secara signifikan (Colin Brown, 2003, //A Short History of Indonesia//, Crows Nest: Allen & Unwin, 58-60).
Tidak terlalu mudah untuk menunjuk pada hadirnya sifat cinta dunia dalam kasus-kasus di atas. Namun, tentu saja perebutan kekuasaan selalu berkenaan dengan hasrat duniawi, dan kenyataan bahwa salah satu pihak rela bekerja sama dengan pihak asing yang berbeda agama dalam menghadapi sanak famili atau lawan politiknya yang masih serumpun seagama sedikit banyak memperlihatkan bagaimana dorongan-dorongan duniawi yang kuat memainkan peranan yang penting.
Konflik dan peperangan yang terjadi dengan sendirinya menggambarkan perpecahan sosial yang serius, setidaknya di lingkungan istana. Permintaan atau persetujuan akan campur tangan VOC dalam konflik internal merupakan satu bentuk undangan bagi hadirnya kolonialisme, walaupun mungkin ini sama sekali tidak menjadi maksud dari pihak yang mengundang. Maksud asalnya hanyalah keuntungan-keuntungan pribadi, tetapi akhirnya membawa dampak kerugian serta kehinaan jangka panjang bagi bangsa yang dipimpinnya.
Tentu tidak tepat jika dikatakan sifat-sifat yang menggambarkan //colonizability// tadi terdapat pada seluruh komponen masyarakat Nusantara. Selalu ada pihak yang menentang dan berusaha menghapuskan penjajahan. Dalam hal ini, Islam memainkan peranan yang sangat penting. Bahkan, pihak-pihak yang sejak awal atau yang kemudian berhadapan dengan kekuatan kolonial sering kali berasal dari kalangan yang memiliki keberpihakan yang lebih menonjol terhadap agamanya serta lebih didukung oleh kelompok santri, setidaknya dibandingkan dengan pihak //pro// kolonial yang berlawanan dengan mereka.
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten kurang lebih mewakili gambaran ini, begitu pula dengan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa di abad ke-19. Realitas sejarah memang berulang kali memaksa kaum santri untuk menerima kekalahan, tetapi mereka tak pernah pupus. Mereka terus bertahan dan memberi kontribusi yang tidak kecil hingga ke era pasca-kemerdekaan.
Kini Indonesia sudah merdeka, sudah 74 tahun. Usia yang tidak bisa dibilang muda lagi. Indonesia memang sudah merdeka dari penjajahan fisik. Namun, apakah negeri ini sudah benar-benar terbebas dari penjajahan tidak langsung (//indirect//), dan apakah penduduknya sudah benar-benar terbebas dari “keadaan bisa dijajah”? Ini mungkin merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan. Namun, pandangan mereka yang menganggap bangsa ini belum betul-betul merdeka rasanya perlu mendapat perhatian. Setidaknya untuk memastikan agar Indonesia menjadi bangsa yang sepenuhnya merdeka dan kuat, bukan yang hanya tampak merdeka tetapi sebetulnya tidak.
Indonesia merupakan negeri yang kaya akan hasil alam, tetapi tampaknya belum sepenuhnya merdeka dalam mengelola kekayaan negeri, dalam arti terbebas dari praktik eksploitatif yang tidak memberi keuntungan dan pemerataan bagi warganya. Produk-produk lokal yang semestinya diutamakan sering kali harus dikalahkan oleh impor yang tidak wajar. Ini hanya sedikit contoh saja. Sedihnya, perantara penting bagi berlakunya hal-hal di atas adalah persoalan yang bersifat klasik: korupsi (lihat misalnya //www.thejakartapost.com/academia/2016/04/27/how-kpk-conserves-natural-resources.html// dan //www.gatra.com/detail/news/436388/politic/kpk-impor-komoditas-pangan-lahan-basah-korupsi//).
