GROZNY, (Wartamuslimin.com) — Lebih dari satu juta Muslim berkumpul di Chechnya, Rusia pada hari Senin (04/09) untuk memprotes penganiayaan rezim Myanmar terhadap Muslim Rohingya, demikain menurut pernyataan Kementerian Dalam Negeri Rusia.
Jutaan massa Muslim di Grozny, ibukota Chechnya, membawa simbol dan spanduk-spanduk yang menuntut diakhirinya pembunuhan warga sipil tak berdosa di negara bagian Rakhine, Myanmar, di mana akhir bulan lalu operasi Militer Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap Muslim Rohingya yang belum pernah terjadi sebelumnya, hingga ratusan Muslim Rohingya direnggut nyawanya.
“Hentikan Genosida di Myanmar!”, “Hentikan Genosida Muslim Rohingya!”, dan “Hentikan Pembunuhan Muslim Myanmar,” tulis para pengunjuk rasa dalam beberapa spanduknya, mengutip laporan kantor berita Anadolu.
Menurut Kementerian Dalam Negeri Rusia sekitar 1,1 juta Muslim Checnya, termasuk ribuan lainnya dari daerah-daerah tetangga, berkumpul dalam aksi solidaritas Muslim Rohingya tersebut, yang diakhiri dengan Sholat Dzuhur berjamaah dan doa bersama di Masjid Agung ibukota Grozny, yang juga dikenal sebagai “Heart of Chechnya”.
Dalam sebuah pidatonya, pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov membandingkan kekerasan terhadap Rohingya dengan “Holocaust”. Dalam sebuah video yang dirilis Senin pagi (04/09), Kadyrov mengatakan bahwa dia akan “melawan Rusia” jika pemerintah Rusia mendukung Militer Myanmar, dikutip dari Associated Press (AP).
Pasukan Federal Rusia terlibat 2 perang berdarah di Chechnya di tahun 1990an.
Kekerasan meletus di Negara Rakhine Myanmar pada 25 Agustus ketika pasukan keamanan negara tersebut melancarkan operasi militer terhadap komunitas Muslim Rohingya.
Ini memicu masuknya pengungsi baru ke negara tetangga Bangladesh meskipun negara tersebut menutup perbatasannya untuk para pengungsi Rphongya.
Lebih dari 2.600 rumah Muslim Rohingya telah dibakar di Rakhine di Myanmar Barat pekan lalu, menurut pernyataan pemerintah Sabtu (02/09), dalam salah satu serangan paling mematikan yang melibatkan minoritas Muslim dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Sekitar 58.600 Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan menuju ke perbatasan Bangladesh dari Myanmar, demikian menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR, saat para pekerja bantuan kemanusiaan di sana berjuang untuk mengatasi persoalan tersebut.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat, terjadi pada hari Jumat (25/08), mengakibatkan korban sipil massal, menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Kemudian, laporan media muncul mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah memindahkan ribuan penduduk desa-desa Muslim Rohingya, bahkan membakar rumah-rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin.
Ditrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
Dari hampir 90 korban tewas diantarnya merupakan seorang tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap. Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw, menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer tersebut.[NZ]