Bila Ilmu Pengetahuan Modern Diperhadapkan dengan Syariat Islam
Ahda Abid al-Ghiffari*
Suatu kali Ustadz pernah menjelaskan bahwa yang dimaksud ilmu itu adalah ilmu dien. Ilmu yang dasarnya merupakan Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Saw. Berdasar paradigma berfikir itu, Ustadz menceritakan suatu kisah yang dialami oleh kawannya yang hendak mengajukan proposal skripsi di jurusan Politik Universitas Gadjah Mada. Kawan Ustadz itu menyantumkan dasar-dasar al-Qur’an, semacam penggunaan teori, dengan ayat-ayat dan kutipan hadits-hadits dalam proposal skripsinya. Kisah Ustadz, proposal kawannya itu ditolak, dan Ustadz mulai menganalisis faktornya. Sebabnya, kawan Ustadz itu menempelkan ayat-ayat al-Qur’an bukan pada tempatnya. Ia menjadikan dalil agama sebagai landasan teori proposal skripsinya itu. Kemudian Ustadz mengidentifikasi bahwa yang dimaksud ilmu agama itu adalah ilmu-ilmu yang selalu berkaitan dengan ayat dan dalil naqli. Sedangkan karena tidak boleh ‘tercampurnya’ dalil dengan ‘ilmu sekuler’ dalam universitas negeri ‘yang sekular’ itu, maka Ilmu Politik sebagai bidang studi yang digarap oleh kawan Ustadz tersebut bukan lagi menjadi ilmu dien. Ilmu politik dalam ‘kampus negeri’ hanya dipandang sebagai ilmu dunia, pun ditambah kalau dipelajari di kampus negeri, jadinya ilmu itu dianggapnya sebagai ‘ilmu sekuler’. Ilmu dunia, bagi Ustadz, tidak wajib dipelajari, bahkan mungkin dianggap kurang penting dan tidak ada manfaatnya untuk menegakkan kalimatullah. Sedangkan ilmu dien, merupakan satu-satunya ilmu yang wajib dipelajari untuk menegakkan kalimatullah, menurut Ustadz.
Bagi para pengikut Ustadz, ilmu politik yang dipelajari di kampus negeri tidak akan mendatangkan manfaat bagi Umat Islam. Menurutnya, mempelajari ilmu politik sekuler bukanlah perjuangan menegakkan syariat Islam. Perjuangan menegakkan syariat Islam, bagi Ustadz, harus dilakukan dengan Islam itu sendiri, dengan ilmu dien. Namun, Ustadz tidak menganggap ilmu politik bukanlah sebagai ilmu. Ustadz hanya menganggap yang dipelajari di jurusan Politik UGM itu bukanlah ilmu agama, tapi ilmu dunia yang sekuler. Sedangkan yang dimaksud sebagai ilmu politik yang menjadi sub-ordinat ilmu dien itu jelas yang memakai mentah-mentah metode pendalilan dan pencantuman ayat-ayat, sebuah ilmu yang dikaji menggunakan bahasan yang sudut pandang Islam an sich. Yang dijelaskan Ustadz, bahwa Islam sebagai agama ilmu dan al-Qur’an menjadi sumber ilmu pengetahuan, mengemuka pada pandangan bahwa ilmu-ilmu politik yang bukan berasal dari Al-Qur’an bukanlah termasuk ilmu dien. Karena memiliki landasan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber segala ilmu itu pula yang menimbulkan anggapan Islam membangun dirinya sendiri.
