Raja Jawa Nan ‘Shalih’ Dan “Kuasa” Al Quran

(Wartamuslimin.com) — Raja Surakarta ini memiliki nama kecil Raden Mas Duksina, putra Sunan Pakubuwana VI. Setelah berusia 17 tahun ia mendapatkan nama baru K.G.P.H. Prabuwijaya. Di masa berikutnya ia menjadi raja Kasunanan Surakarta bergelar Sunan Pakubuwana IX. Sahabat-sahabatnya terdiri atas para santri yang tinggal di pedesaan. Dengan hanya mengenakan pakaian lurik, sandal kayu, dan destar (ikat kepala) hitam, tak ada yang membedakan diri nya dari kebanyakan orang. Ia membaur diantara rakyat jelata tanpa meninggikan dirinya. (Serat Jatno Hisworo: Hanjariosaken lelampahan sarta kawontenan dalem sampeyan dalem ingkang Sinoewoen Kandjeng Soesoehoenan P.B. IX Wiwit Bade Kabobotaken Doemoegi Soeroed Dalem, Surakarta: Poro Wajah Dalem, 1952, hlm. 17).

Setiap hari Jum’at ia manfaatkan untuk menjalankan Shalat Jum’at di berbagai masjid kuno seperti Masjid Kayuapak, Masjid Wringin Pitu, Masjid petilasan Kyai Ageng Cinde Amoh, dan lain-lain. Banyak masjid dan mushola di wilayah Surakarta telah menjadi saksi pengembaraannya.

Ia memang putra raja. Tetapi perubahan kepemimpinan di kerajaan bahkan membuatnya tak yakin bahwa ia kelak akan bertahta. Ayahnya, Sunan Pakubuwana VI, raja Kasunanan Surakarta, diasingkan oleh Belanda ke Ambon dengan tuduhan membantu perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).

Pembuangan sang raja ini, konon terjadi atas pengkhianatan sejumlah abdi istana. Dua raja berikutnya berasal dari jalur keluarganya yang lain dan pengangkatannya selalu atas sepengetahuan Belanda.

Foto: Wikimedia Commons

Pencari ilmu

Kedekatannya dengan umat Islam tidak bisa dipungkiri. Sejak belia ia telah berguru kepada sejumlah pemuka Islam pada jamannya. Di antara guru-gurunya antara lain Ngabdulkahar di Ngruweng, Klaten dan Ahmad Ilham di Masjid Langenharjo. Khusus terhadap Ngabdul kahar, Pakubuwana IX memberikan gambaran tentang bagaimana kualitas sang guru dan metode yang digunakan dalam mengajar, dalam karyanya “Serat Sesingir” sebagai berikut:

Kasmarane ingsun eling, wuwulange guruningwang, Ngabdulkahar wisma Ngruweng, alim tlaten yen memulang, kuwat umure dawa, nora (u)sah ibadahipun, suprandene sugih garwa.

Lan bisa sajarah ngelmi, wiwit kan jeng Rasulullah, tumerah mring ingsun kiye, dadi wruh wite kang mulang, tan jamak esmu tama, mijil saking rasul mring putra prapteng manira.

Mangkana pantes linuri, wulange kawruh tetela, dadi tan kowar uruse, karo nalikane arsa, mulih mring rahmatullah, wus pitutur mring anak putu, iku wong waskiteng tindak”. (R. L. Mangun lesana (ed.), Kidung Sesingir …, hlm. 17-18).

[Dalam kecintaan aku ingat ajaran guruku, Ngabdulkahar yang tinggal di Ngruweng, berilmu dan telaten dalam mengajar, memiliki usia panjang, dan tidak usah (ditanyakan) ibadahnya, meski memiliki beberapa istri.

Juga bisa menjelaskan alur sejarah keilmuan sejak dari Rasulullah hingga sampai kepada aku ini, jadi bisa memahami asal pohon yang mengajar, tidak ragu lagi ini adalah keutamaan, ilmu yang berasal dari Rasulullah diwariskan ke pada anaknya dan sampai kepada kita.

Hal yang demikian patut dilestarikan, pengajaran ilmunya sangat jelas, jadi tidak akan menyesatkan urusannya, dan pada saat beliau hendak pulang ke rahmatullah ia sempat memberikan wasiat kepada anak istrinya, hal ini menunjukkan bahwa dirinya telah bertindak awas (dengan memahami hal yang samar) (waskita = awas).”]

Collectie Tropen Museum/Wikimedia Commons

Sastrawan Produktif

Selain menjalankan aktivitas sehari-hari dalam urusan pemerintahan, beliau juga memanfaatkan waktunya untuk menulis. Ia merupakan salah satu raja yang cukup banyak menghasilkan karya sastra. Diantara ciri khas karyanya selalu mengajak manusia untuk kembali kepada Sang Pencipta dengan memahami Al Quran dan Sunah Nabi-Nya serta mencari guru yang baik dan memahami agama.

