Islam dan Budaya: Antara Islamisasi dan Arabisme Islam

Islam dan Budaya: Antara Islamisasi dan Arabisme Islam

Ahda Abid al-Ghiffari*

“Al-Qur’an juga telah mempengaruhi orang2 Arab sendiri pada mematuhi tradisi bahasa tertulis, dan di-mana2 sahaja tradisi bahasa lisan terdapat pada bangsa2 yang baru memeluk agama Islam, maka pengaruh Al-Qur’anlah yang membawa kepada perubahan bagi bangsa2 itu menganut tradisi bahasa bertulis. Seluruh umat Islam telah sebanyak-sedikit mengasimilasi gaya bahasa Arab, dan tiada berkechuali itulah juga mengambil tulisan Arab sebagai tulisan bahasa sendiri masing2 [sic!].”    –Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.

 

Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya, Nabi Muhammad (Semoga Shalawat dan Salam tercurah kepadanya). Sebagai satu-satunya agama wahyu, ia memiliki ciri penting, yakni istilah ‘Islam’ itu sendiri yang disebut secara khusus dalam kitab sucinya. Hal ini hanya bisa dibandingkan dengan agama lain yang memberikan nama atas kepercayaannya berdasarkan akumulasi tradisi masing-masing. Islam tidak mengajarkan dengan sembarangan memberikan kesempatan kepada para pemeluknya untuk memberikan ‘nama’ kepada Tuhan mereka secara bebas. Lafaz ‘Allah’ tidak boleh diucapkan sembarangan, dan harus meniru bagaimana cara Nabi melafazkan ‘nama’ Tuhan dalam Islam tersebut. Hal ini karena, sebagai Tuhan yang menurunkan kitab suci, Allah sendirilah yang menyebut dirinya sendiri dalam Al-Qur’an. Lagi-lagi hal ini bisa dibandingkan dengan agama lain yang memberikan penyebutan terhadap Tuhan bukan berdasar dari kitab suci yang mereka pegangi.

Al-Qur’an dan ajaran Islam diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad. Dengan demikian, seseorang belum sah benar ke-Islamannya apabila belum mengucapkan syahadat Islam yang kedua, yakni mengimani Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah. Ini sebenarnya konsekuensi logis dari ajaran Islam itu sendiri. Karena melalui Nabi Muhammad-lah, seorang Muslim mengetahui ajaran-ajaran Islam. Nabi Muhammad merupakan kunci atau pintu masuk dari seluruh aspek keimanan dalam Islam. Nabi Muhammad-lah yang menjelaskan prinsip-prinsip dasar menjadi seorang Muslim. Sebagaimana ditegaskan oleh Adian Husaini, “Tanpa beriman kepada Nabi Muhammad saw dan wahyu yang dibawanya [yang diterima dari Allah] … manusia paling-paling [sic!] hanya sampai menjadi deis, mengakui adanya Tuhan ….! Tetapi manusia tidak akan pernah sampai mengenal siapa Tuhan itu, siapa Dia, siapa Nama-Nya, bagaimana sifat-sifat-Nya, dan bagaimana cara manusia menyembah-Nya” (Adian Husaini, “Konsep Islam sebagai Agama Wahyu”, makalah diskusi Insists, dapat diakses di www.insistnet.com).

Oleh karenanya, ajaran yang dibawa Nabi Muhammad tidak bisa disebut sebagai ‘Muhammadanism’, seperti para orientalis menyebut ajaran Islam. Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul yang menerima wahyu dari Allah, untuk dida’wahkan kepada seluruh manusia. Konsep ‘Muhammadanism’ sejatinya justru mereduksi ajaran Islam itu sendiri. Pemahaman ini secara fatal telah membentangkan jurang antara Allah dan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad diprasangka telah mengkreasi suatu bentuk ajaran dan konsep keimanan tertentu tanpa bimbingan wahyu dari Allah. Di sisi lain, beberapa orang malu-malu mengatakan Nabi Muhammad telah mengubah isi wahyu, karena menganggap yang mengetahui kebenaran dan makna Al-Qur’an, hanyalah Tuhan!