Akan tetapi Ustadz memang berbeda dengan yang memandang al-Qur’an sebagai landasan dan basis ilmu pengetahuan. Pandangan ini menyatakan bahwa Al-Qur’an menentukan paradigma berfikir dalam memahami realitas, obyek ilmu, dan ilmu itu sendiri. Pandangan ini sifatnya terbuka, dan menekankan peran penting Al-Qur’an untuk dijadikan basis sistem nilai untuk menyentuh obyek dan realitas. Syed Muhammad Naquib al-Attas misalnya, yang menekankan bahwa ilmu-ilmu yang berasal dari Barat itu tidak bebas nilai. Di dalam kandungannya, terdapat pandangan alam atau ‘worldview’ Barat yang menentukan nilai suatu ilmu itu sendiri. Bahkan ia juga mengatakan bahwa Barat telah berperan besar dalam proses rusaknya ilmu. Oleh karena itu, ilmu-ilmu modern dan kontemporer seperti psikologi, sosiologi, sejarah, dan sebagainya, berperan penting dalam pembentukkan jati diri pengembangnya. Barat yang selama ini mengembangkan ilmu-ilmu itu menjadikan nilai-nilainya mempengaruhi alam konsep dalam inti ilmu-ilmu modern tersebut. Oleh karenanya, sebagaimana Barat, Islam juga menentukan nilai suatu ilmu, bahkan yang modern dan kontemporer sekalipun.
Islam sebagai sebuah peradaban memiliki pandangan alamnya sendiri. Peradaban Islam memiliki kreatifitas dalam memproduksi ilmu pengetahuan, termasuk yang modern. Barat bukanlah pencipta ilmu-ilmu modern dan kontemporer tersebut. Dalam sejarah Islam kita mengetahui bahwa filsuf-filsuf Muslim bersama para teoritikus seperti Ibnu Khaldun telah mengembangkan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kini justru kita kenal datang dari Barat. Seandainya saja Ustadz mau lebih terbuka dalam memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam, ia akan lebih mengerti bagaimana para ulama dan ilmuwan terdahulu tidak terpaku pada ayatisasi dan konservatisme peradaban—yang menolak pandangan bahwa Islam melakukan hubungan secara kritis dengan peradaban lain.
Akan tetapi dapat kita mengerti bahwa Ustadz sudah kadung terbelenggu dengan jalan berfikirnya sendiri yang menghadap-hadapkan antara “ilmu-ilmu non-dien” dengan ilmu dien itu sendiri yang selalu identik berdasarkan dalil. Sedangkan dalam pandangannya, ilmu-ilmu non dien itu bukan berlandas atau berbasis Al-Qur’an beserta ayat-ayatnya. Ustadz sudah kadung “menjauhi” ilmu-ilmu dunia itu yang dianggapnya tidak memiliki peran dalam memperbaiki ummat. Pantaslah kalau para aktifis sezaman dengan Ustadz, atau Ustadz sendiri, jarang mampu menyelesaikan kuliahnya. Kalau ada yang berhasil menyelesaikan kuliahnya, ilmu dunia yang ia dapatkan dari bangku kuliah negerinya cenderung tak mampu diaplikasikan, bahkan untuk berkontribusi dalam perjuangan Islam. Bagi mereka yang terpenting adalah perjuangan Islam untuk membumi-hanguskan orang-orang kafir Barat atau kaum kuffar yang menjadi musuh-musuh Islam dan menjauhkan kaum Muslimin dari Al-Qur’an, Sunnah, dan penerapan syariat Islam.
Saya kira di zaman saya masih kuliah, keadaannya akan jauh lebih baik dan berbeda dari zaman Ustadz. Ternyata saya pun salah. Belakangan saya mendapat curahan hati dari seorang mahasiswa yang aktif di Lembaga Da’wah Kampus, di kampus negeri juga. Pemuda ini merupakan mahasiswa jurusan sejarah yang begitu bersemangat membicarakan ilmu sejarah non-diennya kepada kawan-kawannya. Akan tetapi dia mengeluh bahwa kawan-kawannya itu terlalu sibuk dengan program kerja organisasi. Setiap kali ia berusaha melakukan diskusi ilmiah atau akademik, kawan-kawannya selalu kurang nyambung dengan lontaran-lontaran wacana pemuda ini. Padahal yang diajak diskusi sebenarnya juga mahasiswa, bahkan tak jarang kawan satu jurusan. Kawan-kawan si pemuda lebih nyambung kalau diajak diskusi mengenai masalah program kerja, aksi, display UKM di perhelatan akbar Ospek, atau masalah perjuangan pembebasan Palestina.
