Tragedi Kedung Kopi Solo 22 Oktober 1965, Pembantaian 23 Demonstran Anti-PKI

Wawancara Kru Wartamuslimin di Kediaman Usman Amiroedin di Laweyan Solo

SOLO, (Wartamuslimin.com) — Malam itu Solo tak seperti biasanya, sudah hampir tiga pekan lamanya Solo mencekam. Peristiwa penculikan terhadap enam Jenderal di Jakarta yang terkenal dengan gerakan G 30S/PKI sudah berhasil diatasi oleh Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Namun di daerah basis massa Partai Komunis Indonesia (PKI) gerakan belum juga padam, bahkan justru mereka semakin meresahkan rakyat sipil. Tak terkecuali Kota Solo, mereka justru kian sering meneror masyarakat sipil  terutama wilayah kampung Arab Pasar Kliwon.

Peta konflik yang terjadi pada tahun 1965 tersebut terbagi atas beberapa bagian, misalnya saja PKI sangat benci terhadap Kampung Arab. Beragam teror mereka lakukan mulai dari pengrusakan rumah dengan pelemparan batu keduanya cukup sering berbuat huru hara.

Salah seorang saksi hidup peristiwa naas 22 Oktober 1965 serangan PKI di Gladag, Surakarta, Usman Amiroedin (79 tahun) mengisahkan kepada jurnalis wartamuslimin.com belum lama ini. Usman menuturkan, kala itu suasana malam hari di Solo benar- benar mencekam tak ada aktivitas, kecuali di pos-pos jaga. Semua perkampungan saling siaga berjaga- jaga jika ada pasukan PKI atau orang asing masuk ke wilayah mereka.

“Anggota PKI setiap malam keliling sambil membawa benda- benda tajam seperti pisau, rantai dan pentungan, mereka bilang masuk! . . . masuk! ini urusan militer angkatan darat bukan sipil” ujar Aktivis Pemuda Muhammadiyah Surakarta, Usman Amiroedin.

Usman mengungkapkan saat itu tak ada pilihan lain kecuali tidur di pos atau Masjid, bahkan mereka tak pernah punya bayangan bisa selamat jika sewaktu- waktu PKI menyerang. Pasalnya kekuatan PKI tak sebanding dengan kekuatan warga sipil, PKI mendapat support penuh dari Corps Polisi Militer (CPM), Polisi Angkatan Udara, TNI AD dan polisi. Saat itu menurut golongan nasionalis satu- satunya tempat paling aman bagi para aktivis pemuda dari  Islam, dan pemuda nasioalis yaitu Tawangmangu.

“Teman dari nasionalis menginformasikan jika sewaktu- waktu Solo kisruh kita harus lari ke Tawangmangu karena di sana ada Brigadir Mobil (Brimob), kata Usman.

Satu- satunya militer yang berpihak kepada laskar Islam dan aktivis nasionalis saat itu hanya Brimob. Sementara kedatangan RPKAD baru tiba di Solo pada tanggal 22 Oktober 1965, saat itu kedatangan tim RPKAD menjadi oase bagi ribuan pemuda aktivis. Kedatangan RPKAD disambut dengan membuat aksi bersama- sama di seluruh Kota Solo.

“Siang itu selepas shalat dzuhur kami melakukan konsolidasi di pos masing- masing, dan sudah ada intruksi bahwa sebelum maghrib harus sudah kembali ke pos masing- masing,” jelasnya.

Sebuah peristiwa tak terduga ternyata aksi di Gladag berhasil disusupi oleh oknum CPM dan Polisi AU, mereka berhasil menghasut massa untuk berkumpul di balai kota Surakarta. Tentu hal ini bertentangan dengan apa yang diintruksikan oleh Komandan IPM, minimnya pengalaman membuat ribuan pemuda aktivis itu bergerak ke Gladag meskipun sebelumnya tidak ada agenda menuju Gladag.

“Belum sampai di Balaikota kami sudah dibrondong tembakan dari arah Benteng Vastenburg atau kini gedung Bank Danamon, aksi tembakan tersebut berlangsung cukup lama kurang lebih satu jam,” terangnya.