Orang yang mengatakan hanya Tuhan saja yang tahu kebenaran dan makna kitab suci yang Dia turunkan kepada Nabi-Nya sebenarnya telah menghina Nabi Muhammad. Orang-orang seperti ini sering berlindung dalam istilah-istilah ilmiah seperti ‘wahyu yang telah diterjemahkan dalam filsafat Muhammad’ atau ‘wahyu yang telah dikontekstualisasi dengan budaya Arab sehari-hari’. Meskipun mengaku Islam, orang-orang ini justru secara langsung menuduh Nabi Muhammad tidak memahami wahyu yang diturunkan Allah, oleh karena yang tahu kebenaran hanya Allah. Nabi Muhammad telah dituding menyelewengkan wahyu Allah yang suci ke dalam bentuk pemikiran dan konteks budaya Arab. Mereka menganggap, akal budi Muhammad merupakan ‘biang’ perantara yang telah menerjemahkan konteks wahyu ke dalam konteks realitas-budaya. Wahyu dari Tuhan yang maha benar, dianggapnya, telah dicampur dengan Arabisme oleh Muhammad, yang merupakan orang Arab. Kegagalan memahami tentang wahyu dan Nabi Muhammad ini membuat mereka lebih sengit dalam memvonis Islam. Mereka berujar, karena Nabi Muhammad telah menyampurkan Arabisme ke dalam ajaran Islam (yang berasal dari wahyu Tuhan yang Maha Tahu kebenaran), maka ajaran Islam yang kini dipraktekkan Umat Islam telah bercampur antara wahyu dan kebudayaan Arab.

Meskipun berlindung dalam jubah kebesaran ‘filsafat’ dan terlihat ilmiah, orang-orang ini sebenarnya tidak memahami konsep teologis dan genuine revealed religion dari Islam. Lebih jauh, mereka tidak memahami konsep Islamisasi dalam sejarah Islam. Hal ini dikarenakan kerangka pikir yang mereka gunakan menempatkan Islam sebagai agama budaya yang dipengaruhi oleh konteks realitas. Mereka menyamakan konteks kelahiran Islam dengan konteks kelahiran ajaran agama dan kepercayaan lain seperti Yahudi, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan lain sebagainya … Para pengamat amatir ini kurang jeli dalam memahami konteks kelahiran sebuah agama dan pengaruhnya. Oleh karenanya, Islam hanya dipandang sebagai ajaran Muhammad yang dipengaruhi oleh budaya Arab, kemudian berkembang seiring dengan ekspansi Islam di abad-abad setelah kelahirannya di seluruh penjuru bumi. Selebihnya, orang-orang ini hanyalah intelektual puber yang baru saja mendapat ilham dari para roh orientalis dalam waktu lelap mereka.

 

Islamisasi Budaya Arab

Sebagai sebuah agama, Islam diturunkan pada sebuah masyarakat, kondisi dunia, dan semangat zaman yang begitu asing dan berbeda dengan konsep ideal kehidupan yang ditawarkan Al-Qur’an. Namun oleh karena agama ini diturunkan untuk kehidupan manusia sendiri, Al-Qur’an memahami konteks realitas yang ada pada manusia dan segala hasil kebudayaannya. Dialektika inilah yang menyebabkan penyebaran Islam secara ideal merubah struktur, corak, dan, yang terpenting, pandangan alam manusia beserta hasil kebudayaannya itu. Konteks ini membuktikan bahwa ajaran Islam memberikan tafsiran perubahan yang berarti dalam susunan hidup masyarakat. Dengan kata lain, Islamisasi telah menimbulkan perubahan tata masyarakat dan budaya yang asing dan berbeda dengan konsep ideal yang ditawarkan Islam. Perubahan ini bersumber bukan pada tataran filosofis dan pemikiran, akan tetapi pada tahap pengaplikasian Al-Qur’an dalam memaknai realitas di mana Islam diturunkan dan dida’wahkan. Jika Al-Qur’an hanya dipahami oleh Tuhan yang maha tahu, dan Nabi Muhammad dianggap hanya sebagai agen penyerap kebudayaan Arab, maka perubahan transformatif dari struktur masyarakat jahiliyah ke dalam pengadaban Islam takkan pernah terjadi.

Patut untuk dipahami bahwa, dari segi bahasa, bahasa Arab merupakan bahasa yang pertama kali mendapat pengaruh Al-Qur’an. Banyak pakar seperti al-Attas menilai bahwa dipilihnya bahasa Arab sebagai bahasa Islam adalah karena keistimewaan bahasa ini. Orang sering salah mengira bahwa bahasa Arab adalah bahasa Nabi Muhammad dalam menerjemahkan agama yang diturunkan Tuhan kepadanya. Ini melahirkan kesalahan fatal, yang akhirnya menganggap Muhammad telah menulis Al-Qur’an sesuai dengan konteks kebudayaan yang ia tinggali. Sementara tidak ada bukti jelas yang menunjukkan Nabi Muhammad telah menulis Al-Qur’an. Bahasa Arab adalah bahasa yang dipilih oleh Al-Qur’an sendiri, bukan disebabkan oleh konteks di mana ia diturunkan.

