“Rohingya Dulu dan Kini”

“Rohingya Dulu dan Kini”

 Fuji Pratiwi

Tahun-tahun terakhir ini, Muslim Rohingya menyedot perhatian dunia. Sayangnya, kabar tentang mereka selalu jauh dari nuansa gembira. Berbicara Muslim Rohingya hari-hari ini selalu saja menggoreskan rasa pilu.  Sejatinya, siapakah mereka?

Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim yang sebagian besarnya mendiami negara bagian Arakan (kini Rakhine) di Myanmar. Meski berpuluh generasi telah lahir dan hidup setelah leluhur, mereka pertama kali menjejakkan kaki di Myanmar, Pemerintah Myanmar tidak mau mengakui orang-orang Rohingya sebagai warga negara.

Tanpa kewarganegaraan, Rohingya harus menelan pahitnya penindasan, tak hanya di tanah tempat mereka lahir dan besar, tapi juga di kamp pengungsian di perbatasan Bangladesh – Thailand. Mereka seolah tertolak di semua sudut dunia.

Kendati kaum Buddha Myanmar menolak keberadaan Rohingya,  catatan sejarah secara gamblang menyebut bahwa etnis ini telah hidup di Rakhine selama berabad-abad. Populasi Muslim yang cukup besar pernah hidup di bawah Kerajaan Mrauk-U yang memerintah Rakhine pada pertengahan abad 15 hingga akhir abad 18 (1430-1784).

Raja-raja Buddha dari  Kerajaan Mrauk-U kala itu bahkan, menghormati Muslim dan menggunakan istilah-istilah Islam untuk beberapa jabatan kerajaan seperti yang digunakan Dinasti Moghul di Asia Selatan.

Kala itu, banyak orang Rohingya yang bekerja melayani Raja Narameikhla (Min Saw Mun) yang memerintah Arakan pada 1430-an Masehi. Raja Narameikhla memberi ruang bagi Muslim untuk menjadi panasihat dan pejabat di pengadilan di ibu kota Arakan. Bahkan, komunitas Muslim saat itu boleh membangun masjid yang kemudian disebut Masjid Santikan.

Para raja Buddha di masa Kerajaan Mrauk-U bahkan, begitu menghormati kaum Muslim. Bukti yang ada menunjukkan, komunitas Muslim tersebut adalah cikal bakal etnis Rohingya. Kelompok ini kemudian berasimilasi dengan kelompok pendatang dari Bangladesh yang dibawa Inggris di masa pemerintahan kolonial.

Namun, etnis Rohingga tidak bermula dari para pendatang itu. Pada 1785, pemeluk Buddha dari selatan Burma menaklukkan Arakan. Mereka mengusir semua Muslim Rohingya yang mereka temui. Sekitar 35 ribu warga Arakan lari ke Bengal yang ketika itu menjadi bagian daerah kekuasaan Inggris di India.

Pada 1826 Masehi, Inggris mengambil alih Arakan setelah Perang Anglo-Burma Pertama (1824-1826 Masehi). Mereka membawa para petani dari Bengal untuk mendiami tempat tak berpenduduk di Arakan. Mereka terdiri dari warga Bengal asli dan mereka yang semula berasal dari Rohingya.

Aliran imigran dadakan ini memicu reaksi dari pemeluk Buddha Rakhine yang mendiami Arakan saat itu. Benih ketegangan etnis yang tertanam sejak saat itu ternyata memunculkan dampak buruknya hingga hari ini.

Selama ini, istilah Rohingya selalu mengacu pada orang Bangladesh yang dibawa Kolonial Inggris. Namun, narasi itu salah. Dari catatan sejarah, pada 1799, seorang sersan di British East India Company,  Francis Buchanan, pernah berkunjung ke Myanmar dan bertemu kelompok Muslim yang telah lama menetap di Arakan (atau Rakhine saat ini).

Komunitas Muslim ini menyebut diri mereka Rooinga atau warga asli Arakan. Hal itu mengindikasikan bahwa orang Rohingya sudah menetap di Rakhine, bahkan sebelum 1823 Masehi. Pada 1830-an, gelombang warga dari Bangladesh mengalir ke Myanmar karena upah pekerja di Arakan lebih besar dibandingkan di Bangladesh.

Mereka umumnya bekerja sebagai pekerja tani, pekerja sektor perdagagan, dan buruh pabrik. Jumlah mereka pun jadi dominan di Arakan.

Pada masa kolonial, protes anti-India (yang di dalamnya terdapat pula Bengali) pecah di Burma karena perasaan tidak adil atas penempatan warga Bengali di area permukiman khusus di Arakan, Tenasserim, dan daerah rendah Burma. Protes itu juga terjadi di Rangoon dan kota-kota utama lain pada 1926 dan 1938. Namun, tidak pernah berdampak apa pun kepada warga di Arakan, termasuk warga Muslim.

Kehidupan bersama yang damai antara dua kelompok agama di Arakan senantiasa terjaga hingga awal Perang Dunia II. Ketika Perang Dunia II berkecamuk, Inggris menelantarkan Arakan di tengah ekspansi Jepang ke Asia Tenggara. Di tengah kepanikan Inggris menarik diri tanah jajahannya, pasukan Muslim dan Buddha malah terlibat konflik terbuka.

Kala itu, sebagian Rohingya masih berharap proteksi Inggris. Bahkan, ada beberapa Rohingya yang bekerja sebagai mata-mata atas Jepang bagi tentara Sekutu. Saat mengetahui itu, Jepang membantai Rohingya di Arakan. Akibatnya, puluhan ribu Rohingya Arakan sekali lagi mengungsi ke Bengal.

 

Diakui sebagai warga negara

Lepas dari kolonialisme Inggris, parlemen Myanmar pada 1948-1962 mengakui Rohingya sebagai warga negara. Perdana Menteri U Nu menyebut kelompok Muslim Rakhine dengan istilah Rohingya. Kepada orang Rohingya, Pemerintah Myanmar saat itu memberikan kartu tanda penduduk dan dokumen legal, memberi hak kewarganegaraan, bahkan beberapa program siaran radio mengudara dalam bahasa orang Rohingya.

Peneliti London School of Economics, Maung Zarni bahkan, mengunggah beberapa dokumen bahasa Burma yang menunjukkan pengakuan Pemerintah Burma atas etnis Rohingya selama dipimpin Perdana Menteri U Nu dan era awal masa kepemimpinan Jenderal Ne Win. Termasuk di dalamnya adalah pernyataan masyarakat, bukti siaran radio resmi, buku yang dicetak lembaga resmi pemerintah, dan aneka izin yang resmi diterbitkan pemerintah.

Beberapa anggota parlemen Myanmar pascakemerdekaan secara terbuka menyebut diri mereka orang Rohingya. Mereka menolak memasukkan kawasan permukiman Rohingya ke dalam Negara Bagian Arakan. Karena itu, pada 1961,U Nu memutuskan untuk membagi Buthidaung, Maungdaw, dan separuh Rathedaung yang didiami warga Rohingya menjadi wilayah administrasi bernama Mayu Frontier Administration yang terpisah dari mayoritas Buddha di Arakan.

Namun, semua berubah saat Myanmar dipimpin rezim militer di bawah komando Jenderal Ne Win. Benedict Rogers, dalam Burma: A Nation at the Crossroads menulis, pemerintahan Ne Win memiliki aturan tidak tertulis, yakni menghabisi komunitas Muslim, Kristen,Karen, dan etnis lain. Karena itu, pemerintahannya saat itu sangat ketat mengatur kewarganegaraan, mulai dari aturan imigrasi dan puncaknya adalah keluarnya aturan kewarganegaraan pada 1982.

Mayu Frontier Administration akhirnya kembali disatukan dalam Negara Bagian Arakan. Ribuan warga Rohingya mencari suaka ke Bangladesh selama konflik pada 1978 dan 1991. Sejak saat itu pula, warga Rohingya secara sistematis kehilangan kewarganegaraan.

Dari generasi ke generasi, warga Myanmar hidup dengan doktrin bahwa orang Rohingya adalah orang yang tak diinginkan di Myanmar, pencuri tanah, dan kesempatan ekonomi, serta berniat buruk menghabisi warga Buddha sebagai mayoritas.

Untuk mendapat kewarganegaraan, mereka harus membuktikan telah tinggal di Myanmar selama 60 tahun. Namun, dokumen macam itu hampir musykil dimiliki orang Rohingya. Bilapun ada, mereka sering tetap ditolak. Bila beruntung mendapat kewarganegaraan, status mereka adalah warga naturalisasi.

Karena itu, mereka tak punya hak untuk belajar, bekerja, bepergian, dan menjalankan agama. Semua terlarang bagi mereka.

***

Kilas Sejarah Rohingya

–    Abad 8

Muslim pertama kali tiba di Kerajaan Arakan (sekarang Negara Bagian Rakhine).

–    Abad 16-17

Pasukan Arakan melancarkan serangan ke wilayah tetangganya, Bengali. Muslim Bengali yang ditawan, dibawa ke Arakan.

–    1785

Arakan ditaklukkan oleh Kerajaan Burma.

–    1825

Arakan ditaklukkan oleh Inggris.

–    1825-1942

Muslim tiba dari Bengal ke Arakan.

–    1942

Pertempuran sengit pecah antara Muslim dan kaum Buddhis Arakan.

–    1948

Burma, kini disebut Myanmar, meraih kemerdekaan dari Inggris.

–    1982

Rohingya tidak diakui sebagai salah satu dari 135 etnis resmi di Myanmar. Pemerintah juga menolak memberi kewarganegaraan kepada orang-orang Rohingya.

–    1990

Sekitar 200 ribu Muslim Rohingya yang telah mengungsi ke Bangladesh dipaksa kembali ke Myanmar.

–    2013-2015

Menggunakan perahu-perahu kayu, puluhan ribu Muslim Rohingya melakukan eksodus ke berbagai negara  seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia untuk menyelamatkan diri.

Oleh Fuji Pratiwi, editor : Wachidah Handasah

Sumber : Republika 28 November 2016

http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/16/11/28/ohcmk240-rohingya-dulu-dan-kini