Kalau begitu sebenarnya saya sependapat dengan seloroh Agus Purwanto, doktor lulusan Jepang bidang fisika teoritis. Bahwa geliat Umat Islam merekonstruksi zaman keemasannya masih sebatas pada kebanggaan semata. Mereka sebenarnya mengetahui bahwa di puncak-puncak peradaban Islam, ilmu pengetahuan menjadi ujung tombak garda depan dalam menentukan jatuh bangunnya kekuasaan. Saya tidak meragukan kapasitas teman-teman aktifis saya yang memahami kisah-kisah kejayaan Islam yang ada di berbagai daulah dan kekhalifahan Islam sepanjang sejarah Umat Islam. Bahkan bagi para pejuang syari’ah dan khilafah, pengetahuan mengenai keidealan sistem politik Islam dan penerapan syariat Islam dalam bingkai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah telah menjadikan mereka mengenal zaman emas ‘khilafah-khilafah Islam’ sepanjang sejarah. Namun nampaknya masih jarang dari mereka yang kemudian bergiat menjadikan ilmu pengetahuan sebagai ‘manhaj’ perjuangannya.
Sebaliknya, jalan pikiran yang ada justru menjadikan penerapan syariat Islam dan penegakkan khilafah itu menjadi kunci dari peradaban Islam. Kalau syariat Islam sudah diterapkan, dan khilafah sudah berdiri tegak; semuanya pasti akan beres, ilmu pengetahuan pasti akan maju, segala kejahatan ilmu akan hilang, dan Umat Islam berjaya kembali. Itu pikir mereka. Benarkah semudah itu? Memanglah sangat jarang yang kemudian sampai pada kesimpulan kontrari dari cara berfikir di atas, yakni jalan untuk merekonstruksi kejayaan Umat Islam melalui ilmu pengetahuan dan juga menjadikan ilmu pengetahuan (baik yang dianggap ilmu dunia maupun ilmu dien) sebagai bagian dari da’wah Islam. Bagi golongan yang menganut cara berfikir kontrari dari yang pertama ini menganggap bahwa rekonstruksi kejayaan Umat Islam tidak semudah membunyikan slogan ‘penerapan syariat Islam’ dan ‘penegakkan khilafah’. Dan sebagai tujuan-tujuan da’wah, bagi mereka kebutuhan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan landasan dan basis Islam menjadi tak terelakkan.
Saya tidak mengatakan penerapan syariat Islam atau penegakkan khilafah itu tidak penting. Keduanya juga menjadi kebutuhan Umat Islam sebagai rumah besar kaum Muslimin nantinya. Akan tetapi menarik pula untuk kita simak nasihat—yang telah saya baca berulang kali dan membuat mata saya berair—dari seorang Mujahidin di sebuah negeri yang hingga sekarang masih bergolak revolusi, Suriah:
“Perang ini bukan untuk menegakkan syariat Islam. Perang ini hanya untuk menyingkirkan penghalang dakwah menuju tegaknya syariat Islam. Meski ditopang pedang, Tapi [sic!] syariat Islam yang kuat dan mengakar hanya lahir dari masyarakat yang beriman. Tanpa mereka, Syariat yang sudah tegak akan kembali runtuh, Dengan segera, Pondasinya keropos [sic!]! … Kalau di negaramu tak ada perang, Perjuangkan jangan sampai ada perang. Selama dakwah masih bisa berjalan, Meski derngan kepayahan. Meski memakan beberapa korban, Hindari perang! Karena meski perang ini telah usai, Kami di Suriah tetap harus kerja keras susah payah berdakwah untuk menegakkan syariat Islam.”
