JAKARTA, (Wartamuslimin.com) —- Penolakan atas rencana pemerintah mengimpor 500 ribu ton beras dari Vietnam dan Thailand terus disuarakan. Mulai dari petani hingga pejabat tinggi negara menilai rencana impor beras itu bakal menekan para petani.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Sri Jaya Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sartam, meminta pemerintah menunda impor beras. “Mohon pemerintah jangan memasukkan beras impor dulu. Ini sebentar lagi kami akan panen,” ujarnya, Ahad (14/01).
Menurut Sartam, di wilayah Banyumas, banyak areal sawah yang mulai memasuki masa panen pada Januari ini. Bahkan musim ini akan berlangsung sampai dengan akhir Maret mendatang.
“Tolong beri kesempatan pada petani untuk menikmati harga yang cukup baik. Kami yakin, kalau pemerintah memasukkan beras impor dalam waktu dekat maka harga beras akan langsung anjlok,” pungkas Sartam.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (DPN HKTI) Fadli Zon mengkritisi rencana pemerintah mengimpor beras. Hal ini menunjukkan kekacauan tata kelola pangan pemerintah sekaligus mutu data pangan yang rendah.
“Saya melihat kebijakan impor beras ini sangat aneh. Pernyataan pemerintah tidak ada yang sinkron satu sama lain,” jelas Fadli Zon.
Ia mencatat ada empat keanehan di balik langkah pemerintah tersebut. Pertama, Kementerian Pertanian mencatat ada surplus beras. Kedua, Kementerian Perdagangan mengimpor beras premium, bukan beras medium.
Ketiga, impor tidak dilakukan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik, melainkan Perusahaan Perdagangan Indonesia. Keempat, izin impor dikeluarkan saat petani hendak menghadapi musim panen.
Anggota DPD Sulawesi Selatan AM Iqbal Parewangi mengkritik kebijakan pemerintah mengimpor beras.
“Untuk semua hal terkait hajat hidup rakyat, impor selalu berpotensi merugikan. Sekarang mau lagi impor beras 500 ribu ton. Terus mau dikemanakan petani kita? Pemerintah mau bunuh petani?” pungkas Iqbal, Ahad (14/01).
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan impor beras. Apalagi, pada Februari, panen raya di sejumlah sentra produksi akan dimulai.
“Kalau masuk, harga nanti berbahaya. Petani bisa hancur,” ujarnya di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (13/01).
Senada, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGB Muhammad Zainul Majdi juga meminta pemerintah pusat lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan impor beras.
“Jangan sampai ada kebijakan yang menyebabkan para petani kita demoralisasi,” ujar gubernur yang akrab disapa dengan sebutan Tuan Guru Bajang (TGB) ini, Ahad (14/01).
Alih-alih mengimpor beras, menurut TGB, lebih baik pemerintah melakukan mobilisasi stok beras yang ada di daerah-daerah. Tujuannya, agar ada stabilisasi harga dengan menggunakan pasokan dalam negeri.
“Saya berharap jangan ada kebijakan yang sifatnya anomali,” ujar TGB.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi juga menolak rencana pemerintah mengimpor beras. Sebab, pada akhir Januari ini, Sukabumi akan memasuki musim panen.
“Rencana impor berbarengan dengan musim panen dan kami atas nama Pemkab Sukabumi menolaknya,” ujar Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Sukabumi Sudrajat.
Menurut Sudrajat, jika impor beras tetap dieksekusi maka harga beras di tingkat petani pada saat musim panen akan jatuh. Padahal, para petani sebelumnya telah dibina dan berharap harga yang ideal pada musim panen.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi menilai, impor beras yang dilakukan berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam pasal 39 impor pangan tidak boleh berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, dan kesejahteraan petani.
Padahal, dalam waktu dekat, petani akan memasuki masa panen. “Oleh karena itu, koordinasi dan integrasi kementerian di pemerintahan perlu diperbaiki kembali,” ungkap Viva Yoga.
Ia menilai, persoalan beras bisa diselesaikan melalui koordinasi dan integrasi antar-kementerian terkait. Menurutnya, perbedaan kebijakan pangan di internal pemerintah antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan menjadi salah satu penyebab terjadinya persoalan pasokan beras.
“Kuncinya adalah akurasi data produksi pangan versi Kementerian Pertanian dengan kenaikan harga pangan di pasar. Buktinya jika beras surplus mengapa harga naik?” jelasnya.[NZ]
Sumber : ROL