Dalam Jalur Konservatifisme dan Reaksionerisme: Jauh Jalan Peradaban Islam

Dalam Jalur Konservatifisme dan Reaksionerisme: Jauh Jalan Peradaban Islam

Ahda Abid al-Ghiffari*

Bagi Ali A. Allawi ‘cengkraman’ pemikiran Wahhabi/Salafi atas Muslim mengalami kemunduran setelah serangan 9/11. “Muslim terdorong—sebagian karena serangan-serangan ganas terhadap keyakinan mereka yang datang dari berbagai penjuru—untuk mempertanyakan arah Islam pada masa modern ini.” Kalangan fundamentalisme Islam atau yang kini lebih akrab disapa sebagai kalangan jihadi—tersebab makna fundamentalisme Islam tidak lagi bisa disederhanakan melalui konsep yang menggambarkan para pengemban-pengemban anti liberalisme atau penegakkan syariat Islam semata—mungkin memilih untuk mengartikannya sebagai ‘hikmah’ atau semacam ‘karomah’ 9/11 yang menyebabkan keajaiban konversi dan meningkatnya gairah untuk mengenal al-Qur’an bagi warga Amerika. Bagaimanapun 9/11 memiliki derivasi yang sangat unik setelah kehebohannya berlangsung.

Perjalanan Jihadi mungkin cukup panjang untuk bisa diceritakan di sini. Untuk mengatakan Jihadi di Indonesia mengalami sebuah transformasi teologi yang berarti sehingga mengubah watak gerakannya, adalah mungkin, dan kesaling-terkaitan antara dunia Wahhabi dengan dunia Klasik Islam—yang kini telah merenggang jauh—itupun masih bisa kita lacak narasinya. Gelombang baru pemikiran yang muncul semenjak abad ke-18 itu nyatanya menjadi arus kuat yang khas, dan tiba-tiba meninggalkan watak tradisionalismenya. Tanpa kita mau untuk melupakan bahwa penyambung sanad keilmuan Taimiyyun nyatanya juga merupakan seorang ulama yang mengikuti Tarekat Naqsabandiyah di Haramain. Generasi Wahhabi masa kini, dan oleh karenanya disebut sebagai Salafi modern oleh Ali A. Allawi rupanya patut mendapat pengaminan oleh kita bahwa dirinya terkonstruk oleh anasir kepentingan politik yang merubah sifat dasar dan pemutusan hubungannya dengan tradisi klasik Islam.

Semenjak diklaim disponsori oleh al-Qoidah (saya tetap memakai nama ini dibanding ‘al-Qaeda’) 9/11 merupakan aksi-aksi penting di mana segenap aliran radikalisme dalam Islam yang berbentuk pada perlawanan bersenjata menguat dan memastikan dirinya dalam sejarah. Tetapi apakah ini sebuah bencana atau hanya sebagai fase sejarah yang repetitif. Tentu saja kita akan mendapati klaim dan penisbatan firqiyah—dengan apapun penyebutannya—sebagai imbangan historis pararelis dari khawarij yang muncul pada zaman Imam Ali ra. Akan tetapi sebagai sebuah bencana peradaban, Wahhabi dan turunannya, Jihadi, cukuplah bisa dikatakan sebuah arus yang menghendaki sebuah tatanan yang tak mampu bersaing, bahkan menjadi sebuah raksasa yang mengkonsumsi produk peradaban yang digolongkan menjadi rival Peradaban Islam.

Mengapa kemudian Jihadi selalu dapat dilacak sampai pada sejarah Wahhabiyah. Ini tentu pertanyaan mudah jika jawabannya merupakan pengulangan dari sebuah pemikiran yang memperlihatkan aksi-aksi non kompromi dan kekerasan dalam gerakannya. Sampai pada peristiwa 9/11 itu pula, Wahhabi yang formal (rasmiyyah) mulai mempolarkan diri, mengidentifikasi dirinya berbeda dengan pelaku yang melakukan serangan pada peristiwa 9/11. Wahhabi yang kemudian dapat kita katakan sebagai Salafi modern ini menjadi lebih eksklusif, dan berusaha membantah klaim bahwa sejarah kekerasan dan anti kompromi dalam Islam berasal dari sejarahnya.

 

Mengambil Jalan dan Konservatifisme dan Reaksionerisme Jalan Lain

Meski demikian, identitas yang melekat dan tak mampu dilepaskan tentu saja masih dipegang erat. Bahkan betapapun kemudian upaya pembersihan itu, yakni upaya memoderatisasi diri dan berusaha menampakkan bahwa mereka bukan berasal dari bagian sejarah kekerasan dalam Islam, paradoks menampakkan diri dalam bentuk propagandis-propagandis yang terdahulu dikenal moderat dan santun dalam berda’wah—bahkan di era Youtube zaman sekarang. Siapa yang mampu mengelak adanya keanehan pada para asatidz yang tadinya hanya berbicara tentang ‘tazkiyatun-nafs’ tiba-tiba menjadi propagandis Saudi tatkala secara politis negara ini bergesekkan dengan tetangganya Qatar?

Konyolnya kita selalu keliru mendefinisikan kekerasan dan radikalisme yang terjadi di dunia Muslim. Lacakan kita terhadap sejarah kekerasan dalam Islam selalu berhenti terhadap sosok Ibn Taimiyah yang mencetuskan banyak hal dan menstrukturkan doktrin anti kompromi dalam sistem hukum Islam, sehingga membuatnya begitu kaku dan merubah elastisitasnya. Ali A. Allawi sempat menyinggung sejarah kekerasan itu sendiri bisa juga dilacak dalam sejarah Syiah. Tapi itu rupanya kurang mampu menegaskan bahwa satu unsur kekerasan dalam konteks peradaban Islam bisa menjadi bencana yang bukan hanya dapat ditunjukkan dari kekerasan itu sendiri. Kenyataannya, sekali lagi dalam logika yang sama, kita harus bicara dari segi kompleksitas peradaban Islam.