Ada pun karya-karya Sunan Pakubuwana IX antara lain adalah sebagai berikut: Kidung Sesingir, Côndrarini (ajaran tentang kesetiaan seorang istri), Darmaduhita (ajaran tentang bakti seorang istri), Darmarini, Gandrung Asmara, Gandrung Turida, Ibêr-ibêr (berisi pesan untuk anak sulungnya yang hendak menikah), Jayèngsastra, Menak Cina, Ngèlmu Kadhoktêran (tentang ilmu kesehatan jasmani dan rohani yaitu penggabungan dunia kedokteran Barat dan praktik pengolahan rasa khas Timur), Panji Jayèngsari, Patralalita (Kroton), Rêrêpèn Nawung Branta, Salisir Kagêm Gerongan, Wara Ratna, Wulang Punggawa (berisi ajaran untuk pegawai atau abdi negara), Wulang Putra, Wulang Putri, Wulang Rajaputra, dan Wulang Wanita.

Karya-karya Sunan Pakubuwana IX tersebut sebagian telah dikumpulkan oleh Padmasusastra dalam buku yang berjudul “Wira Isjwara”. Lihat: Padmasusastra (ed.), Wira Isjwara: Anggitan Dalêm Sampeyan Dalêm Suwarga Ing kang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana IX, Surakarta: Albert Rusche & Co, 1898.

Karya sastra yang ditulis tentu memiliki tujuan. Demikian juga karya sastra yang ditulis Sunan Pakubuwana IX. Sang raja Surakarta ini menyimpan harapan besar agar masyarakat nusa Jawa senantiasa berada dalam kejayaan dengan mengikuti teladan Rasulullah dan menganut Agama yang utama. Hal ini diungkapkan melalui “Kidung Sesingir” dalam metrum tembang Kinanthi sebagai berikut (terjemahan saya dalam bahasa Indonesia):

[Lestarinya gagasan, manusia yang mampu mengingat, kepada keutamaan perilaku, di bumi jangan diremehkan, penghormatanmu kepada arah kembali, selamat sejak hari diciptakan.

Jadilah jaya dalam kejayaan, berhak mendapat kemampuan, bagi keselama tan pulau Jawa, teladan bagi hal-hal uta ma, tumbuh keutamaan tanpa gang gu an, semua cita-citanya yang dipelajari,

Mewujud menjadi tumbuh, tumbuhnya pengetahuan menyebar luas, bagi wilayah yang dipertuan, berdasarkan ajar an nabi, kita kanjeng Rasulullah, mu dah-mudahan Allah memberi pertolongan, kepada umat yang bersedia menganut agama yang utama, mengatasi keruwetan dalam panca indra jangan sampai salah dalam meneliti, pertimbangkan dengan terang, ayo segera dilaksanakan.]

Kepada kaum lelaki, sang raja berpesan untuk giat mencari nafkah bagi keluarganya. Tindakan ini dikatakannya merupakan salah satu upaya untuk mengikuti sunah Nabi. Beliau menyatakan sebagai berikut (terjemah saya dalam bahasa Indonesia):

[Jika engkau berada di rumah wahai tampan, lakukanlah pekerjaanmu yang bermanfaat, agar hatimu betah berada di rumah. Tanamlah sesuatu yang mengha silkan, mengikuti ajaran Rasulullah, buah dari tanaman dipekarangan akan bisa digunakan sebagai nafkah untuk istri dan anak.]

Menariknya, Pakubuwana IX juga melontarkan gagasan kepemimpinan negara dengan menggunakan panduan Al-Quran dan Sunnah. Ide ini ia tuangkan melalui nasehat untuk putra raja yang hendak menggantikan tahta ayahnya. Al Quran, dalam pandangannya, memiliki kesempurnaan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hanya dengan berpedoman pada kitab suci dan mencontoh praktik pengamalan melalui Nabi Muhammad maka persoalan yang dihadapi manusia, termasuk dalam konteks kenegaraan, bisa diatasi. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:

Lil umiyi wardinipun, nenggih makhluk ingkang miturut sakarsa mring hyang kang sipat kayune, Nabiullah jejuluk, kang baboning manungsa iki, rasul kang rinasa, ing janma sawegung, Muhammad kakiki rannya, kang ma dangi tyase, kang manungsa agami, mashur mau Muhammad.

Agama iku perlune yekti, pikukuhe tetimbanganing tyas, nistha madya uta mane, mung iku rasanipun dalil kadis kang den semoni, supaya animbanga, sa gunging pra ratu, wadya kang sawalang karsa, pinrih sirep saking kuwasaning aji wewaton kitab Quran.

