Direktur PSPI : “Islam Masuk ke Indonesia Melalui Dakwah Pesantren”

SOLO, (Wartamuslimin.com) — Peristiwa Resolusi Jihad yang dikomandoi langsung oleh Kyai Haji Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 tak lagi jadi dongeng heroik. Kini peristiwa itu tak lagi sekedar hiasan di lembar- lembar buku sejarah, kisah heroik seruan jihad fii sabilillah itu telah dipatrikan sebagai hari santri.

Kisah kharismatik Ulama besar Hasyim Asy’ari yang mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar itu, kini berbicara bahwa sosok ulama, kyai adalah sumber kekuatan umat. Tanpa dorongan dan motivasinya tak kan sanggup seorang bung Tomo menggerakan ribuan santri melawan tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie).

Peristiwa itu lantas membuka mata kita akan sejarah yang lain yang belum diungkap yakni sejarah keberadaan santri di Nusantara. Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Arif Wibowo belum lama ini berbincang-bincang dengan Wartamuslimin.com, dia menuturkan jika keberadaan santri tak bisa lepas dari peristiwa masuknya Islam ke Indonesia.

“Selama ini alur masuknya agama Islam dalam sejarah kita banyak diarahkan pada jalur kekuasaan, padahal Islam masuk ke Indonesia melalui dakwah pesantren,” ujarnya.

Arif mengungkapkan jika Islam datang di bumi Nusantara itu tidak melalui jalur penaklukan. Dia mengutip apa yang ditulis oleh Syed Muhammad Naquib Al Attas tentang masuknya agama Islam bukan jalur kerajaan sebagaimana sejarah yang banyak kita baca. Syekh mennyebutkan bahwa peristiwa masuknya Islam dapat dilihat dari keberadan batu bersurat Trenggano, Malaysia.

Batu bersurat Trenggano ditulis dengan huruf Arab Melayu dengan bahasa Arab Melayu. Suatu bahasa tidaklah mudah untuk bisa masuk dan diterima oleh peradaban lain. Contoh kasus masuknya agama Hindu di Indonesia yang masuk pada abad ke IV namun baru  diterima pada masa Mataram Hindu pada abad IX.

“Berarti butuh 500 tahun wacana Hindu sebagai budaya asing untuk bisa diterima sebagai budaya lokal,” ungkapnya.

Buya Hamka misalnya dalam buku Sejarah Umat Islam menyebutkan bahwa pendidikan sebagai jalur utama. Artinya dakwah Islam di Indonesia mengutamakan pendidikan sebagai ujung tombak bukan kekuasaan. Terbukti pada saat Sunan Giri mendirikan pondok pesantren, di mana- santrinya kelak menjadi prajuritnya Brawijaya V, Raja Majapahit.

“Pada masa Padepokan Giri milik Sunan Giri ada setiap harinya santri dilatih fisik mereka supaya kuat yaitu harus membawa ember untuk mandi dengan cara naik turun tangga sebanyak tujuh kali,”  .

Sikap Raja Brawijaya V yang cenderung membuka diri kepada Islam membuat saudaranya Girindrawardhana merasa risih. Pada masa Brawijaya V, rakyat majapahit sudah beragama Islam dan pada masanya pulalah panglima perangnya adalah Raden Hasan. Sunan Giri tidak perlu mempersiapkan pasukan demi meng-Islamkan Majapahit. Santri-santri Sunan Giri menjadi tentara perang Majapahit maka secara perlahan santri- santri akan menempati pos- pos penting masyarakat.

 

Santri Harus Mampu Berperan Selesaikan Permasalahan Umat

“Santri harus mempersiapkan diri untuk menjadi pribadi yang unggul dalam hal agama dan bidang- bidang lainnya, sehingga secara perlahan santri akan menempati pos- pos penting dalam masyarakat,” jelasnya.

Momentum hari santri semestinya menjadi momentum kebangkitan bagi kaum santri. Kaum santri harus kembali mengambil peran di tengah-tengah problem umat.

Meningkatkan kompetensi keilmuan dalam hal agama dan umum sehingga mereka siap melayani umat. Sehingga kita pun tidak perlu lagi mengimpor guru, ulama dari  luar yang justru akan menjadi sarana impor konflik.

“Kita tidak lagi perlu mengimpor guru yang justru bisa menambah konflik, dulu kita sudah cukup lelah dengan konflik NU dan Muhammadiyah, sekarang justru kita menambah persoalan dengan konflik HTI dan PKS, Jihadi dan Salafi,” ucap Arif.

Arif menegaskan pentingnya umat Islam Indonesia menjadi umat yang mandiri dan mumpuni sebagaimana ulama-ulama terdahulu. Dahulu Indonesia memiliki Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Nawawi Al Bantani mereka selain menjadi Imam Besar Masjidil Haram juga menjadi guru di sana. Santri pondok pesantren tradisionalis dan modernis harus saling bersinergi, mereka menjadi ahli agama dan teknokrat muslim yang baik

“Ilmu yang dimiliki santri harus menjadi problem solving bukan sekedar tumpukan hafalan yang tidak ada relevansi dengan masyarakat,” tandasnya.[KS]

Rep : Kukuh Subekti / Red : Tori Nuariza