Kalau rupanya dalam peradaban Islam kita mengenal—apa yang disebut Ali A. Allawi sebagai—‘penerimaan’, dalam bagian tradisi Islam klasik itupun kita masih mendapati bagian terkeras yang tidak bisa kita sisihkan dalam melihat Islam. Dan apabila wajah Islam yang telah mengemuka itu terbentuk, kepastian bahwa kekerasan semata rupanya tidak mampu menjadi tolok ukur untuk melihat ‘sebencana apakah unsur kekerasan mampu menghadirkan ketertinggalan yang berarti bagi peradaban Islam?’ Lagi-lagi pada level tertentu pengaruhnya memang begitu merubah watak Umat dan tentu saja peradabannya. Lagipula, kita juga sering salah menjawab pertanyaan soal kekerasan tersebut.

Dari kalangan yang paling gencar mengutuki Wahhabi hari ini, Asya’iroh (Asy’ariyyah), rupanya tidak lepas dari watak kekerasan dan pengaruh reaksioner. Hanya saja, memang, kalangan reaksioner ini memiliki kesempatan dan berfikir lebih dialektis pada level tertentu, dan memiliki keberanian inklusif pada taraf yang lain. Pada akhirnya gerakan yang ‘diendors’ dengan kekuatan massa dan pemantik yang berapi-api hanya berujung pada—apa yang disebut sebagai—populisme Islam. Dan kadar kekerasan dalam gerakan yang masih berakar dari tradisi Islam klasik ini masih ditentukan oleh sifat elastisnya; mereka berusaha tidak meninggalkan kultur dan struktur lokalitas tertentu. Watak kalangan yang tak bisa digebyah berasal dari kalangan Asya’iroh ini akhirnya hanya dipengaruhi semangat politik tertentu oleh para ideolog yang sering pula disebut sebagai ulama.

Sehingga pada saat Salafisme modern dalam bentuknya yang formal justru mengutuki kekerasan —dan masih mempertahankan konservatifisme dan ke-non-akomodasionisme-annya— kalangan Asya’iroh reaksioner justru mempertahankan unsur populisme yang disuntuk dengan enerji yang luar biasa untuk melawan dengan cara frontal. Kalangan yang mempertahankan populisme Islam ini pada akhirnya berhasil menarik simpatisme sebesar-besarnya dari semua kalangan Islamis kecuali Salafisme modern yang formal. Bentuk-bentuk politik semacam ini rupanya sulit untuk dipertahankan, dan dalam konteks peradaban memakai logikanya sendiri. Pada akhirnya kita mampu memberikan pemaknaan, bahwa rupanya dorongan kekuatan yang mempengaruhi perkembangan pemikiran dalam berbagai gerakan dan aliran tersebut dipacu oleh arus politik. Itulah sederhananya, yang disebut Islam Politik tidak bisa dikategorikan berasal dari kalangan Wahhabiy, meski dalam masalah tertentu sikap mereka betul-betul tepat.

Permasalahan yang penting saat ini adalah kebutuhan akan pemahaman bahwa keduanya sebenarnya merupakan masalah peradaban. Dorongan politisisme dalam Islam dan Umat Islam belakangan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap arah dan gerak peradaban Islam yang masih terpasung dalam benturan-benturan politik-ekonomi yang terjadi. Sulitnya menentukan arah akhirnya menjadi kesimpulan tersendiri, Islam versi apa, strategi macam apa, dan juga perombakan struktur sosial macam apa yang dikehendaki, masih merupakan suatu hal yang sangat kabur. Keduanya belum mampu untuk mencapai kesadaran ‘civilisationis’ dan jalan yang bisa ditempuh dalam kesadaran ini adalah perjuangan politik melalui jargon Syariah Islam, yang tentu saja masih dikerangka dalam tujuan-tujuan kekuasaan itu.

Salafi modern telah mengubah cara-cara dan jalur itu, namun konteks peradaban lagi-lagi menjadi tembok besar yang tak pernah terlihat bagi mereka. Kini yang menjadi jargon mereka adalah untuk kembali ke masa awal, masa para sahabat, di mana menurut mereka Islam masih dalam keadaan murni. Tetapi justru di situlah letak tumbuhnya benih perdebatan dan konflik teologi pada abad pertengahan Islam. Kekurangan ini menyebabkan mereka harus berlari di tempat dalam sebuah kepengapan konflik permasalahan ketepatan penggunaan akal dalam Islam, konflik furu’iyyah, dan akhirnya kesumpekkan perdebatan kalam dan teologis tersebut berulang kembali. Ini semua hanya menegaskan suatu ruang pada skeptisisme dibalik adrenalin yang terus disuntikkan ke dalam tubuh umat, tanpa henti. Itu merupakan masalah reaksionerisme yang membangkitkan semangat, namun kosong dalam kenyataan rekonstruksi peradaban Islam. Wallahu’alam.[Red : Tori Nuariza]

Depok, Hujan Mengiring, 18 Oktober 2017, 17.22.

*Ahda Abid al-Ghiffari sempat menempuh studi sebagai mahasantri di Ma’had ‘Aly Imam Al-Ghazali Surakarta dan kini menjadi pengasuh di pondok pesantren At-Taqwa Depok.