POLITIK HAMKA — Bagian 1 —
Tentang arti Agama, Ulama dan Politik
Oleh Muhammad Roem
Hamka adalah seorang ulama besar di Indonesia. Ketenarannya sudah melintasi batas tanah air. Buku-bukunya menjadi bacaan, malah buku pelajaran di Malaysia, dan mencapai cetakan yang berulangkali. Di negara-negara Islam lainnya ia juga sudah terkenal. Ia mendapat Doctor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar di Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Dalam Festschrift ini, yang diterbitkan untuk memperingati Hamka mencapai usia 70 tahun, saya ingin menyoroti politik Hamka. Usia 70 tahun adalah tonggak penting dalam hidup manusia. Kita, bangsa Indonesia, khususnya yang beragama Islam merasa bangga bahwa Tuhan telah mengaruniai kita dengan seorang putra bangsa seperti Hamka.
Lebih-lebih pada usia 70 tahun masih dalam keadaan sehat dan dinamis untuk meneruskan, apa yang menjadi tugasnya dan dirasakan sebagai misi bagi agama, nusa dan bangsa. Kita bangsa Indonesia mendoakan semoga bangsa Indonesia ini masih lama menikmati pimpinannya dan apa saja yang akan di persembahakan bahkan kepada ibu pertiwi.
Politik Hamka, Apa ia berpolitik, Apa artinmya Hamka dalam bidang ini? Ia kan seorang ulama, bagaimana ia mempunyai arti dalam bidang politik? Kami belum melihat Hamka berarti dalam bidang politik. Demikian orang boleh mengomentarinya. Mungkin juga ada yang menyambut sebagai berikut: “Hamka seorang ulama besar di Indonesia. Dengan sendirinya ia tahu politik.”
Di sini kita memasuki bidang yang banyak salah kaprahnya. Kata-kata kita pakai dalam arti yang berlainan, sehingga kita bersimpangsiur, meskipun kita saling mengerti, kalau sebelumnya dijelaskan apa yang kita maksud. Perkataan agama umpamanya, menurut orang islam mencakup segala-galanya, sedang agama menurut orang nasrani hanya eredienst, kebaktian bagi Tuhan.
Di dunia barat ada yang mengibaratkan agama ‘bagaimana buah baju’, yang hanya dipakai untuk keperluan tertentu. Kalau ke kantor baju itu ditinggal dirumah. Ia dipakai kalau pergi ke gereja dan nanti kalau pulang ke akhirat. Meskipun di dunia barat orang mulai mengartikan Islam sebagai ‘way of life’, tata cara hidup, tapi belum umum pengertian itu. Kalau kita mengartikan sebagai ‘way of life’, maka seorang ulama tentu tau politik dan mempunyai arti dalam politik.
Kita tambahi lagi dengan kesulitan, apa yang dimaksud dengan politik. Perkataan politik adalah istilah yang menurut pendapat saya banyak disalahgunakan.
Baru-baru ini saya di wawancarai oleh BBC tentang Islam di Indonesia. Yang menyelenggarakan wawancara seorang doktor dalam Ilmu Sejarah. Sebelum ia mulai, ia meminta kepada saya agar saya jangan menyinggung politik. Saya tau apa yang ia maksud, tapi saya ingin menegaskannya, sebab BBC siaran radio yang bebas, maka aneh kalau membatasi orang bicara.
Saya menyatakan, kalau tuan minta saya jangan menyinggung politik, apakah itu bukan politik? Dengan basa-basi ia meminta saya agar saya jangan salah mengerti. Saya katakan, saya tidak salah mengerti, karena saya orang Indonesia, dan tahu keadaan di tanah airnya. Yang ia maksud ialah jangan mengkritik Pemerintah.
Saya katakan, bahwa saya tahu, dan saya mampu berbicara tentang Islam tanpa mengkritik pemerintah. Malah mengkritik boleh asal kritik yang membangun. Wawancara itu oleh pemerintah diizinkan dengan syarat, dan tentu harus diberitahu sebelumnya.
Jadi apa yang dimaksud dengan perkataan politik masih menimbulkan banyak salah paham. Sebenarnya tidak ada salah paham, tetapi tiap-tiap pihak mempergunakan perkataan politik sesuai dengan hasrat masing-masing.
Umpama, kalau dikatakan bahwa ulama jangan bicara tentang politik, ulama menerima, tidak mengajukan keberatan. Tapi ulama, bicara terus dan bebas sebagaimana ia mengartikan tugas ulama, umpamanya kalau ia sedang menjadi khatib. Kalau khotbahnya menyangkut politik dan ia ditegor atau diingatkan, maka ulama akan mengatakan, bahwa ia tidak berpolitik, tapi berbuat sebagaimana Islam mewajibkan ia untuk berkhotbah.
