Walau Dihadang Polisi India, Ribuan Muslim Kashmir Protes Genosida Muslim Rohingya

SRINAGAR, (Panjimas.com) — Ribuan Muslim Kashmir turun ke jalan berpartisipasi dalam aksi solidaritas dengan komunitas Muslim Rohingya yang dianiaya di Myanmar.

Aksi protes atas kekejaman brutal Militer Myanmar tersebut diadakan di kota tua Srinagar meskipun disana diberlakukan kebijakan jam malam oleh pemerintah India.

Aksi protes pembantaian Rohingya lainnya juga diadakan di kota Anantnag, Pampore dan Tral di Kashmir Selatan.

Dalam aksi protes di Anantnag, massa bentrok dengan pasukan polisi dan paramiliter India saat mereka meneriakkan slogan-slogan menentang “genosida” Muslim Rohingya oleh pemerintah Myanmar, dilansir oleh Anadolu.

Sedikitnya enam polisi India mengalami luka-luka dalam bentrokan tersebut, sementara massa yang marah membakar sebuah kendaraan polisi India.

 

Pengungsi Rohingya Capai 370.000 Jiwa

Angka terbaru untuk pengungsi yang telah menyeberang dari negara bagian Rakhine Myanmar ke Bangladesh terdapat kenaikan sebanyak 57.000 jiwa pada angka yang diberikan oleh Badan Pengungsi PBB, Senin (11/09).

Para pengungsi tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal baru-baru ini di mana mereka mengatakan bahwa pasukan militer dan gerombolan ektrimis Budha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, bahkan menjarah rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.

Menurut Bangladesh, sekitar 3.000 penduduk Rohingya dibantai dalam tindakan brutal Militer Myanmar tersebut.

 

Minoritas Paling Tertindas di Dunia

Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”

Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.

Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.

PBB telah mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan – termasuk pembunuhan bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh petugas keamanan.

Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.

Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka  dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.

Bangladesh, yang telah menjadi tuan rumah bagi sekitar 400.000 pengungsi Rohingya, telah menghadapi gelombang besar masuknya pengungsi baru sejak operasi Militer Myanmar diluncurkan.[NZ]