Quran iku tembungira rapil, makna murad maksude rinasa, ijmak miwah qiyase, ikhjidyate winengku, rawatana sajroning ati, tinrepana nujwa, kalamangsanipun, anirnaken truhing praja, jerta ratu tetumbaling wong among kingkin, berat asung durmuka”.

[Lil ummiy maksudnya adalah makhluk yang taat pada kehendak Allah yang Maha Hidup, Nabiullah yang men jadi pemuka manusia, rasul yang dirasa umat manusia bernama Muham mad, yang menerangi hati manusia beragama, masyhur bernama Muhammad

Agama itu nyata diperlukan, sebagai patokan dalam pertimbangan hati dalam menentukan keburukan, pertengahan, dan kebaikan, hanya itu yang yang dikupas oleh dalil hadits agar segenap para raja bisa menimbang, bawahan yang memiliki hati yang kecil agar bisa dipimpin oleh raja dengan berdasarkan kitab Al Quran

Al Quran itu pernyataannya kompleks, memiliki makna yang bisa dira sakan, ijma’, qiyas, dan ijtihadnya bisa dikuasai, peliharalah dalam hati, terapkanlah untuk menghilangkan keruwetan di kerajaan, sebab raja itu adalah tumbal bagi pamomong rakyat yang menderita, memberantas apa pun yang menyebabkan keburukan ].

Tak lupa seruan juga ditujukan un tuk para ulama agar selalu siap membimbing umat. Pada masa itu banyak kalangan agamawan justru tidak menjalankan perannya secara konsekuen. Sebagian hanya memanfaatkan agama untuk mendapatkan gelar dan jabatan. Akibatnya, kerusakan menyebar dalam masyarakat, termasuk di kalangan ulama itu sendiri. Hal yang demikian tidak luput dari perhatian sang raja. Ia mengungkapkan sebagai berikut (terjemah saya):

[Seperti para ulama, para cerdik pandai, khatib, dan muadzin, marbot, dan pelaku asketik, sangat tidak mungkin jika mereka mengetahui kewajiban, sampai-sampai lurah berbicara tidak didengarkan oleh rakyat, malas mengaji Al Qur’an, kitab tidak lagi diperdulikan, lupa jika di malam hari ia adalah ulama.

Makan, main perempuan, judi, bisa bisa lantas mencuri, lupa tidak menjalankan shalat, di pedesaan jauh dari kyai dan penghulu maka mereka lalai, sebab selalu menyabung ayam, itu yang menyebabkan mereka ribut, bisa ditebak menjual keselamatan namun tidak memiliki cahaya.]

Instagram Kraton Surakarta Hadiningrat

Para pemimpin keagamaan yang tidak lagi menjalankan kewajibannya membina dan menjadi teladan bagi umat, dengan tegas dipecat oleh sang raja. Alasannya, menurut beliau, mereka ini adalah jenis manusia yang “adol ampun nora padang” artinya “menjual keselamatan namun dirinya sendiri tidak memiliki cahaya”. Pada bagian agak akhir dari Kidung Sesingir, Sunan Paku buwana IX memiliki harapan yang besar untuk para ulama yang masih ada, sebagai berikut:

[Wahai para ulama, mari ajarkanlah ilmu dari Rasulullah sungguh itu bermanfaat, yang telah diajarkannya peliharalah, ada empat perkara pelaksanaanya, terangkanlah itu satu per satu, ajarkanlah meskipun itu menggunakan kata Bahasa Arab

Bukan bahasa milik orang Jawa, jangan semaunya tetapi harus diperiksa, bertanyalah yang jelas, bunyi dan maknanya dimengerti, jadi tetap bisa diketahui, tepat pengetahuannya, harus berguru pada ulama yang telah disebut mukmin yaitu tidak khawatir apabila berbicara kebenaran.]

Demikian itu sebagian nasehat Sunan Pakubuwana IX, raja Kasunanan Surakarta. Banyak kalangan mengira bahwa wujud keislaman di lingkungan Kraton telah mengalami degradasi dan dekadensi. Namun pemikiran Pakubuwana IX justru memperlihatkan fakta sebaliknya. Dengan semua kelebihan dan sekaligus kelemahannya, ia telah menyuarakan bahwa dirinya merupakan bagian dari pejuang dakwah yang ikut serta me nyerukan kebenaran Islam di muka bumi. Kita berharap, pelanjut Raja-raja Surakarta dan Yogyakarta mengingat kembali petuah dan keteladanan para pendahulunya yang mulia. Wallahu a’lam. ¦

Oleh: Susiyanto

Kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor

Diunggah di Republika Online kolom Islamia Kamis 21 May 2015