Hal ini tentu dapat menimbulkan berbagai salah paham atau saling menyesalkan. Dapat ditanyakan mengapa ulama dalam khotbahnya menyindir-nyindir? Ulama dapat mengatakan, mengapa ada suasana, dimana seorang khotib terpaksa bicara tidak terus terang tapi memakai cara yang dapat dinamakan menyindir-nyindir.
Siapa yang kurang bijaksana> yang menyindir-nyindir? Tapi kalau menyindir-nyindir itu karena dipaksakan oleh suasana, kita dapat bertanya: “Mengapa ada suasana yang menyebabkan khatib tidak dapat berbicara terus terang?”
Kalau agama Islam sudah dimengerti sebagai ‘way of life’, maka tidak ada sesuatu diluar bidang ulama. Ia mengikuti segala peristiwa hidup yang menyangkut umat dan ia wajib menemukan jawabannya dari pada itu. Politik tidak terkecualikan. Malah ulama tidak berniat atau mengira bicara politik, ia hanya berkhotbah sebagaimana mestinya yang diwajibkan oleh ajaran Islam.
Dalam situasi yang tertentu khotbah itu tidak lain politik. Arti kata politik itu memang luas sekali. Tidak ada sesuatu diluar politik. Kalau orang bilang ia tidak berpolitik, maka ia main politik. Atau kalau ia tidak tahu politik, ia akan dimakan oleh politik.
Instruksi Melarang Bicara Politik di Masjid
Di tahun lima puluhan Kejaksaan Agung mengeluarkan sebuah instruksi yang melarang umat Islam membicarakan politik di masjid. Orang mengerjakan sembahyang lima waktru berjamaah di masjid, yang biasanya hanya diikuti oleh jumlah yang sangat terbatas. Orang seminggu sekali bersembahyang Jum’at dan hampir tiap masjid dapat menampung banyak orang. Kecuali itu hari-hari besar dirayakan di masjid, sepeti Hari Maulid, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan sebagainya. Itulah kesibukan rutin di masjid dengan acara tertentu.
Larangan itu, terutama mengenai para khatib yang memberi khotbah, yang masjidnya berganti-ganti. Larangan itu diterima, khatib terus menjalankan tugasnya, tidak menganggap sepi instruksi Kejagung tersebut, tapi dijalankan sejauh dan sesuai dengan tanggungjawab khatib kepada umat, berdasatkan ajaran-ajaran Islam. Begitu umumnya para khatib menerima isntruksi tersebut.
Tapi ada sesuatu yang dipandang berat berkenaan dengan instruksi itu. Bahawa Kejagung berkenan mengeluarkan instruksi tentang masjid itu. Lembaga masjid sudah ada di Indoensia berabad-abad. Masjid sudah ada sebelum Republik Indonesia dilahirkan. Masjid diibaratkan Rumah Tuhan. Kalau ada instruksi maka seharusnya instruksi itu datangnya dari Tuhan.
Memang ada, hanya namanya bukan instruksi, tapi syarat dan rukun. Khatib harus memenuhi syarat-syarat untuk boleh memberi khotbah di masjid. Ia harus hafal surah-surah yang akan dibacakan, dan mengucapkannya dengan fasih. Ia seorang yang dipilih oleh Jemaah. Dan lagi hal itu sudah berjalan berabad-abad juga. Suasana masjid harus dijaga. Justru suasana masjid itu menjamin khatib tidak melampaui batas yang baik-baik.
Penulis rasa justru suasana masjid itu menjamin orang akan menjaga diri, akan berbuat dengan tanggungjawab. Suasana masjid lain dari tiap-tiap tempat lain. Di mana orang datang berkumpul kumpul dengan niat beribadah. Suasana masjid dapat lebih ramai dari Jakarta Fair pada hari-hari tertentu, tapi umumnya akan berlangsung tertib, jarang sekali ada kejadian yang tidak diinginkan.
Komentar demikian itu pernah penulis dengar dari seorang barat yang bertemu dengan penulis di tanah suci sambil mengerjakan berbagai upacara, melempar batu, mengelilingi Ka’bah. Satu setengah juta manusia berkumpul ditempat yang sangat terbatas, berdesak-desakan, mencari tempat yang baik menurut selera masing-masing, melompati kepala orang, meskipun demikian jarang sekali terjadi pertengkaran mulut yang tidak sedap. Kesadaran bahwa masing masing datang karena Allah memberikan kemampuan untuk mengendalikan diri.
Tidak ada suasana seperti di masjid. Maka amat bijaksana, jika Kejagung akhirnya menarik kembali instruksi tersebut.
(Mohamad Roem- Jakarta 15 Oktober 1977)
Sumber : Roem, Muhamad, 1983, Bunga Rampai dari Sejarah jilid 3, Jakarta: Bulan bintang