SUKOHARJO, (Wartamuslimin.com) — Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah menggelar Workshop Penanggulangan Syi’ah, Pluralisme dan Radikalisme, Sabtu-Ahad (10-11/3/2018) di Gedung Induk Siti Walidah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Acara ini sengaja digelar dalam rangka menyamakan persepsi dan menyusun strategi penanggulangan Syi’ah, Pluralisme dan Radikalisme di Jawa Tengah.
Ketua Panitia Workshop, Dr. Hardiwinoto, M.Si mengatakan, paham Syi’ah, Pluralisme dan Radikalisme merupakan persoalan krusial saat ini. Ia berharap ada pemandangan yang benar terkait tiga hal itu. Pasalnya, dikalangan Muhammadiyah masih ada perbedaan pendapat, misalnya tentang definisi radikal.
Ia mengungkapkan, di masyarakat radikal di persepsikan sebagai sesuatu yang garang. Bahkan, dilekatkan pada simbol-simbol keislaman. Misalnya, celana cingkrang, jenggot dan surban.
“Padahal kalau dari sisi bahasa, radikal itu sesuatu yang mendasar. Jadi bukan berarti orang yang mau memurnikan agamanya dilekatkan pada bentuk radikalisme,” ujarnya, Sabtu kemarin (10/3/2018).
Lanjutnya, persoalan pluralisme saat ini sangat memprihatinkan. Di masyarakat ada anggapan bahwa semua agama benar dan baik. Hal ini terutama tumbuh dikalangan generasi muda.
Menurutnya hal ini harus segera ditanggulangi agar keimanan umat tidak tergerus. Jika tidak segera ditanggulangi, maka akan tumbuh pemikiran tidak perlu gigih dalam mengamalkan ajaran Islam. Padahal tujuan dakwah adalah menumbuhkan keyakinan umat bahwa ajaran Islam itu benar dan bersemangat mengamalkannya.
Dalam Islam itu kan, jelas disampaikan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Ini perlu diperkuat sehingga keimanan umat tidak tergerus, tidak abu abu dan tidak ragu terhadap kebenaran Islam,” tuturnya.
Dr. Hardiwinoto menambahkan, workshop ini diharap mampu melahirkan strategi dakwah, khusunya bagi Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya. Hal ini di maksudkan agar dakwah tentang bahaya Syi’ah, Pluralisme dan Radikalisme dapat dilakukan dengan benar dan tepat. Oleh karena itu para da’i Muhammadiyah harus memahami tiga persoalan tersebut.
Misalnya, dalam konteks kekerasan radikalisme adalah tindakan berbahaya. Tapi dalam konteks belajar agama secara mendalam dan menjalankan ajaran agama secara murni, hal ini tidak bisa disebut ‘radikal’. Begitu pula dalam memahami pluralisme, kemajemukan menjadi realitas dalam hubungan umat beragama di Indonesia. Namun, sangat keliru jika mendefinisikan semua agama baik dan benar.
“Ini harus di fahamkan kepada semua mubaligh Muhammadiyah. Intinya agar para mubaligh telat dan benar dalam menyampaikan persolan issue issue ini pada umat,” pungkas Hardiwinoto yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS).
Acara ini setidaknya diikuti 100 delegasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) seluruh Jawa Tengah, organisasi otonom seperti Nasyiatul Aisyiyah (NA), Pemuda Muhammadiyah, STIKES Muhammadiyah, dan lain lain.
Rep : A. Setiyanto / Red : Tori Nuariza