MAUNGDAW, (Panjimas.com) — Hampir 214 desa-desa Muslim di negara bagian Rakhine di Myanmar telah hancur total, demikian pantauan citra satelit yang diungkap oleh badan hak asasi manusia internasional, Selasa (19/09).
Human Rights Watch (HRW) menegaskan bahwa gambar citra satelit tersebut ditangkap Sabtu lalu. HRW mengungkapkan terjadi penghancuran besar-besaran di daerah tersebut.
“Mereka menunjukkan penghancuran puluhan ribu rumah di Kotapraja Maungdaw dan Rathedaung, ini merupakan bagian dari kampanye militer pasukan keamanan Burma (Myanmar) yang telah memaksa lebih dari 400.000 Muslim Rohingya untuk melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh,” terang HRW yang berbasis di New York dalam sebuah pernyataan yang dirilis secara online, dikutip dari Anadolu.
HRW menambahkan gambar baru tersebut menunjukkan lebih dari 90 persen bangunan di setiap desa-desa di Maungdaw dan Rathedaung rusak parah.
“Gambar-gambar tersebut menguatkan fakta-fakta yang dikumpulkan oleh Human Right Watch dari para pengungsi yang telah menggambarkan pembakaran, pembunuhan, dan penjarahan oleh gerilyawan militer, polisi, dan etnis Rakhine Burma,” bunyi pernyataan HRW tersebut.
Phil Robertson, Deputi Direktur Asia Human Rights Watch, mengatakan bahwa gambar-gambar tersebut “memberikan bukti mengejutkan tentang penghancuran besar-besaran dalam upaya nyata oleh pasukan keamanan Burma untuk mencegah Rohingya kembali ke desa-desa mereka.”
Robertson mendesak para pemimpin dunia untuk bertemu di PBB untuk bertindak mengakhiri krisis yang meningkat ini dan menunjukkan kepada para pemimpin Militer Myanmar mereka akan membayar harga untuk kekejaman semacam itu.
Sejak 25 Agustus, lebih dari 421.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Rakhine ke Bangladesh, menurut PBB.
Sementara Militer Myanmar mengatakan bahwa mereka hanya menargetkan gerilyawan Rohingya, al-Hussein mencemooh pernyataan tersebut, dengan mengatakan bahwa citra satelit dengan jelas menunjukkan bahwa Militer Myanmar membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Para pengungsi Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi keamanan militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah dan bahkan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 Muslim Rohingya dibantai dalam tindakan kekerasan Militer Myanmar tersebut.
Minoritas Etnis Paling Tertindas di Dunia
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.[NZ]