SARAJEVO, (Wartamuslimin.com) — Para Korban yang selamat dari genosida Muslim Srebrenica pada tahun 1995 turut angkat bicara mengenai situasi bencana kemanusiaan serta kekejaman brutal yang dihadapi Muslim Rohingya di Myanmar.
Bagi Muslim Srebrenica, situasi genosida Rohingya mengingatkan mereka akan trauma mendalam yang dihadapi serta pengalaman memilukan selama Perang Bosnia.
“Dunia masih diam membisu, seperti di Srebrenica,” ujar Muhamed Omerovic, salah satu korban yang selamat dari pembunuhan massal tahun 1995 di Srebrenica, saat berbicara dengan Anadolu Ajensi di ibukota Bosnia-Herzegovina, Sarajevo.
Omerovic dulu masih berusia 18 tahun ketika perang Bosnia pecah pada tahun 1992. Dirinya dipaksa berkeliaran selama sepekan lamanya di dalam hutan setelah Srebrenica diduduki oleh pasukan Kristen Serbia-Bosnia.
“Jalan Kematian” [Death Road] adalah nama yang diberikan pada rute pelarian bagi para korban yang melarikan diri dari pembunuhan massal Srebrenica; Jalan itu “dipenuhi dengan kematian dan perangkap,” terang Omerovic.
Muhamed Omerovic mengungkapkan bahwa dirinya merasakan rasa sakit yang mendalam tidak hanya pada jiwanya bahkan tubuhnya karena situasi yang dihadapi Muslim Rohingya sekarang ini.
Idriz Smajic, seorang korban lain selamat dari Perang Bosnia yang dulu berusia 17 tahun saat 1995 dan kehilangan kakinya selama perang, mengatakan: “22 tahun yang lalu, Kami mengalami tentang, apa yang dihadapi Muslim Rohingya hari ini.”
“Orang-orang yang mencoba melarikan diri dibunuh dan dipenjarakan … Warga sipil dibunuh di daerah tersebut, padahal wilayah tersebut dibawah perlindungan PBB.”
Smajic mendesak para pemimpin masyarakat internasional untuk bertindak melawan pembunuhan massal, dengan menegaskan bahwa dia tidak dapat mempercayai bagaimana para pemimpin dunia tetap “acuh tak acuh” terhadap kematian anak-anak Rohingya yang tidak bersalah.
Pembantaian Muslim Srebrenica
Sejak tahun 2005, ribuan orang telah menghadiri Mars Mira (yang berarti Pawai Perdamaian dalam bahasa Bosnia lokal), yang mengikuti jalur hutan yang sama yang digunakan oleh Muslim Bosniaks saat mereka melarikan diri dari genosida Srebrenica.
Jalan dari Srebrenica ke Tuzla umumnya dikenal sebagai “Death Road” [“Jalan Kematian”].
Muslim Srebrenica dikepung oleh pasukan Serbia antara tahun 1992 dan 1995 selama Perang Bosnia. Saat itu, milisi Serbia mencoba merebut wilayah tersebut dari orang Muslim Bosnia dan Kroasia untuk membentuk negara mereka sendiri.
Dewan Keamanan PBB telah menyatakan Srebrenica sebuah “daerah aman” pada musim semi tahun 1993. Namun, pasukan Serbia yang dipimpin oleh Jenderal Ratko Mladic – yang sekarang menghadapi tuduhan genosida di Den Haag – menyerbu zona PBB meskipun terdapat sekitar 450 tentara Belanda yang ditugaskan sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB.untuk melindungi warga sipil yang tidak berdosa.
Pasukan Belanda gagal bertindak saat pasukan Serbia menduduki daerah tersebut, hingga menewaskan sekitar 2.000 pria muslim termasuk anak pada tanggal 11 Juli saja 1995 saja. Sekitar 15.000 penduduk Srebrenica melarikan diri ke pegunungan di sekitarnya namun tentara Serbia memburu dan membantai 6.000 di antaranya di hutan.
Sebanyak 6.504 korban terkubur di Srebrenica Genocide Memorial di Potocari.
Pembantaian di kota Bosnia timur itu dikenal luas sebagai pembunuhan massal terburuk sejak era Perang Dunia II, “Srebrenica massacre” terjadi ketika satu Batalion pasukan penjaga perdamaian PBB asal Belanda, gagal melindungi warga sipil dari para pembantai pasukan Serbia-Bosnia.
Sekitar 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim Bosnia terbunuh setelah tentara Serbia-Bosnia menyerang “daerah aman” Srebrenica pada bulan Juli 1995, terlepas dari kehadiran tentara Belanda yang bertugas sebagai penjaga perdamaian internasional.
Pada bulan Juli 2014, sebuah pengadilan di Belanda memerintahkan Belanda untuk memberi kompensasi kepada lebih dari 300 keluarga korban Srebrenica, dengan menegaskan bahwa pasukan penjaga perdamaian Belanda seharusnya tahu bahwa mereka akan dibunuh.
Pengungsi Rohingya Capai 400.000 Jiwa
Diperkirakan sekitar 400.000 Muslim Rohingya terpaksa meninggalkan wilayah Myanmar sejak 25 Agustus menyusul tindak kekerasan oleh Militer, demikian menurut PBB , Kamis (14/09).
“Sekitar 400.000 Rohingya telah meninggalkan Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus, dengan ribuan lainnya tiba setiap harinya. Sekitar 60 persen adalah anak-anak,” ujar Badan Anak-anak PBB, UNICEF, dalam sebuah pernyataan.
“Terdapat kekurangan akut di segala hal, yang paling kritis adalah tempat tinggal, makanan dan air bersih,” pungkas Perwakilan UNICEF di Bangladesh, Edouard Beigbeder, dilansir dari Anadolu Ajensi.
UNICEF mengajukan permintaan sebesar $ 7,3 juta dollar untuk memberikan dukungan darurat kepada anak-anak Muslim Rohingya di Bangladesh untuk empat bulan ke depan.
Para pengungsi Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi keamanan militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah dan bahkan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 Muslim Rohingya dibantai dalam tindakan kekerasan Militer Myanmar tersebut.
Minoritas Etnis Paling Tertindas di Dunia
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.[NZ]