Kompeni Waspadai Ulama Betawi

Kompeni Waspadai Ulama Betawi

Oleh: Alwi Shahab

Gubernur Letnan Hindia Belanda asal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), memiliki kesan tersendiri terhadap ulama Betawi. Dia memuji mereka, karena dinilai gigih menanamkan tradisi dan kearifan lokal yang bersumber dari nilai agama.

Ulama di Betawi adalah tokoh masyarakat. Mereka menjadi rujukan. Ketika menghadapi persoalan hidup, masyarakat langsung mendatangi ulama untuk mendapatkan solusi.

Hal tersebut berdampak kepada tertanamnya nilai dan tradisi keagamaan. Sejak kecil, anak-anak sudah diarahkan untuk mendalami ilmu agama. Mereka diajarkan membaca Alquran. Kemudian, mereka mengikuti pengajian ilmu agama, seperti fiqih, tauhid, dan tasawuf.

Ulama Betawi bahkan mampu melakukan pembaharuan dalam pendidikan. Mereka mampu melangsungkan proses pendidikan secara modern. Murid atau santri tidak lagi duduk glepok–glepok di atas lantai. Mereka bisa duduk dengan kursi dan meja. Kemudian, guru berdiri menerangkan pelajaran.

Raffles dulu tinggal di Rijswijk, di sebuah gedung yang kini bernama Bina Graha. Gedung itu saat ini berada di kompleks istana kepresidenan.

Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun lembaga kesenian Bataviasch Genootschap, Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Alquran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung Betawi.

Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam hingga ia meminta organisasi Nasrani ini mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh. “Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris itu.

Kekhawatiran yang paling utama adalah apabila nilai agama yang ditanamkan ini menjadi kekuatan politik. Hal ini nantinya bisa mengancam kelanggengan kompeni dalam menjajah Nusantara. Seperti layaknya meneruskan perang salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai—figur yang dihormati pada masa penjajahan.

Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini, sekalipun oleh para ulama Betawi, tidak diindahkan, lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.

Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik, dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, “Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.”

Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, Prof Hamka yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut Hamka, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air—meskipun keduanya dimasukkan ke dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.

Menurut Hamka, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian, di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran Pekojan, Jakarta Barat.

Syaikh Junaid menjadi panutan orang Betawi. Dia dibanggakan sebagai seorang alim dari Betawi yang sukses. Dia mendakwahkan Islam di tanah haram, bahkan menjadi imam masjid di sana. Syaikh Junaid juga disebut menjadi guru bagi sejumlah ulama Indonesia. Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, menyebut di antara mereka yang pernah berguru kepada Syaikh Junaid adalah Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi.

 

*Diambil dari Kolom Republika “Nostalgia Abah Alwi”, Kamis , 09 November 2017