Hari ini genap tiga puluh hari setelah secara resmi pemerintah mengeluarkaan imbauan untuk mengurangi aktifitas di luar rumah. Terhitung sejak tanggal 16 Maret 2020, beberapa instansi baik negeri maupun swasta mulai memberlakukan imbauan untuk bekerja dari rumah (work from home). Namun hal itu tidak berlaku bagi instansi kesehatan dan beberapa instansi sosial yang berada di Indonesia.
Semenjak pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia, jumlah pasien positif terus meningkat. Dilansir dari laman covid19.go.id data jumlah pasien covid-19 per 15 April 2020 terkonfirmasi ada 5.136 kasus, jumlah pasien meninggal ada 469 kasus, serta jumlah pasien yang dinyatakan sembuh ada 446 kasus. Distribusi kasus ini ditemukan hampir di tiga puluh empat provinsi di Indonesia. Dengan persentase tertinggi ada di provinsi DKI Jakarta (jumlah pasien terkonfirmasi 2.474) serta terendah ada di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo (jumlah pasien terkonfirmasi 1).
Berdasarkan data Forum Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP FARKES/ R) per (12/4) sudah ada 32 dokter yang gugur saat bertugas menangani pandemi ini, dan 12 perawat yang meninggal. Belum lagi tenaga kesehatan baik paramedis maupun non medis yang turut gugur, serta dalam kondisi sedang menjalani perawatan di ruang isolasi. Pasien bertambah sementara tenaga medis pun juga mulai berguguran, lantas dimanakah letak kelalaiannya ?
Bukan, bukan untuk saling menyalahkan saat masalah ini semakin runyam. Berita hoax yang bersliweran juga terkadang sempat memicu kepanikan. Data statistik terkait perkembangan kasus covid-19 yang tidak sesuai serta tak jarang menuai kritik sehingga terkesan media turut andil dalam membuat situasi bertambah rumit. Tapi kita tetap harus mawas dan waras dalam menanggapi berita di media sosial maupun elektronik. Karena tak jarang berita yang bernada provokatif justru cenderung diminati olah masyarakat.
Terkait ketersediaan alat pelindung diri yang dikeluhkan karena keterbatasan jumlah sebenarnya para tenaga medis pun tetap memiliki banyak cara untuk menyiasatinya, misal dengan membuat faceshiled berbahan dasar kertas sampul fotocopy yang diapisi masker bedah, subtitusi hazmet menggunakan mantel hujan atau plastik penampung sampah rumah tangga dan lain-lain serta belum lagi banyak industi kecil maupun menengah yang dengan sukarela memproduksi alat pelindung diri gratis untuk paramedis. Di saat pandemi seperti ini kita tidak bisa menunggu ketersediaan stok alat pelindung diri sementara pasein berdatangan silih berganti, tak ayal bisa saja menyebabkan kecolongan apabila kita tidak senantiasa mawas diri.
Selain itu standar operasional pelayanan kesehatan pasien atau orang dalam pengawasan covid-19 juga perlu menjadi sorotan. Seringkali banyak masyarakat tidak mengetahui informasi ini sehingga dengan cuek datang ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lainya. Padahal seharusnya orang dalam pengawasan covid-19 yang memiliki riwayat perjalanan ke daerah terjangkit harus melakukan isolasi mandiri selama dua minggu sebelum akhirnya bisa melakukan aktivitas seperti biasa, sementara apabila memiliki gejala khas yang diduga mengarah ke covid-19 sebaiknya segera melaporkan diri ke pihak RT atau RW setempat agar bisa mendapat penanganan dari dinas kesehatan,
Sementara untuk status pasien dalam pengawasan covid-19 yang seharusnya dianjurkan berobat atau melakukan pemeriksaan ke rumah sakit rujukan, dimohankan jangan pernah melakukan penipuan saat berobat ke fasilitas kesehatan primer atau setingkat puskesmas, jangan pula berbohong saat ditanya riwayat penyakit dan riwayat perjalanan. Sungguh ini sangat menancam tenaga kesehatan maupun orang-orang sekitar yang bersinggungan dengan kalian. Barangkali stigmatisasi di masyarakat tidak bisa dielakkan, namun jikalau tetap keras kepala untuk berbohong maka berapa banyak nyawa lagi yang akan terancam ?
Stigmatisasi tidak berheti pada pasien saja namun juga berlaku bagi tenaga kesehatan yang menanggani pasien covid-19. banyak media memberitakan bahwa tak jarang tenaga kesehatan ini seringkali dikucilkan bahkan ditolak di masyarakat, belum lagi labeling yang melekat dengan sebutan ‘pembawa virus’ tidak henti-henti digaungkan. Tidak sampai disitu saja bahkan jenazah sang garda terdepan dianggap tidak layak nntuk dimakamkan bersama penduduk sekitar. Baru-baru ini kasus yang menjadi sorotan adalah seorang perawat yang bekerja di salah satu instansi pemerintah di kota Semarang, jenazahnya di tolak oleh warga sekitar untuk dimakamkan. Hal ini yang menginisiasi aliansi profesi untuk mengeluarkan mosi solidaritas bagi jajaran tenaga kesehatan yang sedang berjuang melawan pandemi. Beberapa dari persatuan organisasi profesi sudah mendeklarasikan dengan surat pernyataan untuk mendukung gerakan ini, bahwa tenaga kesehatan mengecam keras atas respon penolakan dari oknum masyarakat di lokasi pemakaman serta mendesak pemerintah untuk senantiasa memberikan perlindungan, keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia kepada seluruh tenaga kesehatan selama menjalankan tugas kemanusiaan.
Pandemi ini belum berakhir, tapi tenaga kita sudah habis hanya untuk memberikan stigmatisasi. Mari dari sekarang dengan sadar dan sabar kita bersama-sama saling menguatkan, untuk tetap memerangi penyakitnya bukan orangnya. Untuk tetap saling berbagi informasi agar semua paham dan tidak saling menyalahkan. Untuk tetap menjadi garda terdepan apapun perannya bagi kemanusiaan. Salam Sejawat !
Deni Umi Rahmawati*
*Penulis adalah Seorang Analis Laboratorium Klinik Rawat Inap Enggal Waras, Lampung Timur