Bahasa Arab dalam Al-Qur’an bukanlah bahasa yang menyerap makna dan unsur kebudayaan yang tengah hidup dalam masyarakat Arab pada saat ia diturunkan. Justru Bahasa Arab dalam Al-Qur’an memaknai dan mengarahkan pandangan manusia pada konsep ideal dalam ajaran Islam. Pakar sejarah dan kebudayaan, Syed Muhammad Naquib al-Attas mencontohkan konsep ‘insan’ dalam al-Qur’an yang telah mengarahkan secara jelas konsep itu diterapkan dengan seharusnya dalam kehidupan sehari-hari:

“Konsep insan sebagai ‘binatang rasional’ sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an, sebagai mempunyai daya ikhtiar diri sendiri dengan penggunaan intelek atau akalnya untuk dapat merangkum fahaman dan mematuhi petunjuk tanda2 [sic!] atau ayat yang menyatakan Tuhan. … dan ini dari kerana perumpamaan yang telah diberikan kepada makna istilah ‘rasional’ (dalam bahasa Arabnya: al-natiq) itu sebagai suatu daya berchita dan ber-kata2 [sic!]. Titik berat yang dikenakan oleh Al-Qur’an terhadap bakat dan bawaan berbahasa itu bukan sahaja diletakkan pada daya berchita dan ber-kata2, bahkan lebih dipentingkan pula bahwa berchita dan ber-kata2 itu haruslah dengan chara yang jelas” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Petaling Jaya: ABIM, 1990, hlm. 29-30).

Lebih jauh, al-Attas menjelaskan bahwa Al-Qur’an telah memilih penggunaan bahasa Arab karena bahasa itu mempunyai sifat asli dan kecenderungan yang saintifik, bukan estetik, dalam struktur gaya bahasanya. Sifat ini membuat bahasa Arab memberikan perubahan mendasar pada tata kebahasaan dan kesusasteraan Arab secara umum. Perubahan ini pula yang kemudian melandasi proses Islamisasi dalam perkembangan kebahasaan di wilayah-wilayah non-Arab, seperti di Kepulauan Melayu Nusantara. Sifat saintifik bahasa Arab dalam Al-Qur’an inilah yang kemudian membedakan antara bahasa ideal dalam Al-Qur’an dan bahasa Arab yang belum mengalami persentuhan dengan Islam. Oleh karena sifatnya yang saintifik dan di lain pihak sifat ke-estetikan diubah dengan gaya Islam, bahasa Arab yang terpengaruh Al-Qur’an menimbulkan suatu bentuk penjelasan rasional tersendiri. “Dari pengaruh Al-Qur’an telah timbul dalam bahasa Arab suatu ilmu persajakan yang kemudiannya meliputi segala bidang persajakan Islam,” begitu ungkap pakar sejarah dan kebudayaan di Melayu ini.

Perubahan inilah yang kemudian disebut sebagai Islamisasi. Budaya Arab bukanlah unsur yang memberikan sumbangan kepada Islam. Justru, melalui Nabi Muhammad, Al-Qur’an memberikan sumbangan besar terhadap bahasa dan budaya Arab. Dan seketika Islam menyebar ke seluruh penjuru bumi, terutama di Kepulauan Melayu Nusantara, Islamisasi juga telah menimbulkan perubahan penting pada struktur, gaya bahasa, dan pandangan alam yang terkandung dalam bahasa dan kebudayaan setempat. Hal tersebut dicapai melalui Islamisasi bahasa yang telah dilandasi dengan faktor kebahasaan Arab dalam Al-Qur’an. Konsep inilah yang sering gagal dipahami oleh para penganut teori borrowing culture. Justru banyak kebudayaan yang meminjam (baca: disumbang oleh) unsur ideal atau pandangan alam Islam dan berkembang setelah menggunakannya.

Konteks perubahan kebahasaan secara fundamental diterangkan dengan sangat baik oleh Abdul Hadi WM. Pakar sastra Indonesia ini menilai surat Asy-Syu’araa’ dalam Al-Qur’an telah berperan penting dalam perubahan struktur sosiologis penyair dan dunia kepenyairan Arab. Menurut Abdul Hadi, surat Asy-Syu’araa’ diturunkan dengan konteks filosofis, moral, dan sosiologis tertentu yang luas dan relevan. Surat Asy-Syu’araa’ berisi tentang laknatan terhadap penyair sesat. Konteks sosiologis dari ayat-ayat dalam surat Asy-Syu’araa’ melukiskan profesi kepenyairan dalam masyarakat Arab dan masyarakat pagan lain, yang juga sering berkaitan dengan ilmu sihir. Cukup banyak penyair yang berperan sebagai pawang dan ahli ilmu sihir, dan menulis mantra-mantra. Peranan menonjol penyair yang lain ialah sebagai juru bicara kabilah.

