Mahathir Mohamad dan Gerakan #2019GantiPresiden
Oleh: Mardani Ali Sera*
Hubungan saya dengan Malaysia cukup erat, bukan cuma karena sempat lima tahun menimba ilmu disana tapi dua anak sayapun lahir disana. Juga cukup banyak saya terlibat dan membuat kegiatan bersama dengan beberapa partai di sana mulai dari PAS, PKR, Amanah hingga kawan-kawan pergerakan Islam di sana.
Dan izinkan dengan sedikit pengetahuan yang ada, saya ingin mengambil beberapa pelajaran dari kemenangan Pakatan Harapan dengan kandidat Perdana Menterinya Tun Dr Mahathir Mohamad.
Selama proses kampanye yang singkat 28/4 Parlemen dibubarkan dan waktu pemilu yang 9 Mei proses politik berjalan sangat cepat. Walau ini pelajaran utamanya empat partai dengan “besar jiwa” bergabung menggunakan satu bendera, lambang Mata milik PKR.
Empat partai itu adalah PKR (didirikan oleh Anwar Ibrahim), DAP (sebelumnya dipimpin Lim Kit Siang dan dilanjutkan oleh anaknya yang juga Menteri Besar Pulau Pinang Lim Guan Eng), Partai Amanah (sebagian didirikan oleh alumni PAS dan profesional) serta Partai Bersatu didirikan oleh alumni UMNO Mahathir Mohamad dan Muhyidin Yasin yang asal Johor. Keempatnya sepakat membuat konfederasi maju dengan bendera yang sama dan dengan isu yang sama.
Karena memang menggunakan sistem distrik, pemilu di Malaysia berprinsip the winner takes all karena itu konfederasi ini — dikenal dengan Pakatan Harapan— menyepakati siapa maju di daerah mana dan semua wajib memenangkan calon itu walau tidak berasal dari golongannya.
Maju bersama dengan payung konfederasi (Pakatan Harapan) menjadi strategi jitu pertama menumbangkan Barusan Nasional yang juga konfederasi beberapa partai pendukung pemerintah. Konfederasi teorinya seperti sapu lidi yang disatukan hingga dapat membawa gelombang besar ketimbang jalan sendiri-sendiri.
Pelajarannya, partai di Indonesia perlu memikirkan peluang konfederasi ini. Ini sekaligus ujian kedewasaan dan kecerdasan kita dalam berpolitik sehingga mampu mengedepankan kepentingan yang lebih besar ketimbang kepentingan suara per partai.
Pertama, bagi partai Islam atau partai yang muncul setelah reformasi, ide konfederasi ini menarik. Bagi Gerindra, PKS, PAN dan PBB wacana ini sangat layak dilakukan karena ada banyak kesamaan dalam langkah perjuangannya.
Kedua, pelajaran pentingnya adalah mahalnya harga sebuah TOKOH. Pada PRU (Pilihan Raya Umum) ke-13 tahun 2013 Barisan Nasional menang di banyak negeri dan banyak kursi parlemen disebabkan oposisi belum mendapat tokoh besar bernama Mahathir Mohamad.
Indahnya lagi PKR menerima Tun Dr Mahathir walau lambang Mata yang Lebam yang jadi logo PKR merupakan cerminan mata Anwar Ibrahim yang saat itu mendapat perlakuan hingga matanya lebam. Semua mampu menepikan kasus internal atau masa lalu dan bekerjasama melangkah ke depan.
Dan sosok Mahathir adalah sosok luar biasa. Di usia 92 tahun (dalam kelender hijriyah usianya 94 tahun) masih memiliiki semangat dan pesona pada rakyat Malaysia. Saya kebetulan (08/05) sehari sebelum menjadi saksi pencoblosan di Kuala Lumpur berjumpa dengan beberapa aktivis dan beberapa pakcik dan makcik di kedai kopi.
Dan magnetnya adalah Mahathir Mohamad atas tiga alasan: Pertama, Mahathir bukanlah salah satu ketua umum partai yang bergabung. Partai Bersatu yang didirikan Mahathir, Ketuanya Muhyidin Yasin. Jadi pilihan Mahathir membuat keempat partai nyaman.
Kedua, ketokohan Mahathir sebagai ‘Bapak Pembangunan Malaysia’ tetap kuat. Bagi penduduk luar bandar (pedesaan) khususnya, Mahathir Mohammad adalah ‘Bapak Pembangunan Malaysia’. Suara pedesaan (rural area) yang selama ini jadi basis BN bisa diambil Harapan.
Ketiga, seperti biasa Mahathir Mohammad selalu bersuara lugas dan jelas. Dengan beberapa kasus besar 1MDB yang merembet pada BUMN seperti Felda turun asetnya plus serbuan pengusaha Tiongkok yang membawa sentimen ketersinggungan lokal diangkat dengan lugas dan jelas oleh Mahathir.
Dampaknya suara Melayu yang jadi basis BN banyak diambil Pakatan Harapan. Pelajarannya mahal harga sebuah ketokohan. Dan itu tidak dibangun dengan wacana, dengan pencitraan ataupun politicking tapi dengan naiknya secara signifikan kesejahteraan dan martabat bangsa.
Bagi kita para pemimpin Indonesia, kompetisi kita bukan dengan orang lain. Tapi kita kompetisi dengan diri sendiri untuk benar-benar menjadi pemimpin yang mendedikasikan seluruh diri bagi rakyat.
Keempat, kecerdasan menggunakan media sosial. Sebenarnya ini ‘blessing in disguise’, rahmat yang terselubung, karena tidak mendapat saluran resmi digunakanlah Facebook Live dan seluruh lini medsos baik Twitter dan Instagram untuk kanal kampanye. Dengan infrastruktur jaringan internet yang baik, strategi ini berjalan dengan sukses.
Pelajarannya, selalu ada jalan selama ada kemauan. Sebagai oposisi, kecerdasan menggunakan cara dan sarana baru sebuah kemestian. Tagar #2019GantiPresiden, diakui atau tidak membawa kita pada sebuah keseimbangan pertarungan antara petahana dengan oposisi.
Bahkan banyak pengamat mengatakan tagar ini menjadi trend setter dan pendukung Pak Jokowi malah terjebak menjadi follower. Karena itu, kemenangan Tun Dr .Mahathir Muhammad mengalahkan petahana dapat menjadi salah satu pelajaran bagi semua relawan Gerakan #2109GantiPresiden. “So, let’s work as smart and as ikhlas as possible”. Insya Allah, kita bisa lakukan #2019GantiPresiden.
*Dr. Mardani Ali Sera, M.ENG merupakan Deklarator Gerakan #2019GantiPresiden. Ia kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI Fraksi PKS.
Red : Tori Nuariza