“Pesantren Takeran”, Saksi Bisu Pemberontakan PKI 18 September 1948

Ratusan orang dijagal dan dimasukkan ke dalam sumur tua yang ada di tengah perkebunan tebu sewaktu pemberontakan PKI Madiun pada September 1948. Anehnya malah terlihat dilupakan atau dianggap tak penting!

Perkebunan tebu tampak mengering mengiringi sengatan suhu yang dibuat matahari di sekitar wilayah Takeran, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Di dashboard mobil tercatat suhu di luar ruangan mencapai 40 derajat Celcius. Udara terasa mengepul seolah tanpa oksigen. Angin perdesaan yang lazimnya sejuk, terasa seperti sengatan bara.

Di sebuah warung tikungan jalan yang letaknya di samping pabrik gula Rejosari, Kecamatan Kawedanan, Magetan, beberapa orang lelaki tampak duduk meriung sebuah warung. Di seberang jalan tampak sebuah tugu yang dipucuknya terpacak patung burung garuda terbang. Saat itu beberapa orang datang berkunjung ke monumen dalam rangka peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah karangan bunga diletakkan di kaki tugu tersebut.

”Ya, persis di bawah tugu itulah dulu lubang pembantaian PKI 1948. Setelah jenazahnya diambil, sumur ditimbun kembali. Beberapa tahun setelah tragedi itu di situ kemudian didirikan monumen,” kata Jumiran (57 tahun), warga Desa Rejosari, akhir pekan lalu (30/9), seperti dilansir Republika.

Menurut Jumiran, para pengunjung monumen tak hanya datang pada bulan September atau Oktober saja. Pada hari biasa banyak juga keluarga korban pembantaian yang datang untuk berdoa dan tabur bunga. ”Mereka datang dari jauh, dari luar Magetan. Kadang ada juga yang menyelenggarakan tahlilan di situ,” tukas Pariyem (75 tahun), warga Desa Rejosari lainnya.

Ketika ditanya siapa sebenarnya yang dulu “ditanam” di dalam lobang sumur itu, Pariyem mengaku tak tahu persis karena dia saat itu masih anak-anak. Hanya, orang tuanya memberitahu bahwa mereka yang dibunuh bukan berasal dari kampungnya. ”Mereka orang jauh. Kata orang tua, ada bupati, wedana, jaksa, kiai, haji, pegawai, dan lainnya. Untuk persisnya, lihat saja nama-nama yang ada di tembok monumen,” ujarnya.

Dan ketika dicek di tembok monumen, di sana terpacak 26 nama. Mereka di antaranya bupati Magetan, para anggota kepolisian, patih Magetan, wedana, kepala pengadilan Magetan, kepala penerangan Magetan, lima orang kiai, dan para warga biasa lainnya. Selain itu masih ada lima sumur lainnya yang juga dipakai sebagai ajang pembantaian. Bila dijumlahkan, seluruh korban pembantaian tercatat ada 114 orang. Mereka diantar ke lokasi eksekusi dengan cara diangkut dengan gerbong lori milik yang biasa untuk mengangkut tebu. (Lihat gambar gerbong lori yang dipakai untuk mengangkut para korban yang hendak di eksekusi di Perkebunan Tebu Takeran, pada waktu meletusnya Pemberontakan PKI 1948 di Madiun)

Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis KH Imam Shofwan. Dia pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan azan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

Selain itu, beberapa nama yang menjadi korban adalah keluarga Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) Takeran. Mereka adalah guru Hadi Addaba’ dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari mantan mendiang ketua DPR M Kharis Suhud. Selain perwira militer, pejabat daerah, wartawan, politisi pun ikut menjadi korbannya.

Para bangsawan Kesultanan Yogyakarta yang menjadi pengikut Diponegoro menjadi Kiai dengan mendirikan Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur
Para bangsawan Kesultanan Yogyakarta yang menjadi pengikut Diponegoro menjadi Kiai dengan mendirikan Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur

Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) KH Zakaria (83 tahun) mengatakan, seusai shalat Jumat pada 17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa orang tokoh PKI. Kepala rombongan yang dipimpin aktivis PKI Suhud. Mereka datang didampingi para pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di Takeran.

Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) KH Zakaria

”Ketika menjemput kepada Kiai Mursyid Suhud menukil ayat Alquran, innalloha laa yughoyirru bi qoumin hatta yughoyiyiru maa bi anfusihim (Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib satu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri). Setelah berkata seperti itu, Kiai Mursyid pun dibawa pergi dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya,” kata Zakaria seraya mengaku bahwa peristiwa itu dan siapa saja orangnya hingga sekarang masih diingatnya dengan baik. (Keterangan gambar: KH Zakaria, Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM), Takeran.)

Zakaria menceritakan, tak cukup menyerbu pesantren PSM Takeran, pada saat itu banyak pesantren lain yang ada di sekitar Madiun dan Magetan yang juga didatangi gerombolan masa PKI pimpinan Muso itu. Salah satu di antara yang diserbu itu adalah Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren tua yang ada tak jauh dari wilayah Takeran.

”Ketika massa PKI sampai di pesantren Tegalrejo itu, pengasuh pondok, KH Imam Mulyo ditangkap dan dilempari beberapa granat sembari diancam agar mau tunduk kepada ideologi dan partai mereka. Syukurnya granat itu tak meledak,” ujar Zakaria.

Karena granat tak meledak, lanjutnya, maka kini ganti para santri yang tadinya diam saja berbalik melawan mereka. Para gerombolan itu ternyata pengecut karena malah lebih memilih lari karena ketakutan. “Mbah Kiai Pesantren Tegalrejo akhirnya bisa lolos dari penculikan,” ungkap Zakaria. Dia kemudian menerangkan bila masa yang menyerbu pesantren itu berpakaian hitam, bersenjata, dan berikat kepala merah.

