SOLO, (Wartamuslimin.com) — Sejarah dalam bahasa Indonesia kita serap dari bahasa Arab yaitu kata Syajarah, ‘Syajaratun’ artinya pohon. Jika dalam bahasa Inggris Sejarah itu “History”, selanjutnya history harus berhadapan dengan “his Story” artinya sejarah akan berhadapan dengan kisah berdasarkan penuturnya. Oleh karenanya subyektivitas sejarah bergantung pada penulisnya, pada penuturnya dan tujuan yang hendak dicapai setelah menuliskan sejarah.
Sekali lagi karena pohon itu bisa bercabang, penuturan orang pun akan bergantung pada ideologi yang dibawanya. Maka perlu kiranya kaum santri menyusun sejarah perjalanannya sendiri secara langsung.
Menyusun sejarah sendiri berarti membuat alur sesuai dengan yang realitas yang ada. Bagaimana kaum santri mampu menggambarkan dirinya secara utuh dengan cara yang adil dan berimbang.
“Para santri harus mulai muncul kesadaran sejarahnya, terutama berkaitan dengan bagaimana peran santri dan apa latar belakang munculnya santri, agar peringatan hari santri tidak menjadi hal yang sia- sia,” ujar Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Ustadz Arif Wibowo belum lama ini kepada Wartamuslimin.com saat ditemui di Mahad Aly Imam Al Ghazaly, tempatnya mengajar.
Peringatan hari Santri secara resmi ditetapkan Presiden Joko Widodo di Masjid Istiqlal Jakarta pada 22 Oktober 2014. Jika negara sudah mengakui perananya maka tugas kaum santri adalah menyusun kisah perjalanannya sehingga ke-eksistensiannya tetap diakui.
Pasalnya, keberadaan santri dan pesantren baru diakui negara pada tahun 2003, sebelum itu para santri alumnus pondok hanya diakui sebagai lulusan lembaga informal saja.
“Sistem pendidikan pesantren baru diakui sebagai bagian sistem pendidikan di Indonesia melalui Sisdiknas tahun 2003 pada saat era Gusdur,” ungkapnya.
Kaum santri bisa memulai kisah penulisan dari sisi pendidikan sebagaimana yang ditulis oleh Buya Hamka dalam Sejarah Umat Islam. Hamka menjelaskan jika keberadaan Islam sejak masa pemerintahan Ratu Shima. Pada era Kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sofyan pernah mengirim duta untuk datang ke Kerajaan Kalingga dibawah pemerintahan Ratu Shima. Pada saat itu di-informasikan bahwa di Indonesia tidak bisa dilakukan penaklukan melainkan dakwah pendidikan kepada masyarakat.
“Islam datang di Indonesia dimulai dari bawah atau “bottom up” bukan dimulai dari kalangan penguasa, masyarakat sudah banyak yang Islam hanya tinggal keluarga bangsawan yang belum,” jelasnya.
Rafles melalui karyanya “The History Of Java” mencatat jumlah santri pada tahun- tahun awal penyebaran Islam tidaklah banyak, hanya 19% dari populasi penduduk Jawa. Namun pada era itulah santri banyak menempati pos-pos penting yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya, untuk melaksanakan ritual keagamaan yang banyak dianut oleh masyarakat Jawa seperti kelahiran, khitanan, pernikahan dan kematian.
Masyarakat Jawa saat itu memiliki ketergantungan yang tidak bisa dilepaskan dari peran kaum santri. Golongan santri merupakan sosok yang dihormati oleh masyarakat Jawa, karena mereka memiliki ketergantungan dalam menjalankan ritual-ritual yang selama ini mereka laksakan. Mereka tidak lagi bisa berdoa dengan agama nenek moyang mereka baik itu agama Hindu maupun agama Jawa.
“Masyarakat pada masa lalu sempat sangat bergantung pada santri misal untuk memimpin acara pernikahan, mereka memasrahkannya kepada penghulu, pada masa itu orang abangan banyak bergantung pada santri untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan” papar Ustadz Arif Wibowo.
Peranan Santri
Peran yang paling fundamental yang dilakukan oleh kaum santri adalah memasukan unsur-unsur Islam dalam nilai-nilai Pancasila. Santri banyak berperan dalam memasukan istilah yang lebih Islami misalnya dalam sila ke-2 “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” munculnya kata ‘adab’. Selain itu pada sila ke-4 berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, dan itu tidak ditulis demokrasi. Kalau tidak ada peran santri kala itu apa jadinya dasar negara kita.
Selanjutnya pada era Presiden Soekarno yakni pada masa Kabinet Indonesia Terpimpin, Soekarno meminta bantuan Kyai Saifudin Zuhri untuk membantunya menjalankan kabinet. Kala itu Soekarno ingin nilai-nilai Islam menjadi nilai pembangunan karakter bangsa Indonesia. Pada masanyalah lahir perguruan tinggi Islam, Undang- undang penodaan agama pun dimulai dari zaman Soekarno.
“Selama ini kita selalu menganggap bahwa demokrasi terpimpin itu sangat menindas Islam karena sudut pandang kita dari segi modernis, mari kita lihat dari sisi tradisionalis bagaimana santri memasukan nilai-nilai pendidikan Islam berbasis negara,” terangnya.
Santri pun pernah mengalami masa terburuknya yakni pada masa pemerintahan Soeharto. Soeharto menyingkirkan kemandirian pondok pesantren dengan cara menjadikan sektor agraris sebagai pendukung sektor industri. Sektor industri mulai tumbuh untuk menciptakan buruh yang murah maka dibuatlah harga pangan murah, padahal pondok pesantren di Indonesia kebanyakan ada di kawasan agraris.
“Harga beras ditentukan langsung oleh pemerintah dengan harga murah, pondok yang dulunya bisa menggratiskan biaya bagi santri perlahan mulai hilang dan beralihlah sistem pondok modern dengan menarik pembayaran SPP bagi santri,” pungkasnya.
Fakta-fakta itu masyarakat petani banyak yang perlahan-perlahan menjadi termiskinkan tak terkecuali pondok pesantren. Sebelum Soeharto berkuasa pondok pesantren memiliki banyak tanah wakaf pemberian wali santri yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan santri. Harga jual hasil pertanian tak lagi cukup untuk memenuhi kegiatan operasional pondok.
“Pada masa itu peran pondok pesantren dikucilkan, karena Soeharto tidak ingin ada kekuatan sipil apapun yang berkuasa termasuk dalam hal ekonomi, pengusaha muslim batik banyak dibuat ‘mati suri’ bisa dicek di kampung Batik Laweyan khususnya pada kurun waktu 1970 hingga 1980’an,” imbuhnya.
Penulisan sejarah menjadi penting untuk menghindari keterputusan sejarah dari konteksnya. Karena seringkali kita memaknai hari sejarah benar-benar terlepas dari konteks munculnya hari itu. Contohnya, acara malam tirakatan yang dulu diisi dengan doa dan pidato sejarah kebangsaan sekarang berganti menjadi suguhan organ tunggal. Oleh karena itu, santri sangat perlu menulis sejarahnya sendiri supaya hari santri tidak berujung sia- sia.
“Belajarlah dari sejarah, status keberadaan pesantren lama tidak diakui keberadaanya dan baru diakui pada tahun 2003 sehingga hari santri tidaklah berujung sia- sia,” pungkasnya kepada wartamuslimin.com.
Rep : Kukuh Subekti / Red : Tori Nuariza