Ulama dan Cendekiawan Internasional Tegaskan “Umat Islam, Wajib Dukung Rohingya”

Shaikh Ali Al-Qaradaghi, Secretary General of the International Union of Muslim Scholars

DOHA, (Wartamuslimin.com) — International Union of Muslim scholars (IUMS) yang berbasis di Doha, Qatar baru-baru ini menyerukan umat Islam dunia untuk menunjukkan solidaritasnya kepada Muslim Rohingya, yang menjadi korban tindak kekerasan dan pembunuhan massal di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat.

Dalam pernyataannya, Ikatan Ulama dan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS) menegaskan bahwa adalah kewajiban semua Muslim untuk mendukung Rohingya dengan segala cara.

IUMS juga mendesak para pemimpin dunia Muslim untuk melakukan upaya-upaya politik dan mengerahkan badan bantuan kemanusiaan untuk menyalurkan pertolongannya kepada saudara Muslim Rohingya di Myanmar.

Sheikh Ali al-Qaradaghi, Sekretaris Jenderal IUMS, mendesak dunia Islam untuk fokus pada penderitaan Rohingya dalam khotbah-khotbah Jumatnya.

“Situasi di Arakan [negara bagian Rakhine] memalukan bagi seluruh dunia dan pemerintahan, institusi, politisi, intelektual, dan ilmuwannya. Ribuan orang terbunuh dan terlantar dan tidak ada yang menangis untuk mereka, ” pungkas Sheikh Ali al-Qaradaghi,  dilansir dari Anadolu.

Sekjen IUMS juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung “saudara-saudara Muslim mereka di Myanmar”.

Menurut laporan PBB, 270.000 Muslim Rohingya telah menyeberang ke wilayah Bangladesh sementara puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi akibat kekerasan terakhir tiga pekan lalu.

Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.

Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.

Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka  dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.

John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”

Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.

Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.

Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.

Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya

Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kekerasan terbaru meletus di negara bagian Rakhine, Myanmar, sekitar 3 pekan yang lalu ketika Militer melancarkan operasi brutal terhadap komunitas Rohingya.

Bangladesh, yang telah menjadi tuan rumah bagi sekitar 400.000 pengungsi Rohingya, telah menghadapi gelombang besar masuknya pengungsi baru sejak operasi Militer Myanmar diluncurkan.[NZ]