Roehana Koeddoes, Berjuang Melalui Pendidikan dan Pena

“Perempoean haroes menggerakan diri

 Patoetlah poela mengeloearkan peri

Penarah kesat nak hilang doeri Penghentian goenjing sehari-hari”.

(Syair Rohana dalam Soenting Melajoe, 27 Juni 1912)

(Wartamuslimin.com) — Kiprah muslimah di panggung sejarah tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka memberikan andil yang besar khususnya dalam bidang intelektual, baik klasik maupun modern. Banyak dijumpai guru-guru agama, perawi hadist, bahkan sufi sekalipun, seperti Siti Aisyah. Ia dikenal sebagai pembawa hadis yang sangat berarti, hingga sahabat-sahabat Nabi belajar kepadanya. Di Indonesia sendiri, kita mengenal Nyai Khoiriyah pendiri sekolah perempuan pertama di Tanah Suci, Rahmah El Yunusyiah pendiri sekolah perempuan pertama di Indonesia, sampai RA. Kartini.

Di samping nama-nama di atas, terdapat sosok lain yang juga tidak kalah hebat. Dia mungkin tidak sefamiliar tokoh sebelumnya. Namanya adalah Rohana Kudus, muslimah asal Minang yang meraih gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 8 Agustus 2019 lalu.

Sumber Foto: RRI co id

Sosok Rohana

Rohana Kudus lahir pada tanggal 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Nama aslinya Siti Rohana, sedangkan nama Kudus merupakan nama belakang dari suaminya, Abdullah Kudus. Mereka membangun rumah tangga pada tahun 1908 di usia Rohana yang ke 24.

Rohana Kudus merupakan putri dari Moehammad Rasjad Maharaja Soetan, seorang hoofdjaksa atau jaksa kepala dan Kiam. Rohana merupakan keturunan Datuk Dinagari dari Puak Kato, salah satu keluarga terpandang yang memiliki jalur matrilineal tertua di Kotogadang. Rohana merupakan sulung dari 26 bersaudara. Ia adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia dan juga bibi dari penyair kondang Chairil Anwar. Rohana juga merupakan sepupu dari KH. Agus Salim, ulama pejuang yang cukup berpengaruh di Indonesia.  

Pahlawan Nasional yang dinobatkan pada tahun 2019 ini tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Siapa sangka, muslimah yang menguasai berbagai bahasa seperti bahasa Belanda, Inggris, dan Arab ini hanya mengenyam pendidikan dari lingkungan keluarganya, terutama dari sang Ayah, Rasjad yang sering berlangganan surat kabar dan menyediakan buku-buku untuk ia baca. Rohana gemar membaca berbagai buku, mulai dari politik, sastra, dan hukum milik ayahnya. Konon, ayahnya sengaja memesan koran dan buku dari Singapura untuk memperkaya bahan bacaan sang anak. Tradisi baca dan tulis dari sang ayah melekat kuat dalam dirinya menjadi habituasi intelektual.

Di samping itu, ia juga mendapat asupan pendidikan agama Islam dengan baik. Rohana tumbuh di lingkungan yang bijak dan agamis. Selain belajar dengan buku-buku milik ayahnya, ia amatlah rajin datang ke surau dan masjid bahkan dengan tekun pula belajar kepada tokoh-tokoh agama di sekitar tempat ia tinggal. Rohana dikenal sebagai sosok muslimah yang tekun dalam beribadah. Pernah diceritakan, Ia terbiasa membawa tasbih 500 butir kesayangannya yang selalu ia gunakan seusai sholat.

Tidak berhenti sampai di situ, pernah diceritakan suatu ketika di saat keluarga Rohana pindah ke Alahan Panjang, ia sempat belajar bersama tetangganya, Lebi Rajo dan Soetan yang belum memiliki keturunan. Ia belajar merajut, menenun dan menjahit hingga membaca buku-buku dan majalah berbahasa Belanda. Pada masa itu, keahlian merajut hanya dimiliki oleh orang-orang Eropa, maka sebuah keberuntungan bagi Rohana mampu mempelajari seni kriya tersebut.

Sosok muslimah yang satu ini memang terlihat begitu haus ilmu. Menariknya, berbagai ilmu yang telah ia pelajari mampu ia amalkan dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Ia adalah sosok muslimah yang rajin beribadah, namun tidak menjadikan agama sebagai ritual belaka. Rohana mampu menerjemahkan nilai-nilai keislaman dalam kerja kemanusiaan, kerja umahat.

