JAKARTA, (Wartamuslimin.com) — Pengurus Pusat IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie) beberapa waktu yang lalu mengutuk keras peristiwa genosida terhadap etnis Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat.
IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie) menilai tragedi kemanusiaan tersebut tidak cukup ditanggapi hanya dengan pernyataan sikap melainkan aksi nyata.
Ketua Umum IABIE, Bimo Sasongko, menegaskan, dieprlukannya tindakan keras terhadap rezim Myanmar dan siapapun pihak yang terlibat dalam tindakan biadab berkategori kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut.
Bimo berpandangan, bangsa Indonesia harus membuktikan bahwa sejatinya nasionalisme Indonesia adalah perikemanusiaan. Ketum IABIE itu mengutip peryataan Presiden RI pertama, Ir.Soekarno, dan para pendiri bangsa lainnya, bahwa hakikat nasionalisme Indonesia bukan mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi harus mencari selamatnya manusia di seantero dunia.
“Saatnya bangsa Indonesia buktikan bahwa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang merupakan sila kedua Pancasila sebagai Dasar Negara benar-benar telah dihayati oleh segenap bangsa. Sila Pancasila yang telah dikagumi dunia sejak lama dan telah menjadi nilai universal itu saatnya dibuktikan untuk menolong etnis Rohingya,” pungkas Ketua Umum IABIE, Bimo Sasongko dalam siaran persnya, mengutip laporan RMOL.
IABIE mencatat bahwa kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar, masih terus terjadi. Bahkan tercatat, enam ribu orang telah tewas. Menurut laporan PBB, etnis Rohingya berjumlah sekitar 800 ribu orang, dari total populasi Myanmar sejumlah 75 juta jiwa. Selain itu PBB menyebut Rohingya sebagai salah satu minoritas paling tertindas di muka bumi saat ini.
Sebagai negara Pancasila dan atas dasar kemanusiaan, sudah seharusnya pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah konkret untuk memberi solusi nyata dan penyelesaian mendasar terhadap masalah yang dihadapi etnis Rohingya. Itu sesuai dengan politik aktif luar negeri Indonesia, ikut serta dalam ketertiban dunia dan mempunyai semangat anti penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, demikian pandangan IABIE.
Selain mendesak pemerintah Indonesia dan dunia internasional untuk memberi sanksi politik dan ekonomi kepada pemerintah Myanmar, IABIE juga mendesak pemerintah RI membekukan hubungan diplomatik sementara hingga situasi perdamaian dan kondusif terwujud bagi masyarakat Rohingnya.
Pengurus Pusat IABIE meminta Presiden Jokowi segera mengambil langkah-langkah strategis dan menjadi inisiator di Asia Tenggara serta PBB untuk menghentikan kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
“Pemerintah RI hendaknya lebih proaktif membantu para pengungsi dan menyediakan lagi sebuah pulau atau kawasan khusus untuk menampung para pengungsi Rohingya yang kini masih terombang ambing penuh ketidakpastian,” imbuhnya.
IABIE juga mendesak kepada komite hadiah Nobel untuk mencabut penghargaan Nobel Perdamaian yang pernah disematkan kepada pemimpin de-facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, karena ia diam membisu bahkan membiarkan pembunuhan massal terhadap Rohingya terus terjadi.
Dikriminasi Rohingya Terstruktur dan Sistematis
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kekerasan terbaru meletus di negara bagian Rakhine, Myanmar, sekitar 2 pekan yang lalu ketika Militer melancarkan operasi brutal terhadap komunitas Rohingya.
Bangladesh, yang telah menjadi tuan rumah bagi sekitar 400.000 pengungsi Rohingya, telah menghadapi gelombang besar masuknya pengungsi baru sejak operasi Militer Myanmar diluncurkan.
Pada hari Selasa (12/09), PBB menyebutkan sebanyak 370.000 penduduk Rohingya kini mencari perlindungan di Bangladesh.[NZ]