CHITTADONG, (Wartamuslimin.com) — Dalam 4 bulan sejak Militer Myanmar memulai operasi brutalnya menindas dan menyiksa penduduk Muslim Rohingya pada 25 Agustus lalu, sekitar 655.000 penduduk Muslim yang kini berstatus tanpa kewarganegaraan terpaksa melarikan diri dari wilayah negara bagian Rakhine dan menyeberang ke negara tetangga Bangladesh. .
Sebuah grafik yang disusun tim Reuters dengan memanfaatkan data-data dari Program Aplikasi Satelit Operasional U.N (UNOSAT) baru-baru ini menunjukkan ratusan desa di negara bagian Rakhine yang pernah didiami oleh penduduk Rohingya, yang tampak melalui citra satelit, terbakar habis.
Sebanyak 354 Desa Rohingya mengalami hancur total atau hancur sebagian, demikian menurut Human Rights Watch mengatakan pada 18 Desember lalu.
Data yang dikumpulkan mulai 25 Agustus sampai 25 November tersebut, menunjukkan bahwa pemukiman yang terbakar membentang sejauh 110 km dari perbukitan hijau ujung Rakhine Utara hingga ke pantai dekat negara bagian ibukota Sittwe di Selatan.
Pejabat tinggi PBB dan Amerika Serikat (AS) sebelumnya menegaskan bahwa tindakan brutal Militer Myanmar sebagai aksi pembersihan etnis.
Sementara itu, Myanmar menolak tudingan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, dengan mengatakanMiliternya terlibat dalam operasi kontra-pemberontakan yang sah.
Militer Myanmar terus berupaya membebaskan diri dari semua tuduhan kekejaman dalam penyelidikan internal, yang menerbitkan temuannya pada 13 November lalu.
Bahkan Pemerintah sipil Myanmar berdalih mengatakan bahwa pembakaran tersebut malah dilakukan oleh para militan Rohingya dan penduduk Rohingya sendiri.
Militer Myanmar tidak menanggapi pertanyaan Reuters tentang perananya dalam dugaan kekejaman terhadap Rohingya yang dijelaskan dalam grafik yang baru saja dirilis Reuters itu.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu,,] sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Laporan Doctors Without Borders (MSF)
“Kami bertemu dan berbicara dengan para korban kekerasan di Myanmar, yang sekarang berlindung di kamp-kamp [pengungsian] yang padat dan tidak sehat di Bangladesh,” jelas MSF.
“Apa yang kami temukan sangat mengejutkan, baik dari segi jumlah orang yang melaporkan seorang anggota keluarganya yang meninggal akibat kekerasan, dan cara-cara mengerikan yang mereka katakan mereka dibunuh atau terluka parah.”
Puncak kematian tersebut bertepatan dengan peluncuran “operasi pembersihan” terbaru oleh pasukan Militer Myanmar pada pekan terakhir bulan Agustus, kata Dr. Sidney Wong, Direktur Medis Doctors Without Borders (MSF).
“Penembakan menyebabkan 69 persen insiden kekerasan, terkait dengan kematian, diikuti dengan aksi pembakaran sampai korban mati di rumah-rumah mereka (9 persen) serta dipukuli sampai mati (5 persen).
“Di antara anak-anak di bawah usia 5 tahun, lebih dari 59 persen yang dibunuh dalam periode tersebut dilaporkan ditembak mati, 15 persen dibakar sampai mati di rumah-rumah mereka, 7 persen dipukuli sampai mati, dan 2 persen meninggal dunia karena ledakan ranjau darat”, pungkasnya.
Sidney Wong. mengatakan bahwa penandatanganan sebuah kesepakatan untuk kembalinya para pengungsi antara pemerintah Myanmar dan Bangladesh adalah tindakan “prematur”.
Rohingya seharusnya tidak dipaksa untuk kembali, terkait keamanan dan hak-hak mereka perlu dijamin sebelum rencana semacam itu dapat dipertimbangkan secara serius, imbuhnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuding Myanmar mengizinkan pasukan militernya untuk terlibat dalam operasi pembersihan etnis terhadap Muslim Rohingya.
Badan-Badan bantuan kemanusiaan telah memperingatkan bahwa ada kekhawatiran nyata bahwa anak-anak yang rentan tersebut dapat menjadi korban-korban pelecehan ataupun perdagangan manusia.
Para pengungsi Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Myanmar di mana tentara dan gerombolan ektrimis Buddha membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah-rumah mereka dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Ini adalah gerakan “terbesar dan tercepat” dari populasi sipil di Asia sejak tahun 1970an, demikian pernyataan PBB.
Beberapa pakar PBB beberapa pekan lalu mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan “semua kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya dan menghentikan penganiayaan yang sedang berlangsung serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius”.
Seruan yang dibuat oleh 7 pelapor khusus PBB yang menangani hak asasi manusia tersebut muncul di laman situs resmi Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR).
Pakar PBB menyatakan terdapat berbagai tuduhan yang kredibel atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran serius. Para ahli juga mengatakan Myanmar harus memberikan “akses kemanusiaan secara bebas” kepada organisasi internasional untuk membantu pengungsi di internal Rakhine.
Pernyataan bersama tersebut juga menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu mencakup pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang dan perlakuan sewenang-wenang yang berlebihan, kekerasan seksual dan berbasis gender, dan penculikan paksa, “serta pembakaran dan penghancuran lebih dari 200 desa-desa Rohingya dan puluhan ribu rumah “.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dibantai dalam tindakan brutal Militer Myanmar, pada bulan September lalu.[NZ]