XINJIANG, (Wartamuslimin.com) — Amnesty International (AI) menegaskan bahwa Cina harus menghentikan represi yang sistematis dan memberikan penjelasan mengenai nasib sekitar satu juga orang mayoritas Muslim yang ditahan secara sewenang-wenang di daerah otonomi Uighur Xinjiang (XUAR). Pemerintah setempat dalam setahun terakhir meningkatkan kampanye penahanan massal, pengawasan intrusif, indoktrinasi politik, asimilasi paksa terhadap etnis Uighur dan Kazakhs serta kelompok etnis lainnya.
Mayoritas keluarga korban tidak mendapatkan informasi mengenai nasib orang-orang yang mereka cintai. Mereka juga ketakutan untuk berbicara mengenai penahanan tersebut.
“Pemerintah Cina tidak boleh diijinkan untuk terus melakukan kampanye kejam ini terhadap etnis minoritas di barat laut Cina. Pemerintah di seluruh dunia harus meminta pertanggung jawaban Cina atas kekejaman yang terungkap di XUAR,” kata Direktur Amnesty International Asia Timur Nicholas Bequelin dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/09).
Menurut Bequelin, keluarga etnis muslim tersebut telah cukup menderita. Ratusan ribu keluarga telah tercerai berai oleh kampanye masif ini. Mereka putus asa mencari informasi mengenai apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai.
“Sekarang waktunya otoritas Cina memberikan mereka jawaban,” pungkasnya.
Dalam laporan terbaru Amnesty International, “China Where are they? Time for answers about mass detentions in Xinjiang Uighur Autonomous Region“, Amnesty International memaparkan mengenai penderitaan orang-orang yang telah kehilangan kontak dengan keluarga ataupun teman mereka yang yang ditahan di XUAR.
Amnesty International mewawancarai lebih dari 100 orang di luar Cina yang telah kehilangan anggota keluarga mereka di XUAR dan orang-orang yang disiksa di kamp-kamp penahanan disana.
Penahanan Massal
Penahanan orang-orang dari kelompok etnis mayoritas Muslim di XUAR meningkat sejak Maret 2017, ketika aturan terkait “Deradikalisasi” diadopsi di daerah tersebut. Secara terbuka atau pribadi menunjukkan afiliasi agama dan budaya termasuk menumbuhkan jengggot yang “tidak normal”, menggunakan hijab, melaksanakan ibadah, berpuasa atau tidak meminum alkohol, atau memiliki buku atau artikel terkait Islam ataupun budaya Uighur dapat dianggap sebagai “ekstremis”.
Bepergian ke luar negeri untuk bekerja dan melanjutkan pendidikan khususnya ke negara-negara mayoritas Muslim atau melakukan komunikasi dengan orang-orang yang berada di luar Cina bisa menjadi alasan utama seseorang menjadi target dari aktivitas pengintaian. Laki-laki, perempuan, muda ataupun tua, mereka yang tinggal di kota atau di daerah perdesaan semuanya berisiko untuk ditahan.
Pemeriksaan keamanan yang hampir ada di setiap wilayah dan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari bagi mereka yang tinggal di XUAR. Sering petugas keamanan memerika telepon genggam untuk memeriksa konten-konten yang mencurigakan atau memeriksa identitas orang-orang menggunakan software pendeteksi wajah.
Orang-orang dengan mudah dicurigai melalui pemantuan pesan-pesan yang dikirimkan di aplikasi media sosial seperti WeChat yang tidak menggunakan sistem enkripsi. Menggunakan aplikasi alternatif berenkripsi seperti WhatsApp bisa berujung pada penahanan.
Otoritas setempat menyebut kamp-kamp tersebut sebagai pusat “transformasi-melalui-pendidikan”, tapi banyak juga yang menyebutnya “kamp-kamp pendidikan ulang”. Mereka yang dikirim ke kamp-kamp tidak akan menjalani pengadilan dan tidak memiliki akses pengacara dan tidak memiliki hak untuk menggugat penahanan tersebut.
Orang-orang akan menderita berbulan-bulan di kamp-kamp penahanan karena hanya otoritas setempat yang berhak untuk menyatakan apakah seseorang telah “berubah” atau belum.
Seorang warga Uighur, Kairat Samarkan, dikirim ke kamp penahanan pada Oktober 2017 pada saat kembali ke XUAR setelah melakukan kunjungan singkat ke Kazakhstan. Polisi mengatakan kepada dia bahwa dia ditahan karena memiliki dua kewarganegaraan dan hal tersebut dianggap sebagai penghianatan terhadap negara. Ia dibebaskan pada Februari 2018.
Kairat menceritakan kepada Amnesty International bahwa tangan dan kakinya dibelenggu dan dia dipaksa untuk berdiri tegap dan tidak boleh bergerak selama 12 jam ketika pertama ditahan. Ada sekitar 6.000 orang di kamp yang sama, dimana mereka dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu politik dan mempelajari pidato-pidato Partai Komunis Cina.
Mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara dan dipaksa menyanyikan “Hidup Xi Jinping” sebelum makan. Kiarat mengatakan kepada Amnesty International bahwa penyiksaan yang dideritanya mengakibatkan dia mencoba untuk bunuh diri sebelum akhirnya dibebaskan.
Mereka yang menolak atau gagal menunjukkan perkembangan terancam hukuman mulai dari makian hingga tidak diberi makan, ditempatkan di ruang isolasi dan dipukuli. Banyak laporan terkait kematian di dalam tahanan termasuk bunuh diri oleh mereka yang tidak sanggup menjalani proses tersebut.
Otoritas setempat menjustifikasi penggunaan tindakan ekstrim tersebut dengan dalih untuk melawan “terorisme” dan menjamin “keamanan nasional”. Bagaimanapun juga, tindakan untuk melindungi warga negara dari ancaman harus proporsional.
“Kamp-kamp penahanan massal tersebut adalah tempat untuk mencuci otak dan menyiksa. Penahanan karena menghubungi keluarga di luar negeri menunjukkan betapa tindakan otoritas China sangat tidak dapat dibenarkan,” ujar Nicholas Bequelin.
Hilang Kontak Dengan Keluarga
Selama berbulan-bulan, anggota keluarga dari korban yang ditahan di kamp penahanan hanya bisa menanggung penderitaan mereka sendirian. Mereka berharap kehilangan kontak dengan orang yang mereka cintai tersebut hanya sementara saja.
Mereka khawatir akan memperkeruh situasi jika mencoba mencari pertolongan dari luar. Dikarenakan hingga saat ini belum ada kejelasan informasi, banyak dari mereka yang mulai secara publik berbicara.
Bota Kussaiyn, seorang mahasiswa yang berasal dari etnis Kazakh yang sedang belajar di Universitas Moscow State, berbicara dengan ayahnya, Kussaiyn Sagymbai, melalui WeChat pada bulan November 2017. Berasal dari XUAR, keluarga mereka pindah dan menetap di Kazakhstan pada 2013.
Ayah Bota kembali ke Cina pada akhir 2017 untuk bertemu seorang dokter, tapi otoritas setempat menyita passportnya setelah sampai di XUAR. Bota mengetahui dari anggota keluarganya bahwa ayahnya dikirim ke “kamp Pendidikan ulang”.
Kerabatnya di XUAR sangat mengkhawatirkan bahwa komunikasi lebih jauh akan membuat mereka dalam ancamanan. Mereka akhirnya menghentikan komunikasi dengan Bota.
Banyak anggota keluarga dan teman yang tinggal di luar negeri mengatakan mereka merasa bersalah karena komunikasi mereka membuat para kerabat di XUAR dalam bahaya. Otoritas setempat menuduh mereka memiliki hubungan dengan grup dari luar dan pemerintah Cina menuduh mereka mempromosikan “ekstrimisme” agama atau membuat rencana “teror”.
Untuk menghindari kecurigaan dari otoritas, warga etnis Uighur dan Kazakhs dan lainnya di XUAR telah memutuskan hubungan dengan teman dan keluarga yang tinggal di luar Cina.
Mereka memberitahu teman untuk tidak menghubungi atau meminta menghapus kontak di aplikasi media sosial. Karena para kerabat yang tinggal di luar negeri tidak mendapatkan informasi yang cukup maka mereka hanya bisa menduga hal terburuk telah terjadi.
Ketika orang tua ditahan, maka anak-anaklah yang menderita karena banyak keluarga yang akan mengalami kesulitan ekonomi. Anak-anak yang lebih tua dikirim ke pusat-pusat pelatihan milik negara, sementara adik-adik mereka dikirim ke “pusat-pusat kesejahteraan” yang dibangun sejak tahun 2017.
Pengintaian
Untuk menambah tekanan kepada kerabat yang tinggal di luar negeri, petugas keamanan Cina secara agresif berupaya merekrut mata-mata yang berasal dari komunitas-komunitas yang ada di luar negeri. Mereka-mereka yang ditargetkan diancam bahwa keluarga mereka di XUAR akan ditahan jika mereka tidak kooperatif.
Jika mereka koperatif, otoritas Cina menjanjikan anggota keluarga yang mereka cintai akan diperlakukan dengan tidak keras. Ketidaktahuan mengenai komunitas-komunitas mana saja di luar negeri yang menjadi pelapor kepada otoritas keamanan China membuat kerabat hidup dalam kecurigaan, isolasi dan ketakutan.
“Kampanye sistematis oleh otoritas China membawa konsekuensi yang buruk bagi kehidupan jutaan orang. Sekarang saatnya otoritas setempat untuk terbuka mengenai kamp-kamp tersebut dan menyatukan mereka kepada keluarga mereka kembali,” tandas Nicholas Bequelin.[NZ]