Pada usia 8 tahun, Rohana mulai membagikan pengetahuan kepada teman sebayanya. Ia mempunyai kebiasaan membaca dengan keras bacaannya di teras rumah saat di Simpang Tonang Talu, dari kebiasaan yang dianggap aneh warga sekitar ini lambat laun menjadi benih gerakan intelektual yang menjadi awal jalan jihad Rohana. Suara lantang Rohana saat membaca telah menarik tetangganya untuk ikut belajar membaca dan menulis. Nalurinya memang telah terasah sejak kecil.

Di usia yang masih amat belia, Rohana mempunyai semangat yang luar biasa dalam berilmu dan berbagi dengan sesama. Semakin hari, semakin banyak orang-orang yang tertarik belajar bersama Rohana. Pada akhirnya, Rohana memberanikan diri untuk membuka sekolah sederhana di teras rumahnya. Hal ini disambut baik oleh ayahnya Rasjad. Ia menyumbangkan alat-alat tulis untuk dibagikan gratis kepada pelajar di sekolah sederhana Rohana dan beberapa kali turut mengajar perihal budi dan agama. Ayah Rohana memang orang yang pandai dalam agama.  

Rohana tumbuh dalam tradisi intelektual dan spiritual yang membentuknya menjadi sosok muslimah yang cerdas, agamis dan kritis. Pada zaman di mana perempuan sangat terbatas dalam berbagai aspek pencerahan, ia memiliki keresahan dan kesadaran untuk mengubah nasib perempuan. Keahlian menenun, merajut dan menjahit yang sempat ia pelajari dari keluarga Lebi Rajo nan Soetan, tetangganya tatkala tinggal di Alahan Panjang itu ia bagikan kepada anak-anak perempuan, remaja-remaja perempuan, serta ibu-ibu yang belajar di rumahnya. Lantas, ia pun mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kotogadang pada 1911, sekolah yang merupakan tindak lanjut dari dideklarasikannya Perkumpulan Perempuan Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911 yang ia pimpin.

Sumber foto : Fajar Sumatera

Perjuangan Perempuan Islam

Rohana memiliki misi keislaman yang tegas dalam nafas perjuangannya. Hal ini nampak pada prinsip yang melandasi gerak perjuangannya. Baginya, perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak, berbudi pekerti luhur, serta taat beribadah yang ke semuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan. Nafas perjuangan Rohana adalah kesadaran pengukuhan peran, fungsi, dan kodrat perempuan. Konsep manusia dalam Islam menyebutkan, bahwa kewajiban menuntut ilmu antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Pemahaman inilah yang menumbuhkan kesadaran dan semangat perubahan. Perjuangan Rohana adalah mengubah nasib perempuan Indonesia yang kala itu sulit mendapat akses pendidikan bahkan ia lantang memerangi penjajah lewat tulisan.

Sejarah mencatat, Rohana aktif menulis di berbagai surat kabar seperti Saudara Hindia, Perempuan Bergerak, Cahaya Sumatera, Suara Koto Gadang, Mojopahit, Guntur Bergerak, dan Fajar Asia.  Atas bantuan Soetan Maharadja yang saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melajoe,  Rohana berhasil mendirikan surat kabar perempuan pertama dalam sejarah Indonesia bernama Soenting Melajoe yang berdiri pada tanggal 10 Juli 1912. Dikatakan surat kabar perempuan sebab pemimpin redaksi, redaktur, penulis, seluruhnya adalah perempuan.

“Perempoean haroes menggerakan diri

 Patoetlah poela mengeloearkan peri

Penarah kesat nak hilang doeri Penghentian goenjing sehari-hari”.

Di atas adalah petikan syair Rohana Kudus yang terdapat dalam halaman Soenting Melajoe terbitan 27 Juni 1912. Pada surat kabar inilah Rohana menampakkan perjuangan untuk kaumnya. Kumpulan tulisannya amatlah tajam, cerdas, dan mencerminkan cita-cita untuk memajukan perempuan Indonesia. Jalan jihad Rohana adalah menyadarkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan terhadap manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan sesuai perintah agama.

