SOLO, (Wartamuslimin.com) — Kitab Simtud Durar yang berisi kisah hidup, akhlak, dan puji-pujian untuk baginda Rasullullah SAW popular dilantunkan umat Islam di Indonesia.
Terlebih saat momen maulid tiba, bacaan Simtud Durar menggema di tiap wilayah. Akan tetapi, banyak yang belum mengetahui sosok penggubah kitab itu.
Kisah perjalanan hidup seorang sufi dari Hadramaut yang begitu mencintai Rasulullah ialah Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi.
Bertepatan dengan haulnya yang ke-106, Republika menemui Habib Hasan bin Anis Al Habsyi pada Jumat (01/05). Dia adalah generasi ke empat keturunan Habib Ali Al Habsyi yang tinggal di Solo, Jawa Tengah.
Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi adalah seorang ulama wara yang lahir di sebuah desa kecil, yaitu desa Qasam, Hadramaut pada Jumat 24 Syawal 1259 hijriyah atau 1839 masehi.
Ayahnya, yakni Muhammad bin Husain Al Habsyi, adalah seorang ulama besar yang ikhlas menghibahkan jiwa raganya untuk berdakwah ke berbagai kota dan pelosok desa.
Begitu pun ibunya Alawiyyah binti Husein, yang juga mahir dalam mengajari masyarakat perihal agama.
Hingga tak ayal, setelah dewasa, Habib Ali pun menjadi ulama besar yang kerap mendakwahkan Islam ke berbagai pelosok di Yaman, terutama setelah menimba ilmu dari ulama-ulama besar disana.
“Kecintaan Habib Ali ini pada Rasulullah sangat luar biasa itu yang terkenal, sampai sebagian ulama menyebut dia mendapat kedudukan yang tinggi karena kecintaannya pada rasulullah. Dari cintanya itu diungkapkan melalui Simtud Durar,” tutur Habib Hasan.
Dalam buku biografi Habib Ali Muallif Simtud Durar yang ditulis oleh Husein Anis Al Habsyi dijelaskan sejak kecil Habib Ali hidup di tengah keluarga sederhana, Ali sering berpindah-pindah tempat dari kota satu ke kota lainnya semata-mata untuk menimba ilmu agama.
Ali kecil digambarkan sebagai anak yang patuh pada orang tuanya dan haus akan ilmu-ilmu agama. Ali tak pernah menolak permintaan Ayahnya ketika diminta untuk turut serta ke Mekkah menimba ilmu pengetahuan.
Saat berusia 11 tahun, ia pindah ke kota Seiwun dan mulai memperdalam ilmu agama pada Sayyid Umar bin Hasan Al Haddad. Pada usia 17 tahun, ia memboyong ayahnya hijrah ke Mekkah untuk meperdalam ilmu pada sejumlah ulama di sana.
Dalam manuskrip Fuyudhat al Bahr al Malik karya Thaha bin Hasan, disebutkan Ali kecil setiap harinya selalu menyempatkan waktu untuk mengerjakan umrah dari Tanim tanpa diketahui orang banyak.
Habib Ali juga dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang Nahwu berkat bimbingan Syeikh Muhammad Khathib, seorang ulama ahli gramatikal arab.
Sampai dalam sebuah majelis yang dipimpin Habib Ali, gurunya itu pun justru meminta agar muridnya mengajarinya.
Hingga saat dewasa, Habib Ali menjadi ulama yang disegani. Berbondong-bondong masyarakat antusias mengikuti setiap majelis ilmu yang digelarnya. Murid-muridnya pun menjadi ulama-ulama besar yang terus menyebarkan Islam ke berbagai negara.
Di Seiwun, Habib Ali membangun pondok pesantren pertama di Jadramaut. “Karena dulu orang belajar di rumah-rumah tapi habib ali kemudian bangun pondok itu pertama, sehingga muridnya menyebar,” jelas Habib Hasan.
Ia juga dikenal sebagai ulama yang ramah dan dan memperlakukan tamunya dengan baik. Kendati namanya termasyhur, Habib Ali tetap membumi. Ia pun begitu memperhatikan teman-temannya.
Jika mendengar teman-temannya sakit, Habib Ali bergegas untuk menjenguk. Habib Ali juga menyukai dunia seni terutama musik. Ia senang manakala mendengar bunyi kendang dan seruling serta qasidah.
Saat berusia 68 tahun, tepatnya pada 26 Shafar 1327 hijriyah, ia meminta murid-muridnya mencatat paragraf awal dari maulid simtud durar dan menyempurnakannya beberapa bulan setelah itu. Simtud Durar merupakan tanda kecintaannya terhadap Nabi Muhammad SAW yang diwariskan kepada keturunannya serta untuk umat Islam.
“Dia (Habib Ali) bukan seperti pengarang yang menulis cari rujukan dia, mengarang di dua tempat dia duduk mengutarakan tentang Rasulullah dan muridnya yang catat, di dua majelis dan selesai Simtud Durar,” tutur Habib Hasan.
Simtud Durar pun mulai tersebar luas di seluruh Hadhramaut hingga ke negara-negara lainnya. Di Indonesia, Simtud Durar dan nasihat-nasihat Habib Ali diteruskan oleh putranya Habib Alwi hingga keturunan-keturunannya yang masih ada saat ini.
“Setelah ayahnya meninggal, Habib Alwi datang ke Indonesia karena orang tuanya di sana mendidik anaknya belum boleh pergi jauh kalau belum mumpuni di bidang agama,” ungkap Habib Hasan.
Di pengujung kehidupannya, pada usia 74 tahun, penglihatan Habib Ali mulai kabur hingga kesehatannya terus menurun. Ia pun meninggal pada Ahad 20 Rabiul Tsani 1333 H.
Di Indonesia setiap tahunnya, ratusan ribu umat muslim dari berbagai wilayah datang ke Solo untuk mengikuti haul Habib Ali.[NZ]