Syair-syair yang mereka tulis sebagian besar berkenaan dengan kehidupan di sekitar kabilah seperti peperangannya dengan kabilah lain, cerita penyair kepada gadis-gadis cantik yang dikenalnya di lingkungan kabilahnya, dan lain-lain. Sajak-sajak yang ditulis mengenai perseteruan antar kabilah seringkali sarat dengan ejekan dan penghinaan terhadap kabilah lain. Jenis sajak lain yang digemari ialah sajak cinta birahi yang tidak jarang mengarah pada pornografi, serta sajak yang dinamakan khamriyyah, yaitu pemujaan berlebihan kepada arak dan anggur. Seringkali keindahan gelas anggur dan rasa nikmat anggur diumpamakan atau disamakan dengan kecantikan seorang gadis dan kenikmatan yang diperoleh dari mencintainya (Abdul Hadi WM, Cakrawala Budaya Islam: Sastra, Hikmah, Sejarah, dan Estetika, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016, hlm. 16-17).

Penyair-penyair seperti itulah yang dilaknat di dalam Al-Qur’an. Merekalah yang disebut sebagai ‘sesat’, ‘berjalan dari lembah ke lembah’, ‘tanpa tujuan dan pendirian yang pasti’, dan ‘mengatakan apa yang tak diperbuat’. Akan tetapi konteks realitas-sosiologis terhadap para penyair pra-Islam ini berubah menyusul kedatangan Islam dan diturunkannya Al-Qur’an.

Jika Nabi Muhammad menyerap unsur Arabisme dalam dunia kepenyairan ini, maka Islam tidak akan berbicara banyak dalam perubahan masyarakat Arab. Karena pada zaman Islam “bukan lagi kemontokkan tubuh gadis cantik yang dipuji, dan juga bukan cuma rasa kesukuan yang sempit.” Syair, sajak, dan tema-tema puji-pujian pada zaman Islam ditujukan kepada pribadi Rasulullah. Ini melahirkan genre yang disebut al-mada’ih al-nabawiyah, atau nati’yah (pujian). Syair-syair itu pula yang mengubah pandangan tentang konsep kepahlawanan. Sebelumnya pahlawan dianggap sebagai bintang perang masing-masing kabilah, pada zaman Islam, yang disebut pahlawan adalah dia yang membela risalah agama yang benar, membela kaum yang dianiaya dan ditindas (Abdul Hadi WM, Cakrawala Budaya Islam …, hlm. 18).

Perubahan secara sosiologis dalam keprofesian dan pandangan alam dari tema-tema sastra Arab ketika masa Islam merupakan titik tolak terpenting dampak transformatif agama wahyu ini. Al-Qur’an secara fundamental telah merubah moral sosiologis bangsa Arab pra-Islam melalui arahan-arahan ideal yang nilai-nilainya tidak terdapat pada kebudayaan Arab dan Arabisme.

Perubahan pandangan alam Islam sebagai agama wahyu menyebabkan orientasi kebudayaan dan sastra, secara khusus, tidak lagi bersifat hedonistik dan berisi kepentingan-kepentingan pragmatis seperti pertengkaran antar suku. Lebih jauh, pandangan alam yang telah ditanamkan kepada kebudayaan Arab itu sendiri telah menjadikan bahasa, kebudayaan, perilaku pembelaan dan kepahlawanan, dan juga etos moral ditujukan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Akhirnya, Arabisme dan budaya jahiliyah bukanlah unsur yang diserap, namun justru diubah akar dan pandangan alamnya oleh Al-Qur’an. Sehingga, cukup bebal dan biadab jika ada yang mengatakan realitas Arabisme, seperti yang ada dalam profesi kepenyairan dan budaya jahiliyah itu, diadopsi oleh Nabi Muhammad sebagai sebuah filsafat atau pemikiran dalam nubuwwahnya yang mulia. Wallahua’lam.[Red : Tori Nuariza]

 

*Ahda Abid al-Ghiffari sempat menempuh studi sebagai mahasantri di Ma’had ‘Aly Imam Al-Ghazali Surakarta dan kini menjadi pengasuh di pondok pesantren At-Taqwa Depok.

 

Catatan Kaki

  1. Bahkan orang-orang ini sering menyebut Rasulullah tanpa gelarnya sebagai Nabi atau bersholawat atasnya. Walaupun mereka Muslim dan pernah belajar di pondok pesantren bergengsi di negeri ini, sikap mereka terhadap penyebutan Nabi Muhammad ini sudah termasuk sangat kurang ajar.