Mitigasi Pelemahan Rupiah

Mitigasi Pelemahan Rupiah

Oleh: Ronny P Sasmita

Rupiah beberapa waktu belakangan terus melandai. Angka psikologis Rp 14 ribu per dolar AS terseberangi dengan santai. Memang, pelemahan rupiah bukan karena satu musabab, melainkan justru dipicu oleh banyak faktor. Terutama, faktor eksternal berupa rencana Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) secara lebih agresif (hawkish).

Kenaikan FFR mendorong para hedge fund global mengalihkan dananya dari negara-negara emerging market, termasuk Indonesia, ke Negeri Paman. Keputusan para fund manager global memulangkan dananya dari emerging market ke negara-negara maju, khususnya AS, tentu bisa dimaklumi. Jika suku bunga di AS naik, instrumen investasi di AS akan memberikan imbal hasil lebih menguntungkan.

Yield obligasi Pemerintah AS (US Treasury Bond) tenor 10 tahun sudah naik dari 2,4 ke level 3 persen. Selain terjadinya arus modal keluar dari emerging market yang menyebabkan rupiah dan mata uang lain terpuruk adalah ancaman perang dagang AS-Cina dan kebijakan proteksionisme Presiden AS Donald Trump.

Dua kondisi tersebut terbukti menorehkan kekhawatiran terhadap nasib ekonomi global yang notabene justru sedang berjuang untuk pulih setelah didera krisis finansial 2008-2009. Di luar faktor eksternal, faktor internal diduga juga turut memicu kejatuhan rupiah. Para pelaku pasar disebut-sebut mengkhawatirkan fundamental ekonomi Indonesia yang tidak begitu kokoh.

Buktinya, perekonomian nasional pada kuartal I-2018 cuma tumbuh 5,06 persen secara tahunan, lebih rendah dari kuartal IV-2018 sebesar 5,19 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 yang di bawah ekspektasi, para pelaku pasar ragu target pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini sebesar 5,4 persen akan dapat dicapai.

Setelah menghantam rupiah, pasar saham dan pasar obligasi di dalam negeri pun terbawa lunglai. Indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok 9,14 persen secara year to date ke level 5.774,71.

Seperti rupiah, pasar saham domestik termasuk yang melandai paling dalam di kawasan emerging market. Celakanya, pelemahan rupiah dan IHSG berlangsung simultan, diikuti aksi jual secara masif oleh investor asing.

Investor asing sudah membukukan angka jual bersih saham senilai Rp 36,85 triliun (ytd). Sedangkan di pasar surat berharga negara (SBN), asing sudah melepas kepemilikan senilai Rp 24,46 triliun sejak akhir Januari 2018.

Dengan kondisi itu, setidaknya sudah layak dijadikan indikasi bahwa rupiah memang sudah mengkhawatirkan. Otoritas moneter, dunia usaha, atau beberapa pengamat boleh saja menganggap rupiah belum memasuki fase darurat.

Namun, bila tak diambil langkah-langkah taktis, rupiah bisa terperosok lebih dalam yang berisiko semakin sulit diperbaiki. Memang, baik secara teoritik maupun praktik, misi penyelamatan rupiah terbilang cukup dilematis.

Jika BI menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR), ada kemungkinan perekonomian domestik terkontraksi. Faktanya, kredit perbankan per Februari baru tumbuh 8,22 persen (yoy).

Inflasi April (0,10 persen bulanan, 1,09 persen tahun kalender, 3,41 persen tahunan) adalah indikasi masih lemahnya daya beli masyarakat yang terafirmasi juga oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi kuartal I. Apakah kondisi semacam ini berarti BI harus terus menahan suku bunga acuan?

Bagi BI, awalnya opsi “menahan” suku bunga adalah yang paling ideal, sesuai dengan stance point BI yang menganggap kondisi rupiah masih dalam “rentang normal”. Namun, jika BI 7-DRR terus ditahan pada level 4,25 persen, cadangan devisa bisa terkuras karena bank sentral harus terus melakukan operasi pasar, baik di pasar valas maupun pasar obligasi.

