KTT Luar Biasa OKI Istanbul
Oleh: Azyumardi Azra
Istanbul, Turki, 18 Mei 2018. Kota lama Istanbul yang berada di kawasan Eropa kembali menjadi lokasi Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB), Organisasi Kerja sama Islam (OKI). KTT LB VII OKI kali ini diselenggarakan atas undangan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk menyikapi pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 14 Mei.
Penjagaan di hotel tempat delegasi menginap sangat ketat. Kendaraan polisi dan ambulans Turki ada di mana-mana. Polisi, baik berpakaian lengkap maupun berbusana sipil dengan pistol dan senjata otomatis laras panjang, juga berkeluyuran.
Penjagaan lebih ketat juga dapat ditemui di Istanbul Convention Center. Tapi keadaan ini tampak tidak mengganggu anggota delegasi. Sebagian mereka—lengkap dengan igal busana Arab lengkap—sambil ngobrol dengan sesama delegasi asyik minum Coke atau kopi yang disediakan panitia, meski Ramadhan.
Agaknya mereka memanfaatkan rukhsah (keringanan) sebagai ‘musafir’. Ini kontras dengan delegasi Indonesia yang terbang sekitar 14 jam, tapi tetap setia puasa; tidak memanfaatkan keringanan sebagai musafir.
Apa mau dikata? Tampaknya bagi sebagian delegasi dalam praktiknya memperlihatkan ibadah wajib seperti puasa tidak ada hubungan dengan perjuangan bangsa tertindas seperti Palestina. Padahal ibadah puasa mengandung makna perwujudan solidaritas bagi mereka yang nestapa.
Nestapa. Pemindahan Kedutaan Besar AS yang menambah kenestapaan bangsa Palestina jelas melanggar banyak Resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB. Langkah ini dengan segera meningkatkan kemarahan bangsa Palestina dan negara-negara Muslim, termasuk Indonesia seperti dinyatakan Presiden Jokowi.
Tetapi, kemarahan itu tampak lebih simbolik atau basa-basi bagi banyak negara Muslim. Tidak terlihat langkah konkret untuk menyikapi kenestapaan bangsa Palestina seperti terlihat dalam perkembangan mutakhir.
Turki dan Israel memang saling mempersona-nongratakan duta besar; tetapi tidak sampai pada pemutusan hubungan diplomatik. Bisa diduga, seperti terlihat pada ‘krisis’ hubungan antara kedua negara ini sebelumnya, jika keadaan sudah reda, hubungan diplomatik kembali normal.
Begitu juga, negara Arab lain, seperti Mesir dan Yordania yang juga mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Atau Qatar yang memiliki hubungan dagang dengan Israel. Tidak satu pun di antara negara ini yang mengancam atau apalagi benar-benar memutuskan hubungan diplomatik atau hubungan dagang dengan Israel.
Maka pertanyaannya adalah: “Seberapa seriuskah negara-negara OKI dalam mempertahankan Yerusalem dari genggaman Israel dan Amerika Serikat?”
Sebagian jawaban dari pertanyaan itu terlihat dari kenyataan bahwa kebanyakan negara OKI tidak mengirim ke KTT LB OKI VII kepala negara atau raja, atau kepala pemerintahan atau wakil presiden atau wakil perdana menteri. Negara-negara kunci dalam OKI, seperti Arab Saudi atau Mesir, mengirimkan pejabat setingkat menteri.
Dalam konteks itu, tidak heran jika Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menyatakan dalam sidang KTT, negara-negara OKI harus memperlihatkan sikap bersatu dalam menyelesaikan masalah Palestina. Dengan kata lain, selama sikap pemerintah negara-negara OKI, khususnya di Dunia Arab, memperlihatkan perbedaan tajam, selama itu pula Israel dan AS leluasa.
Meski demikian, KTT LB OKI seperti diharapkan mengeluarkan Komunike dengan 30 poin yang isinya sudah sering didengar publik Dunia Muslim dan Dunia Internasional lebih luas. Singkatnya, ada kutukan terhadap Israel yang terus menduduki Tanah Palestina dan menewaskan lebih 60 jiwa warga Palestina dalam gelombang protes beberapa pekan terakhir.
Komunike juga menegaskan penolakan terhadap kebijakan AS menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel; dan mengutuk pemindahan Kedutaan Besarnya ke al-Quds. Langkah ini dipandang sebagai permusuhan dan provokasi terhadap umat Muslimin.
Pesan penting Komunike lain adalah imbauan kepada PBB (DK PBB, MU PBB, Sekjen PBB, dan Dewan HAM PBB) untuk segera membentuk Komisi Investigasi dalam menyelidiki aksi kekerasan Israel di Jalur Gaza beberapa waktu terakhir.
Lantas apa yang bisa diharapkan dengan Komunike itu? Supaya tidak terlalu kecewa nanti, sebaiknya tidak berharap banyak. Tidak bakal ada perubahan; bangsa Palestina tetap dalam kenestapaan dan ketertindasan.