Perkataan iu saya kutip dalam laman facebook Fathi Nasrullah, seorang relawan kemanusiaan dari Indonesia di Suriah. Kata Mujahidin itu, syariat Islam yang kuat dan mengakar hanya lahir dari masyarakat beriman. Lalu bagaimanakah kiranya kalau dalam sebuah masyarakat yang tidak beriman diterapkan syariat Islam? Hasilnya sebagaimana yang terjadi pada wilayah takulukkan ISIS, ketika moncong-moncong senapan itu diarahkan pada para penduduk yang tak beriman, lalu mereka menjalankan syariat Islamnya secara terpaksa di bawah ancaman dan ketakutan. Mereka mengenakan jilbab dan cadarnya secara terpaksa, sholat secara terpaksa, dan menjadi Mu’min secara terpaksa, tanpa adanya ilmu yang merasuk dalam dada mereka dan menumbuhkan iman. Dan setelah ISIS terusir dari wilayah penerapan syariat Islam paksaan tersebut, terbukalah jilbab-jilbab para wanita, bergembiralah para lelaki yang bebas dari ‘ancaman syari’at’.
Kita patut bertanya pula, apa jadinya penerapan syariat Islam dan penegakkan khilafah sedang masyarakat masih buta terhadap ilmu pengetahuan modern itu? Mereka masih menggunakan ilmu pengetahuan yang tidak terbebas dari pandangan alam Barat (western worldview) yang rusak ketika diterapkan dalam masyarakat Islam. Mereka masih menjadi konsumen peradaban yang membebek produk-produk kapitalisme Barat yang destruktif, dan mereka tak mampu berbuat sesuatu terhadap ilmu pengetahuan Barat modern yang sayangnya oleh sebagian penyeru Islam dalam masyarakat ini sudah terlanjur dijauhi dan tidak boleh dipelajari oleh kaum Muslimin. Sebaliknya, kaum Muslimin yang mendekati ilmu-ilmu pengetahuan modern yang terkandung pandangan alam Barat itu tak memliki sistem imun dan landasan kuat serta cara pandang yang mapan berdasarkan pandangan alam Islam.
Akhirnya, yang hendak saya katakan dalam artikel ini tidak jauh dari pakar-pakar epistemologis Islamisasi ilmu atau ilmuisasi Islam. Mereka adalah para cendekiawan besar yang memulai perbaikan permasalahan ummat berdasarkan ilmu pengetahuan. Dikarenakan mereka ini telah melihat betapa kaum Muslimin terlampau ‘ghulluw’ untuk menerima dan menolak apa yang dianggap asing. Para begawan ilmu inilah yang melihat kebutuhan da’wah di masa modern ketika ilmu pengetahuan dan teknologi asing menggurita dan belum sempat bagi kaum Muslimin untuk melakukan pemfilteran. Sehingga bagi para cendekiawan ini, tentu saja termasuk Prof. Al-Attas, dengan memahami Barat, ilmu pengetahuan yang saat ini dirasuki worldview Barat, kita mampu menentukan langkah selanjutnya, yakni membenahi ilmu pengetahuan itu sesuai dengan kebutuhan ummat. Jalan satu-satunya yang ditempuh untuk bisa melakukannya tentu saja dengan tidak terjebak pada pelabelan bahwa “ilmu-ilmu pengetahuan modern itu tidak wajib dipelajari”. Jika ilmu-ilmu pengetahuan modern itu hanya bisa disebut sebagai ilmu dunia hanya karena bisa membawa manfaat di dunia saja, kita mestinya mulai berfikir bahwa seharusnya manfaat dunia itulah yang harus dirasakan Umat Islam untuk kejayaan dunia-nya. Untuk kemajuan syiar-syari’at Islam, dan kesejahteraan ummat itu sendiri. Wallahu’alam.
Diselesaikan di Cilodong, Depok, Kamis, 21 September 2017
*Penulis sempat menempuh studi sebagai mahasantri di Ma’had ‘Aliy Imam al-Ghazali