Namun, jika BI 7-DRR terus ditahan pada level 4,25 persen, cadangan devisa bisa terkuras karena bank sentral harus terus melakukan operasi pasar, baik di pasar valas maupun pasar obligasi.

Terbukti, selama tahun berjalan, cadangan devisa sudah menyusut 7,12 miliar dolar AS menjadi 124,86 miliar dolar AS. Berarti rupiah harus dikorbankan demi menjaga pertumbuhan ekonomi dengan asumsi angka kemiskinan dan pengangguran tidak menggelembung.

Sayangnya, boleh jadi faktanya kemudian tidak demikian. Bila rupiah melambung tinggi, masyarakat selain dunia usaha akan terpukul. Impor Indonesia yang besar bakal mendorong inflasi barang impor sehingga daya beli masyarakat akan semakin tertekan.

Ada ancaman PHK besar-besaran di kemudian hari jika korporasi mulai gulung tikar alias kolaps. Karena itu, BI tetap harus mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan dalam level aman bagi sektor riil dan tidak terlalu berisiko bagi pertumbuhan ekonomi. Misalnya, sebesar 25 basis poin (bps).

Keputusan bank sentral menaikkan BI 7-DRRR semula diperkirakan akan memberikan sinyal positif kepada pasar bahwa otoritas cukup sigap merespons situasi. Selain kenaikan BI 7-DRRR, BI pun perlu mengeluarkan kebijakan makroprudensial.

Namun, sebagaimana prediksi banyak pihak, kenaikan suku bunga tak terlalu berpengaruh jika tak diikuti kebijakan pendukung lainnya. Untuk mengimbangi risiko kenaikan suku bunga, bank sentral bisa melonggarkan aturan rasio loan to value (LTV) untuk kredit properti, rasio financing to value (FTV) untuk pembiayaan properti, serta uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.

Lalu OJK bersama Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa memfasilitasi pembelian kembali saham (buyback) oleh emiten pada harga yang mampu menahan kejatuhan pasar. Catatannya, kebijakan semacam ini akan lebih efektif jika pemerintah melalui Kementerian BUMN ikut mendorong emiten-emiten pelat merah menjadi motor buyback di pasar modal.

Penting pula dicatat, upaya seperti ini tetap takkan membuahkan hasil optimal bila pemerintah tidak membuat gebrakan fundamental di bidang ekonomi. Misalnya, memberikan insentif fiskal dan nonfiskal secara masif-terukur kepada dunia usaha.

Bisa juga merealisasikan paket-paket kebijakan ekonomi secara serius yang ternyata sampai sekarang belum diimplementasikan. Dan terakhir, dukungan dunia usaha adalah kunci sukses lainnya.

Dunia usaha harus berkomitmen tidak melakukan pembelian dolar AS secara berlebihan di luar kebutuhan bisnisnya. Pendeknya, depresiasi rupiah yang kerap terjadi adalah salah satu bukti fundamental ekonomi masih rentan terhadap gejolak eksternal. Karena itu, pemerintah harus didukung secara penuh untuk melakukan reformasi struktural serius dan komprehensif, terutama di bidang industri manufaktur.

Faktanya, rupiah mudah tersenggol karena perekonomian Indonesia tak bisa mengelak dari defisit neraca transaksi berjalan. Salah satu sumbernya adalah besarnya impor barang modal dan bahan baku. Di sisi lain, ekspor Indonesia juga tercatat rendah, itu pun hanya mengandalkan sumber daya alam, bukan produk jadi bernilai tambah tinggi.

Maka mau tak mau, membangun industri manufaktur yang kuat, dari hulu, antara, sampai hilir, adalah opsi jangka panjang yang harus diambil pemerintah sedari sekarang. Karena dalam jangka panjang, penyelamatan rupiah harus melalui pembangunan daya saing secara keseluruhan. Harus dicatat, urusan rupiah bukan saja berkaitan dengan variabel-variabel ekonomi yang dapat menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis.

Lebih dari itu, rupiah adalah maskot bangsa. Semakin rupiah terdepresiasi, semakin rendah kebanggaan dan martabat Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.

*Ronny P Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct