Soal Rektor Libatkan Presiden, PII: “Kampus Wilayah AKademis, Memang Harus Radikal”

JAKARTA, (Wartamuslimin.com) — Ketua I Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Persatuan Islam Indonesia (PII), Muhammad Musyaddad Zaen, mengatakan bahwa isu pengangkatan rektor perguruan tinggi negeri oleh presiden diangkat karena ada indikasi satu kampus yang memang calon rektornya terindikasi berafiliasi dengan ormas radikal. Cara ini dianggap gegabah.

“Kasus terhadap rektor yang berafiliasi dengan gerakan radikal, kan untuk mendeteksinya cukup melalui Menristekdikti. Tak perlu sampai presiden yang harus turun tangan,” pungkasnya seperti dikutip dari rilis.id, Jumat (09/06).

Zaen melihat fenomena radikalisme yang sedang dikhawatirkan akan lahir di kampus, Salah satunya adalah aksi teror. Ia berpendapat peristiwa tersebut membuat traumatik di kalangan masyarakat. Dampaknya umat Islam identik dengan teroris.

“Radikalisme memunculkan aksi seperti terorisme. Kajian radikal bisa berkembang di gerakan kampus atau sekolah. Makanya dulu sempat ada pernyataan dari salah satu anggota DPR bahwa rohis sarang teroris,” pungkasnya.

Bagaimanapun, menurut Musyaddad Zaen, kampus adalah wilayah akademis yang pasti radikal. Dalam artian terus mendorong untuk berpikir secara mendasar dan mendalam terhadap hal yang prinsipil. Jika yang dikaji adalah kebijakan pemerintah maka sudah pasti terdapat autokritik di dalamnya hingga tuntutan perubahan.

Sekalipun itu benar, namun menurutnya tetap tidak tepat jika presiden harus terlibat jauh dalam ruang akademik. Semuanya dikaji dan tak jarang kebijakan presiden pun dibahas secara radikal. Sehingga untuk memilih pemimpin itu mahasiswa masih memakai logika ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Dunia kampus kan adalah dunia akademis yang notabene bebas akan nilai. Hal itu, bisa menurunkan elektabilitas beliau kalau seperti itu,” ucapnya.

Ia menyarankan untuk dilakukan kajian yang matang jika rektor harus dipilih oleh presiden. Tindakan ini akan berdampak kepada ghiroh akademis dan kajian ilmiah mahasiswa dalam bereksplorasi, karena ranah kampus itu bebas nilai.

“Menristekdikti kiranya sudah cukup mewakili aspirasi presiden dalam menentukan rektor karena presiden yang telah menunjuk menristekdikti,” jelasnya.[NZ]