Melihat proses penculikan, di kemudian hari Zakaria menyimpulkan bahwa aksi kejam berupa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI pada bulan September tahun 1948 itu bukanlah aksi biasa yang tanpa tujuan. Setidaknya, mereka benar-benar sudah mempersiapkannya dengan matang. Ini terbuti hanya dalam waktu singkat para pemberontakan tersebut mampu menguasai wilayah yang cukup luas, yakni meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus.

”Sebelum meledak, di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Muso yang baru pulang dari Moskow. Pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai Mursyid mau diajak berunding karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,” tegas Zakaria.

Tak hanya menyapu daerah di timur Gunung Lawu, aksi PKI di tahun 1948 juga memakan “wilayah barat”, seperti Klaten dan Solo. Tanpa dinyana dalam sebuah perbincangan ringan di pinggir Kali Code, Yogyakarta, pada 1 Oktober lalu, seorang cucu Lurah sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah, Arfan Suasdiantoro menceritakan nasib keluarganya yang pada tahun 1948 dibantai PKI.

”Eyang saya yang bernama Pudjo Sukarto adalah seorang kepala desa. Beliau dibunuh PKI hanya karena mendirikan mushala. Tiba-tiba saja segerombolan orang datang menyerbu rumah. Mereka merebut pistol eyang saya dan menembaknya di bagian leher tembus hingga bagian kepala. Ibu saya yang saat itu masih berusia sekitar enam tahun menyaksikan langsung peristiwa itu,” kata Arfan.

Arfan mengatakan, kisah pembunuhan sang kakek memang telah diceritakan kepada semua saudaranya. Dan ibunya pun berpesan agar peristiwa itu dijadikan pelajaran bahwa pada saat itu memang telah ada ideologi yang tidak menghargai kepercayaan orang beragama.

Massa PKI ditangkap di Madiun 1948
Massa PKI ditangkap di Madiun 1948

Terkait peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, peminat sejarah Batara Hutagalung mengatakan, tampak ada kaitan antara peristiwa pemberontakan itu dengan aksi penyerangan Belanda ke Yogyakarta pada Desember 1948. Hal ini masuk akal karena salah satu pemimpin pemberontakan, Amir Syarifudin, pada zaman Jepang sempat menjalin kerja sama untuk gerakan perlawanan bawah tanah semasa penjahan Jepang.

”Bila melihat fakta lain, saya pun melihat pemberontakan PKI Madiun merupakan sebuah bagian dari persiapan Belanda ketika hendak melakukan serangan militer besar-besaran ke Indonesia pada Desember 1948. TB Simatupang menyebut indikasi ini setelah melihat kepulangan Muso ke Indonesia dari Moskow yang melalui Belanda pada Agustus 1948. Jadi, di situlah kemungkinan Muso ditunggangi kepentingan Belanda,” kata Batara.

Kemudian apakah masih banyak yang pihak sudi mendengarkan kisah pembantaian PKI Madiun di tahun 1948 itu? Atau jangan-jangan malah dianggap sebagai dongeng yang senyap karena sudah dianggap dongeng oleh mereka yang kerap mengklaim diri sebagai pejuang HAM.

Zakaria lebih lanjut mengatakan, sejarah telah mencatat perilaku masa PKI yang menculik satu demi sartu pimpinan pesantren yang dianggap musuh. Yel-yel PKI adalah “Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati”. Menurutnya, aksi gayang PKI seperti itu memang berhasil melumpuhkan sejumlah pesantren di Magetan. Salah satu pesantren incaran PKI adalah Takeran. Pesantren ini secara geografis sangat dekat dengan Gorang Gareng sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren Takeran adalah rangkaian pembantaian PKI yang terjadi di Gorang Gareng.

Pesantren Takeran atau dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien dipimpin oleh Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berumur 28 tahun. Pesantren Takeran merupakan salah satu pesantren yang paling berwibawa di Magetan kerena pemimpinnya mempunyai pengaruh yang sangat besar—Kiai Imam Mursjid juga bertindak sebagai imam tarekat Syatariyah. Pesantren ini didirikan oleh seorang panglima perang dan tokoh ulama dari Kesultanan Yogyakarta. Dia menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. Keluarga tokoh dan koglomerat media Dahlan Iskan adalah pengasuhnya. (Lihat tayangan film ‘Kisah Sepatu Dahlan’)

Pesantren menjadi musuh utama PKI karena dalam pesantren itu terdapat kekuatan yang sangat diperhitungkan, yaitu di dalam pesantren Takeran mamang aktif melakukan penggemblengan fisik dan spiritual terhadap para santri.

Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegalrejo pergi ke Burikan. Setelah kepergian mereka seusai shalat Jumat, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Saat itu Kiai Imam Mursjid diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia. Kepergian pemimpin pesantren mereka menimbulkan tanda tanya besar. Dua hari kemudian keberadaan iai Imam Mursjid belum diketahui secara pasti.

PKI terus melakukan penangkapan dan penculikan kepada ustaz-ustaz yang lain, seperti Ahmad Baidway, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba. Mereka tidak pernah kembali, bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Yang menimbulkan keheranan adalah, sampai sekarang tempat pembantaian Kiai Mursjid belum diketahui karena mayatnya belum ditemukan. Bahkan, dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri tidak tercantum nama Kiai Mursjid.

Sumber : Republika Online, Red: Muhammad Subarkah