JAKARTA, (Wartamuslimin.com) — Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan turut angkat bicara terkait pembantaian Militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya di Rakhine.
Melalui rekaman video yang diunggah di media sosial, Anies Baswedan menyesalkan sikap Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi yang seolah-olah diam membisu atas kejadian yang menimpa Muslim Rohingya.
Sikapnya yang membisu di tengah tragedi kemanusiaan Rohingya, menurut Anies, tak pantas dilakukan oleh seorang penerima nobel perdamaian.
“Kita mendengar kabar duka yang menyakitkan dari Myanmar, saudara-saudara kita warga Rohingya lebih dari 30 ribu orang harus mengungsi. Kebiadaban ini terjadi di depan rezim berkuasa yang de facto di pimpin oleh Aung San Suu Kyi, penerima hadiah nobel. Dunia mengutuk, dunia marah,” kata Anies dalam videonya yang diunggah melalui Media Sosial, Kamis (31/8/2017).
Begitu geram dengan sikap pendiaman Suu Kyi itu, Anies mendesak agar nobel perdamaian yang diterima Aung San Suu Kyi pada 1991 silam untuk dicabut.
“Saya menuntut kepada Komite Nobel di Oslo (Norwegia, red) untuk mencabut hadiah nobel dari Aung San Suu Kyi atas pendiamannya terhadap kebrutalannya ini,” kata mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pemerintahan Jokowi itu.
Menurutnya, kebiadaban tersebut tak bisa diterima oleh akal, tak bisa diterima oleh hati dan tak bisa diterima oleh siapapun di dunia.
Selain itu Anies juga menyerukan kepada semua khatib Jumat di seluruh dunia untuk mendoakan penderitaan yang dialami muslim Rohingya.
Kekerasan di negara bagian Rakhine menuai kecaman keras internasional terhadap pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, dirinya dianggap kurang proaktif dalam membantu anggota minoritas Muslim Rohingya, yang ditolak kewarganegaraannya di Myanmar yang didominasi umat Buddha itu.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar ?.[NZ]