Pada peristiwa petang itu Jalan Slamet Riyadi berubah menjadi lautan api yang mencekam, beberapa rumah, kios dan toko milik orang Cina berhasil dirusak dan di bakar. Pada saat peristiwa 22 Oktober 1965 aktivis Islam dan nasionalis gugur sebanyak 7 orang, sisanya sebanyak 16 orang ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di Kedung Kopi. Satu di antara dua puluh tiga orang yang dinyatakan meninggal pada peristiwa naas itu adalah keponakan Usman.

“Keponakan saya umunya masih sembilan tahun, ditemukan esok paginya di Kedung Kopi dalam keadaan kepala hancur, tangan dan kaki diikat dan telanjang,” ucapnya.

Malam itu juga kejadian di Gladag dilanjutkan dengan penangkapan para aktivis yang  dihadang oleh oknum PKI lalu mereka disiksa hingga meninggal. Salah seorang rekannya yang bernama Sutiman berpura-pura meninggal, dan mereka yang melakukan pembunuhan dan penyiksaan itu adalah temannya sendiri.

Esok paginya pada tanggal 23 Oktober 1965, para aktivis Islam dan nasionalis di Solo sudah bisa menguasai Solo. Mereka (aktivis Islam dan nasionalis-Red) bisa kembali leluasa keluar, PKI tidak berani muncul karena RPKAD sudah sampai di Solo. Selanjutnya pada tanggal 25 Oktober umat Islam mendapat kesempatan untuk menyerang balik PKI.

“Pada saat itu juga kita segera menangkap orang- orang yang terbukti menjadi PKI, sebelum kita pukul, mereka kita minta bersyahadat mereka bilang nggak bisa langsung deh kita pukul,” ucapnya.

Sebelumnya mari kita ‘flashback’ sebentar beberapa tahun sebelum peristiwa memilukan 22 Oktober dan 25 Oktober 1965 di Kota Bengawan. Solo begitu massif dikuasai oleh anggota PKI dari jajaran RT/RW, kelurahan, kecamatan, walikota, militer dan semua jajaran perangkat daerah Kota Surakarta. Kebencian umat kala itu yang paling mendasar disebabkan oleh sikap dan perilaku sehari-hari anggota PKI yang kasar, angkuh, sombong dan senang menang sendiri.

Walikota Solo pada saat kerusuhan tahun 1965 di Kota Solo adalah Oetomo Ramelan, wajar bila pada 25 Mei 1965 estafet vandel ( yang dibawa dengan jalan kaki dari Banyuwangi menuju Jakarta mendapat sambutan yang luar biasa banyak. Saat itu PKI benar- benar melakukan show of force’ kepada khalayak Solo, jumlah basis muslim di Kota Solo saat itu hanya ada di tiga lokasi yaitu kawasan Laweyan, Kauman dan Pasar Kliwon. Sisanya merupakan basis PKI secara konflik pun terjadi dua perbedaan di kalangan tua saat itu bentuk konflik yang terjadi adalah pertentangan ideologis sementara di kalangan muda yaitu fisik.

Menurut penuturan Usman, Sejak Mei 65 dalam kegiatan ‘Estafet vandel -peringatan ulang tahnn PKI yakni aksi jalan kaki dari Banyuwangi ke Jakarta – aksi unjuk gigi massa PKI, daru ujung timur pulau Jawa sampai ke Jakarta. Usman menjelaskan, saat Estafet Vandel, konsentrasi massa pendukung PKI begitu besar di kota-kota yang dilewati, PKI ingin menunjukkan kekuatannya yang luar biasa, dan massa yang kuat.

“Saya menduga peristiwa G30S/PKI itu dimulainya sejak bulan Mei itu, dan non sense!, kalau PKI tidak terlibat dalam kerusuhan itu,” terangnya.

Usman menuturkan, “Jadi karena Mereka (PKI) mengadakan gerakan lebih awal, 22 oktober membantai kita, kalau kita mau flashback, tanggal 1 oktober malam itu gerakan Mereka (PKI) itu sudah runtuh, sudah berantakan, tapi mengapa kok di Solo tanggal 22 Oktober Mereka masih berani gerak, siapa yang gerak? PKI”, terangnya.

“Ini menunjukkan Gerakan 30 September, Otaknya memang PKI!”, tegasnya.[KS]

Rep : Kukuh Subekti / Red : Tori Nuariza