BWI, Baznas, dan BPKH

BWI, Baznas, dan BPKH

Oleh: Raditya Sukmana*

Pada 5 Desember 2017, dilakukan rapat dengar pendapat Komisi VIII DPR dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Salah satu rekomendasi RDP adalah adanya kerja sama BWI, Baznas, dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

BPKH merupakan institusi yang tujuannya mengelola dana haji agar efektif dan efisien. Tujuan RDP untuk mengevaluasi anggaran 2017 dan merencanakan anggaran 2018. Rapat membahas kinerja masing-masing institusi untuk selanjutnya diusulkan program-program bersama.

Rapat ini menjadi penting mengingat adanya momen-momen penting dari BWI maupun Baznas. BWI baru saja mendapatkan ketua baru, yaitu Profesor Muhammad Nuh.

Kinerja Baznas dengan zakat core principle (ZCP) yang diinisiasi Indonesia berhasil mendapatkan perhatian regulator zakat di seluruh dunia pada acara Indonesian Shariah Economic Festival 2017 di Surabaya.

Secara singkat ZCP adalah standardisasi pengelolaan zakat yang penting bagi pengelola zakat. Rekomendasi kerja sama BWI, Baznas, dan BPKH diusulkan Komisi VIII dengan semangat mengentaskan kemiskinan, membangun ekonomi dan menyejahterakan umat.

Hal yang lebih penting lagi untuk kita ingat adalah dana di BWI, Baznas, dan BPKH bukanlah dana pemerintah, melainkan dana rakyat Muslim Indonesia untuk digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia, sehingga beban APBN menurun.

Tulisan ini mencoba untuk memberikan alternatif kerja sama yang melibatkan tiga pihak tersebut dengan menggabungkan orientasi pada laba (di satu pihak), tetapi dengan tujuan akhir, yaitu untuk kepentingan sosial.

Pertama, program bersama untuk pendirian pabrik dengan output bahan kimia dasar yang nantinya akan digunakan sebagai bahan baku industri farmasi.

Menurut salah satu profesor di Universitas Airlangga, salah satu penyebab harga obat mahal adalah karena bahan baku obat masih impor, sehingga masih terekspose dengan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS.

Karena itu, sudah saatnya Indonesia mempunyai pabrik sendiri, apalagi Indonesia dikaruniai sektor agrikultur luar biasa, sehingga pabrik tersebut dapat menggunakan bahan baku herbal untuk produk akhir, yaitu bahan kimia dasar.

Pabrik tersebut bisa didirikan di atas tanah wakaf. Kemudian gedung pabriknya bisa digunakan dana BPKH. Perlu diketahui, BPKH memiliki skema dana kemaslahatan produktif yang setiap tahun jumlahnya antara Rp 100 miliar sampai Rp 180 miliar.

Dengan demikian, kita bisa harapkan harga obat akhir bisa menjadi murah dengan catatan tata niaga obat harus mendukung penyediaan obat berkualitas (berbasis herbal dan dari Indonesia) dan murah (karena di atas tanah wakaf).

Obat yang kemudian dijual kepada fakir miskin akan dibeli dari dana zakat. Sehingga pasien miskin tidak terbebani keharusan membeli obat sendiri. Laba yang didapat dari pabrik tersebut akan kembali ke sosial, termasuk di dalamnya jamaah haji yang akan berangkat.

Kedua, lahan pertanian di Pulau Jawa, khususnya sawah, setiap tahun semakin berkurang karena dikonversi menjadi industri dan atau pemukiman. Banyak sawah yang dikonversi menjadi pabrik, akibatnya produksi padi semakin tahun kian menurun.

Di sisi lain, petani yang kehilangan kepemilikannya karena menjual sawahnya akhirnya menjadi buruh garap yang dibayar harian. Tentunya ini akan menciptakan kantong-kantong kemiskinan yang baru.

Jika pemilik sawah tiba-tiba mengonversi sawahnya menjadi pabrik, jatuhlah petani penggarap tadi ke jurang kemiskinan. Dengan program wakaf ini, sawah wakaf tetap dikelola oleh petani dengan akad muzara’ah.

Petani tetap menggarap lahannya dengan sistem bagi hasil. Bagi hasilnya, tentunya akan menyejahterakan petani daripada hanya menjadi buruh tani. Teknisnya, BPKH membeli lahan sawah kepada petani yang menjual sawahnya.

Katakanlah luasnya 100 hektare, kemudian ditawarkan ke koperasi setempat untuk diwakafkan, misalnya, per 10 meter persegi.Sehingga, terdapat 100 ribu lembar sertifikat wakaf sawah.

Bagi anggota koperasi besar yang anggotanya melebihi 100 ribu orang, dapat memprogramkan setiap anggota berwakaf 10 meter persegi. Jika harga sawah per meter Rp 350 ribu, cukup setiap anggota berwakaf sebesar Rp 3,5 juta.

Jika ditargetkan angka ini dalam satu tahun maka koperasi mewajibkan kepada setiap anggotanya untuk berwakaf produktif dengan menyisihkan Rp 1.000 sehari.

Ketiga, seiring ekonomi Indonesia yang tumbuh dengan baik maka kebutuhan terhadap infrastruktur berupa bandar udara di kota-kota besar menjadi suatu keharusan dan hal tersebut bisa dilakukan dengan wakaf.

Caranya adalah tanah yang sudah ditentukan dibeli seluruhnya (misalnya 1.000 hektare) dengan dana BPKH, kemudian ditawarkan kepada masyarakat luas untuk diwakafkan per petak, misalnya, per hektare. Dengan demikian, akan terdapat 1.000 wakaf tanah.

Wakif (orang yang berwakaf) bisa berwakaf dua atau tiga hektare dan sebagainya. Dengan mobilisasi semua bank syariah mulai kantor pusat sampai cabang-cabang di daerah untuk menghimpun dana wakaf (melalui program LKS PWU) guna membeli tanah untuk bandar udara.

Penulis yakin wakaf uang akan terkumpul dengan cepat. Bandar udara tersebut nantinya berguna juga bagi jamaah haji yang berada di daerah untuk datang ke suatu embarkasi.

Tidak hanya itu, dengan pembangunan bandara di daerah tentu saja bakal meningkatkan permintaan pesawat terbang jarak pendek. Pak BJ Habibie (mantan presiden Indonesia) telah mempersiapkan pabrik pesawat terbang jenis itu.

Sehingga, multiplier effect dari bandara tersebut sangat besar. Di dalam pelabuhan udara bisa juga didirikan klinik kesehatan yang didanai dana zakat atau infak, mengingat orang yang sedang bepergian (safar) termasuk dalam salah satu mustahik zakat.

Laba dari operasional bandar udara juga untuk kepentingan sosial. Penulis yakin dengan studi kelayakan yang baik maka laba optimal akan didapat. Dan ini tentunya akan menguntungkan masyarakat seluruh Indonesia. Wallahu a’lam.

 

*Ketua Departemen Ekonomi Syariah dan Peneliti Center of Islamic Social Finance Intelligence, Universitas Airlangga dan Hendri Tanjung, Badan Wakaf Indonesia

Sumber : ROL