Korupsi dengan sendirinya mewakili sifat cinta dunia, yaitu hasrat yang kuat untuk meraih keuntungan duniawi hingga sanggup melanggar batas-batas agama dan konstitusi. Lembaga untuk memberantas korupsi sudah eksis cukup lama, dan pejabat yang ditangkap juga tidak sedikit, tetapi angka dan praktik korupsi tampaknya tidak kunjung berkurang secara signifikan. Pada tahun 2018, Corruption Perception Index (CPI) Indonesia masih berada di angka 38—dengan rentang 0 (paling korup) hingga 100 (paling bersih)—serta peringkat ke-89 dari 180 negara yang disurvei, hanya membaik sedikit dari tahun sebelumnya (//en.tempo.co/read/1170358/indonesia-corruption-perceptions-index-raises-to-38-points//). Jangan-jangan korupsi tidak pernah benar-benar ingin dihapuskan. Mungkin hanya sekadar dialihkan saja isunya, melalui represi atau pembiaran atas pertikaian-pertikaian sosial yang berlaku di tengah masyarakat.
Di sisi lain penjajahan juga bisa, dan mungkin secara lebih berbahaya, masuk ke wilayah ide dan pemikiran. Ide-ide asing tidak sedikit merasuk ke benak pikiran anak-anak bangsa, seperti liberalisme, pluralisme, feminisme. Semua itu bukanlah ide-ide Nusantara, dan asal-usulnya jelas dari rumpun peradaban yang sama yang dahulu pernah menjajah kawasan ini secara fisik selama puluhan hingga ratusan tahun.
Seiring dengan itu, tampaknya tidak terlalu mengherankan jika yang kemudian menjadi sasaran utama pemarginalan lagi-lagi Islam, hanya saja kini ditambahi embel-embel Arab. Oleh sebagian kalangan, “Islam Arab” dibenturkan dengan kenusantaraan dan dimusuhi sebagai ide asing yang bersifat menjajah, tetapi isme-isme yang berasal dari Barat, yang masih menjadi penikmat utama kue ekonomi Indonesia, dirangkul sebagai gagasan-gagasan yang membebaskan. Gejala-gejala yang mewakili ‘keadaan bisa dijajah’ rasanya dapat dijumpai juga dalam fenomena yang terakhir ini. Berkenaan dengan ini, ada baiknya kita memperhatikan baik-baik apa yang pernah ditulis oleh Mokhtar Lubis (1990, Indonesia: //Land under the Rainbow//, Oxford: Oxford University Press, hlm 162) tentang kaum humanis Belanda, tetapi kita sekarang menunjukkannya secara umum kepada peradaban Barat, bahwa mereka tidak pernah benar-benar menginginkan Indonesia yang merdeka. Mereka menyanyikan kidung kesetaraan, tetapi sambil memastikan diri mereka menjadi yang pertama di antara yang setara.
Pada akhirnya, kemerdekaan dan pembebasan dari penjajahan mestilah diawali dengan ilmu dan adab yang benar. Jika tidak, ia hanya akan menimbulkan kebingungan serta pencarian tak berujung dan berakhir pada kerugian. Kemerdekaan sejatinya harus bermula dari dalam diri sendiri dan ia hanya terwujud ketika hati dan jiwa manusia berkuasa atas tubuh dan sifat hewani di dalam dirinya (Syed Muhammad Naquib al-Attas, 1993, //Islam and Secularism//, Kuala Lumpur: ISTAC, hlm 141).
Hal itu otomatis akan membuatnya terbebas dari sifat cinta dunia serta ego yang merusak hubungan sosial, dan karenanya dari mentalitas bisa dijajah. Bahkan, ketika ia tak kuasa menahan penjajahan atas tubuh fisiknya, jiwanya sebenarnya tidak pernah bisa dijajah oleh siapa pun, hingga ia menemui Tuhan-nya dalam keadaan mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya.
Konsepsi dan karakteristik yang seperti ini terdapat di dalam Islam—tentu atas asas ilmu yang benar yang terbebas dari kerancuan dan kesalahan – dan telah dipraktikkan selama berabad-abad, termasuk pula di Nusantara. Dan sekiranya hal ini diterima dan dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh sebagian besar penganutnya di suatu negeri, maka itu akan menjadi energi yang betul-betul kuat dan membebaskan, baik di tingkat pribadi maupun di tingkat masyarakat dan negara. Kuala Lumpur, 12 Agustus 2019.
Penulis: Alwi Alatas, merupakan Peneliti INSISTS, Dosen Sejarah International Islamic University of Malaysia (IIUM).
Artikel ini terbit dalam Jurnal ISLAMIA edisi Kamis 15 Agustus 2019, kerjasama INSISTS dengan Republika.