Rohana kembali mendirikan sekolah bernama Roehana School di Bukittinggi. Kepindahannya ke Bukittinggi pun tak membuatnya berhenti menulis untuk Soenting Melajoe. Pada 1919, Roehana dan suaminya pindah ke Lubuk Pakam, Sumatera Timur. Di sana, ia mengajar di sekolah cabang Dharma Putra atas permintaan sang ayah. Setahun kemudian, ia pindah ke Medan dan mengajar di sekolah Dharma Putra pusat. Di kota itulah, ia menulis untuk surat kabar Perempoean Bergerak. Tiga tahun tinggal di Medan, ia kembali ke Kotogadang. Di tanah kelahirannya itu, ia mengajar di Vereninging Studiesfonds, di sinilah Rohana kembali melanggengkan aktivitas menulisnya sebagai redaktur surat kabar Radio dan Tjahaja Soematra.

Pada tanggal 17 Agustus 1972, Rohana meninggal dunia di usianya yang ke 88 tahun, ia dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta. Dua tahun setelah kematiannya, pemerintah Sumatera Barat memberi penghargaan kepada Rohana sebagai wartawan perempuan pertama Indonesia. Kemudian pada peringatan Hari Pers Nasional ke III pada 1987, pemerintah Orde Baru juga menganugerahi Rohana dengan gelar perintis pers Indonesia. Selanjutnya, pada tanggal 8 Agustus 2019,  Rohana dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sumbangsihnya terhadap kaum perempuan sungguh luar biasa. Dia adalah muslimah yang turut berjuang dalam panggung sejarah Indonesia.

Rohana Kudus adalah contoh perempuan cerdas, berani, dan kontributif.  Nilai istimewa dari sosok Rohana jika dibandingkan dengan beberapa tokoh yang bergerak di keperempuanan lain adalah misi keislamannya yang tegas. Ia menggunakan ajaran Islam sebagai dasar dan penegakan cita-cita perjuangannya. Sosoknya yang pemberani dan progresif telah menyadarkan perempuan akan peranan yang cukup sentral dalam tatanan masyarakat. Baginya, Perempuan harus dikukuhkan peran, fungsi, dan kodratnya melalui ilmu pengetahuan, keberanian, dan ketrampilan. Anasir tersebut yang menjadi jangkar juang perempuan dalam membangun sebuah peradaban.

Dari kisah kehidupannya dapat kita simpulkan bahwa Rohana Kudus merupakan sosok pejuang perempuan cerdas yang secara konsisten dan berkomitmen penuh memperjuangkan hak-hak perempuan melalui pendidikan dan pena. Misi perjuangannya tegas berdasarkan ide-ide yang ia yakini bersumber dari ajaran Islam yang berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Baginya, perempuan harus terus belajar bagaimanapun perputaran zaman berlangsung. Sebab, selama mereka masih berada dalam kebodohan, maka nasib kaum perempuan itu tidak akan pernah berubah. 

Penulis: Ratna Dwi Ambarwati*

*Penulis merupakan mahasiswi S1 Program Studi Kriya Tekstil. Ia jug aktif sebagai penggiat kelompok diskusi perempuan Islam (Disperis) dan penggiat kelompok studi wawasan Islam (SWI).

Referensi

Adam, Aswi Warman, Pahlawan Nasional Perempuan, (Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan : Koran Tempo).

Agustiningsih, Pratama, Ema. “Pergerakan Perempuan di Minangkabau : Kiprah Rohana Kudus Dalam Nasionalisme Tahun 1912-1972Titian Jurnal Ilmu Humaniora. Vol.3 No.2 Desember 2019.

Fitriyanti, Roehana Koeddoes : Perempuan Menguak Dunia (Jakarta : Yayasan d’Nanti. 2013)

Artikel Tirto id “Menjadi Jurnalis Perempuan Pertama Secara Otodidak” (diakses pada tanggal 6 November 2016)

Artikel IDN Times “Melacak Jejak Jurnalis Perempuan dari Koto Gadang“ (diakses pada tanggal 1 Februari 2018)

Artikel Liputan 6 “Profil Rohana Kudus Perempan Peraih Gelar Pahlawan Nasional dari Tanah Minang” (diakses pada tanggal 8 November 2019)

Artikel Viva News “Siapa Rohana Kudus Wartawati Pertama Bergelar Pahlawan Nasional” (diakses pada tanggal 8 November 2019)

Artikel Republika Online “Rohana Kudus Sang Wartawati Pelopor” (diakses pada tanggal 10 Februari 2020)